TAK ADA APA – APA DI SINI

TAK ADA APA – APA DI SINI

TAK ADA APA – APA DI SINI

Tak da apa-apa di sini
Berdiri di simpang empat
Sambil mendengarkan tembang – tembang jawa
Akau merasakan darahku sendiri
Berpendar – pendar dalam musik elektronik

Dan urat – urat syarafku
Meneriakkan kesunyian
Dengan gemur yang seru.
Dunia mengeluh
Aku mendengarkan keluhannya
Namun yang aku tak habis ngerti
Kenapa keluh itu memenuhi mulutku.

( wah.
Tiada ku sanggup membenci dunia
Dengan alasan yang sama
Kenapa aku mencintai dia)

Dan sekarang kutunggu matahari
Seperti nenek moyangku
Menjongkok kedinginan sekitar api
Menggelepar

Nyoba ngarang tembang_
Bagai robot
Aku pun menunggu
Lebih lesu
Tahu siang tak lebih manis dari malam yang mesum

MAHARI YANG TERTEGUN

Matahari yang tertegun
Meili tua yang tertatih-tatiih
Serta bunga- bunga kuning yang bertaburan
Angin mengusik rambutnya yang putih
Seraya ramah senyumnya
Selamat sore kerabat
Seorang anak-anak
Melompat semak – semak
Sambil berteriak:
Jiiiiiiat

Si tua tersenyum

Tertatih – tatih

Dan tersenyum

Bunga- bunga kuning-

Kupu-kupu dalam angin-

Matahari senja-

Talam emas dari langit-

Semua tertegun dan

Tertatih- tatih

Dan wah

Demontrasi besar itu disana!

GENERASI DEMI GENERASI

Orang – orang itu berjalan dari timur

Menempuh angin yang menderu dalam debu

Dan di pundak mereka:

Kayu,besi serta batu

Mereka adalah umat

Yang berjalan ke barat

Ketika matahari

Mengambang di belakang.

Orang-orang itu berjalan dari timur

Angin pun menderu dalam debu

Dan dalam batin mereka:

Beribu – ribu sistem yang meruwet

Dan meruwet

Sampai akhirnya matahari

Menggantukan ke barat

Mereka tetap bergerak

Tidak ke timur

Tidak ke barat
Read More
SEPASANG DAUN – DAUNAN

SEPASANG DAUN – DAUNAN

SEPASANG DAUN – DAUNAN

Sepaang daun- daunan

Jatuh dari tangkainya

Merekalah kupu- kupu

Dalam jiwaku

Angin pagi beku

Udara bahkan ruang

Serta rasa – rasaya

Tak perlu lagi mendongeng:

Tentang tiang- tiang baja

Yang tegak di mataku,

Suara – suara mesin

Yang gemuruh ditelingaku

Wai. Ai.

Udara pagi beku

Biru bahkan menyusup ke jiwa

Sepasang daun – daunan

Jatuh dari tangkainya.

Merekalah kupu – kupu

Dalam hidupku.

MIMPI JOSZEF DI GURUN

Genderang kaum liliput akan dipukul

Hai para Gulliver. Bangunlah!

Timpani itu adalah kelloneng lonceng – lonceng sorgawi

Nyrnyakkan tidur kau malam ini?

Semua memang mengharukan

Seruling para liliput

Seruling daun- daunan pimping

Angin pengunungan yang sepoi

Dan memabukkan

Seraya katanya selalu

Sudah nyenyakan tidur kau malam ini?

Kemerasak hujan pada dedaunan

Derap kuda para liliput

Serta pekik perang mereka,

- alangkah dunginnya pagi

Betulkah selimut kau kini.

Begitupun dalam nyala revolusi

Jangan terlalu tidak peduli

Menanggapi genderang liliput

Yang meninabobokan kita

- Sekal nanti ia akan meledak

Dan mimpi-mimpi akan menyatu

Dalam kejutan

Nasib


Read More
AKU ORANG TROPIK SEKARANG

AKU ORANG TROPIK SEKARANG

AKU ORANG TROPIK SEKARANG

Kita harus mencintai matahari sekarang

Tomat – tomat yang merah

Kelinc – kelinci

Serta mata Aini yang manis

Setelah turun – temurun kulit kita coklat

Kita jadi bersikap negatif terhadap matahari

Ia telah terlalu memanjakan kita, kata Andrea

Membuatkan kita tanah – tanah yang subur dengan hujan

Dan membikin kita jadi suka nganggur :

Padi – padi alam

Sapi –sapi di padang

Sekarang kita harus mencintai matahari

Dengan cara kita sendiri tapi

Kita telah terlalu lekat dengan malam

Serta memabukkan diri dalam sejuknya

Padahal terhadap orang – orang kulit putih dari Eropa

Kita toh melirikkan mata

Kita harus berhasil membuat alat- alt dapur, mesin tenun

Yang digerakkan denan matahari

Untuk memenuhi kebutuhan – kebutuhan kita,

Di samping unit- init nuclear

Untuk memenuhi hasrat berpengetahuan kita

Tetapi toh jangan berkata:

Kita ganti saja matahari

Dengan satelit – sateli dan sinar- sinar ultra-

Supaya siang tiada terik,

Dan kulit kita jadi putih,

Da kita jadi makin ekatan bekerja

Sejarah generasi sekarang

Tidak sudi lagi mimpi- mimpi beginian

Karena itulah justru asalah terbesar negeri ini

Kita harus mencintai matahari sekarang

Dengan keharusan sejarah, dalam kodrat

Karena generasi demi generasi toh bangun olehnya

TLAH MENYELINAP KECEMASAN

Tlah menyelinap kecemasan

Diantara gerbong- gerbong tua

Dan pohonan kenari yang perkasa

- Sebuah malam dengan gerimis

Serta lampu yang temaram

Batang – batan lindap

- Kecemasan bagai bayang – bayang menyelinap

- Hei, siapa yang bersembunyi disitu?

Gerimis dalam malam biru

Riwis di jiwaku

Kecemasan macam apa pula

Yang merebak dalam batinku?

Kesangsian akan akhlak

Dalam ekonmi yang runyam ini

Lenyap, ke mana?

Tapi enapa benar

Kecemasan itu

Mesti menyelinap pula dalam diriku

Wahai, tanganku melambai, menggapai

Tak berdaya kepa – Mu

ABSRAKSI MAINAN LAKI- LAKI

Batang – batang baja yang kukuh meninggi

Dalam wujud menara – menara televisi

Para serdadu itu menderap dalam mars kemenangan

- Revolusi ini berubah jadi medan peperangan

Tetapi pun daunnya yang jatuh

Atau kucing yang kedinginan

Maka begitulah sesungguhnya kami ini

Dalam deru semangat

Dalam pikiran – pikiran cemerlang

Dalam perasaan – perasaan tulus

Seia dalam semua persoaln

- Bernyanyi waktu perang menjelang.

Tiada lagi kami biarkan

Tangan – tangan jahat yang perkasa

Menulikan kami akan lonceng – lonceng surgawi

Sebab memang begitlah sesungguhnya kami ini.
Read More
MAKAN MALAM 20 TAHUN YANG LALU

MAKAN MALAM 20 TAHUN YANG LALU

MAKAN MALAM 20 TAHUN YANG LALU
Daun - daun anggur
Keremangan malam
Serta bulan
Begitu mantap mereka
Menggelarkan jari – jari yang semampai
bermain – bermain dengan sendok dan garpu
terjatuhlah kenangan
pada keinginan
dan kenyataan.
Bersama angin
Dan lapar
Menderas tanda tanya.
Wai. Jari-jari yang semampei
Wai, mulut-mulut laper yang bernafsu
Tubuh yang kurus
Dan kerja paksa
Bermain-main dalam istirahat
Sejenak
Mati dan hidup
Bergerak menjadi satu.

NOSTALGIA DUA ORANG TUA
Tanah kami yang ramah dan santun, daun- daun asam serta batang – batang kenari
2 orang suami istri yang berjalan – jalan itu berbincang – bincang
-Bukankah memang begini akhirnya Albert;
Kau tua, dan saua pun
Aini mensirig- sirigkan kakinya
( serasa terdengar dalam abstaksi yang menjauh para pemain kuda kepang berteriak sekuat kuatnya: jreg jreg nong nog, jreg – jreg gung)
Kaihanilah aku karena kau baik, dan kasih baik
Seraya aku pun takkan berhenti berusaha
Untuk berhak mendapatkan kasihmu
2 orang suam istri yang berjalan – jalan itu berbincang- bincang
- Bukankah begini akhirnya Aini,
Nasib kkita tersangkut pada jaringan kawat baja
Albelt mengetuk – ngetuk tongkatnya
( seraya terdengar dalam abstraksi yang menjauh para kanak – kanak
Mempermainkan orang – orang tua:
Mur mek mur ma, mur mek mur ma )
- Masih juga kita berbincang – bincang tentang cinta
disamping filsafat yang menarik perhatian kita tahukah kau , kenapa?
Maka nyanyian pimping- pimping ilalang,
Maka nyanyian puing – puing bangunan:
Ada apa dengan republik kita, sayang
Aduh yang tentram biarlah tenteram
Saat memang tak baik dan terharu
Tetapi toh baiknya memang tak terharu sekarang
Sayang, sayang
Puputan pimpinan ilalang
Anak – anak saja
Anak – anak selalu
Yang bermain
Dengan angan – angan

Jam berdentang 12 kali
Albert mengeluh panjang :
- Telah larut malam.
Serta ditelannya suap terakhir makam malamnya

Jam berdentang 12 kali
- Telah larut malam
Tapi toh tak tak berlalu larut benar
Aneh
Tuhan
Apa saja yang terjadi di tanah air sekarang?

Read More
Puisi Perahu Layar

Puisi Perahu Layar

PERAHU LAYAR

Kembang layar,kembang
Sibak air, ukir wajah laut
Kembag layar, kembang
Tabur angin,renangi langit
Pada nelayan aku beteriak lantang;
Ai abang abang
Pasang layarabang,pasang layar
Lalau hati meronta berdoa pada Tuhan;
O Tuhan ,bawalah manusia ini ke padang juang
Bawalah manusia ini ke taburan ikan
Biar hati beriak menyusuri kehidupan

Lalu dengan alum aku pun menembang
Kembang layar, kembang
Laju ke ujung bumi ,batas langit dan laut.

KISAH DI PERBUKITAN
Musim hujan sudah datang
Tandanya pohon panili mulai berbunga
-hei, gadis pemetik panili
Sedeng apa kau gerimis-gerimis begini?
: kami sedang mengawinkan kembang panili abang
Ciumlah (duilah) betapa wanginya
-aahh, begitu ngaya kau anak tani
Biar serangga kerjakan ini
: kita harus kerja abang
Lihatlah betapa bapa menanam
Dan emak memelihara pohonnya
Aku yang mula-mula cekeke-cekeke
Jadi kecut dan nelangsa;
Wahe betapa berat kerja dalam angin sedigin ini.
-berteduh sajahlah nak. Biar terindar dari sakit !
Jadilah aku menggigl beku di dangu
Di antara gerimis riwis dan perenjak yang mengiggau
Panjang-panjang
-o, anak kota yang malang
Hidupmu bagai mimpi sayang
Berkerja buat diri kok mengeluh takut mati
Hi hi hi
Read More
Rayuan Sms Gombal Lucu Romantis

Rayuan Sms Gombal Lucu Romantis

Rayuan Sms Gombal Lucu Romantis - Jaman sekarang mencari kenalan lebih mudah karena ada internet , sebuah kesempatan yang cukup menjanjikan , dengan internet kita bisa leluasa memilih siapa saja untuk di gaet hatinya , asal tahu caranya maka kita bisa memiliki hati seseorang melalui internet untuk kemudian di lanjutkan ke dunia nyata , hal ini menguntungkan bagi kita yang awalnya minder mengenal mereka waktu di dunia nyata . oke silahkan gunakan Jurus Rayuan melalui SMS GOMBAL LUCU ROMANTIS INI .

Hy...
Walau belum ada perjanjian
Untuk selalu setia bersama
Baik suka maupun duka
Izinkan nomorku masuk hpmu

Hy...
Dulu aku kenala seseorang
Tapi nomornya lupa
Sekedar mengira ngira saja
Apakah nomor ini miliknya

Hy...
Baru saja aku sakit hati
Karena dia ingkar janji
Terpaksa aku sms ke nomor ini

Selamat sore...
Pemilik nomor cantik
Orangnya juga menarik
Selalu tersenyum pagi sore
Siang dan malam

Hy....
Ini adalah sms pertamaku
Mudah mudahan ini awal sebuah perkenalan
Selanjutnya jadi pertemanan
Persahabata yang tidak terlupakan

Hy aku buka hanphone
Kata temanku kamu orangnya cantik
Menarik dan baik hati
Salam kenal ya

Hay artis
Aku dapat nomor dari teman
Katanya kamu enak di ajak kenalan
Supel dan penuh wawasan

Hy...
Ketika malam berteman bulan dan bintag
Aku berteman dengan orang yang mau smsan


Hy...
Sms ini mungkin hanya satu kenangan
Bahwa ada satu orang yang diam diam mengharapkan
.
Read More
Top 10 Puisi Cinta Online

Top 10 Puisi Cinta Online

Top 10 Puisi Cinta Online - berikut ini adalah kumpulan 10 puisi tentang cinta yang meliputi perasaan rindu , pujian, kasih sayang, perpisahan, kesedihan asmara cita cita dan orang tua serta orang dan lingkungan sekitar kita , semua di sampaikan dengan ringkas lugas dan jelas , tak ada salahnya jika Puisi ini di katakan 10 puisi populer untuk kategory puisi cinta .

 10 puisi cinta ini di samping enak di baca juga sejuk di hati , lebih jauh lagi puisi ini bisa di jadikan sumber inspirasi bagi siapa saja yang ingin membangun hubungan asmara , mengungkapkan perasaan dengan puisi sudah tidak di ragukan lagi kemanjuranya , mudah mudahan 10 puisi cinta ini bermanfaat bagi pembaca puisikampuc.blogspot.com , selamat membaca .

gambar puisi cintaKekasih...!
Keberadaanmu di yakini setiap insan
Kasih sayangmu tidak ada bandingan
Cintamu ibarat syurga firdaus
Cintaku padamu abadi
Dan tidak akan hilang di telan jaman
Karena hidup matiku hanya untukmu

Kekasih...
Tetesan Air Mata Ini hanya untukmu
Berharap kembali masa dulu yang hancur
Semuanya karena kesalahaku
Maaafkan aku

Kekasihku...!
Hati dan jiwa ini kosong tanpamu di sisi
Pikiran dan perasaan ini gelap tanpa hidayahmu
Ingin ku raih ketenangan dan kebahagiaan bersamamu
Agar aku selalu dalam perlindunganmu

Kekasihku...!
Lindungilah aku dengan keridhaanmu
Dalam setiap langkaku
Gerak gerik hidupku
Detak jantung dan nafasku
Supaya aku jadi hambamu
.
Ku harap tulusnya hatiku
Di sertai Nur Iman Anugerahmu
Ku berharap rangkaian doaku
Senantiasa menyebut namamu
Dan di setiap putaran waktu
Aku senantiasa lakukan amanahmu
Sebagai bukti betapa besarnya cintaku padamu.

--- Puisi Cinta Untuk Teman -----
gambar puisi perpisahan
Teman Ku..
Ketika Bersama Berjuang
Suka Duka Tangis Tawa
Kita lalui Dengan Canda tawa
Membuat Hati ini Berat
Walau sulit aku sampaikan
Biarlah ini ku simpan dalam hati
Hingga akhir perjalanan

Temanku
Setalah menginjak remaja
Kita menjadi harapan bangsa
Generasi Hebat penuh wawasan
Kegembiraan tanpa di wajah
Teriakan Merdeak Di Suarakan

Namun...temanku
Waktu perpisahan Ada di depan
Seperti matahri terbit di pagi hari
Hati menjadi duka di balik bibir tertawa
Tidak dapat di elakan
Kecuali air mata kenangan
.
Temanku
Kenangan masa lalu masih ku simpan
Akan terus aku simpan di hatiku
Pertemuan pasti menjelang
Apabila tiba waktunya .

Puisi cinta untuk teman ini , cocok sekali untuk mengisi acara perpisahan lulusan sekolah atau kuliah, di mana waktu itu sudah pasti tergambar waktu senang dan susah , senang karena kita lulus susah karena kita akan berpisah dengan teman seperjuangan.

Perhatian : Karena di perikirakan 10 puisi ini akan menjadi terlalu panjang jika di sampaikan dalam satu halaman , maka halaman Top 10 puisi cinta ini akan di sambung ke halaman berikut, atas perhatianya kami ucapkan terimakasih, salam seindah puisi .
Read More
10 Puisi Renungan

10 Puisi Renungan

 10 Puisi Renungan - buat apa berperang jika akhirnya kita cinta damai menjaga lingkungan yang indah untuk di kenang toh hidup ini tanpa perang akhirnya mati juga , puisi renungan ini melengkapi daftar 10 puisi terbaik puisi kampus kali ini, perlu di ingat bahwa 10 puisi renungan ini hanya berisi tujuh puisi saja dan masih kurang tiga judul .
Potret sendiri
Aku sejak dulu seorang tualang,
Paling tak cakap antara pengarang,
Penyair spanyol yang paling dangkal,
Dan pandai sanjak sewenang wenang.
Tapi kendati ‘ku mungkin penyair paling subur,
Mungkin seluruh buah penaku: hanya dengung
Tak bermakna dan hampa,
Kembang tiada wangi, flacon kosong.
By: JOSE ZORILLA Y MORAL

Angan-angan
Apalah artinya suka, hidup, bahagia,
Bila asing harapan dan kemashuran,
Suatu jalan tak berujung, sunyi tak rata;
Jalan ziarahmu, demi lanjut, melesukan

Berilah daku lagu-akh, biar cuma satu;
Buaikan, bila menjerit, hati di alam mimpi
Dan pualam yang kekal bakal tampil di matamu.
Bangkit dari debu suatu jaman yang lama mati.

Harapan! Kemashuran! Apa lagi di risaukan.
Suatu manikin yang gemilang di depanku.
Apa peduli hidup seperti orang minta-minta
Bila seperti Pindar dan Homores kita berlalu.
By: JOSE ZORILLA Y MORAL

Nukilan dari: OP. cit.
Hai tenteram,
Udara panas-panas-dingin,
Dan hujan turun
Pelan dan bisu;
Dan selagi aku bias
Meneguk tangis dan mengeluh,
Anakku, mawar mungil itu,
Matanya di tutup maut.
Damai dan sepi terekam di keningnya, kala
Pamitan dengan ini dunia.

Sungai-sungai pada kelabu; kelabu
Pohonan dan gemunung, abu-abu;
Kabut yang meliputiinya, kelabu,
Dan abu-abu gemawang yang berarak di langit.
Seluruh bumi berliput sedih kelabu,
Itu warna usia tua.

Kadang kali redup-redup bangkit desau
Hujan dan angin
Yang bertiup di pohonan, melulung dan mengeluh,
Demikian aneh, hampa dan perih bunyi
Ratapnya, seakan orang menyeru si mati.
By: ROSALIA DE CASTRO

Apa hidupmu itu, jiwaku?
Apa hidupmu itu, jiwaku, apa biasamu?
Hujan di telaga!
Apa hidupmu itu, jiwaku, apa biasamu?
Angin di angkasa!
Betapa ‘kan suci lagi, jiwaku, hidupmu?
Gelita diguha!
Hujan di telaga!
Angin di angkasa!
Gelita di guha!
Menangis hujan dari langit dan awan . . .
Angin adalah kesah yang tak kenal pamitan.
Derita: gelagak hitam tak terhiburkan,
Dan hidup: hujan dan gelap dan angin.
By: MIGUEL DE UNAMUMON Y YUGO

Mati, tidur . . . .
Buyung, untuk istirah
Kauperlukan tidur,
Membung resah,
Membunuh angin,
Berhenti ngembara
Dengan pikiran . . .
-ibu, satu-satunya istirah:
Mati.
By: MANUEL MACHADO Y RUYZ

Sanjak
Jalan di lindung bayang. Gedung-gedung tua dan tinggi menyembunyikan
mentari silam; di beranda gema-gema cahaya bermain.

Tidaklah kau lihat, dalam pesona beranda berhias kembangnya,
Luncur merah muda dari wajah kau kenal?

Raut badan di balik kaca, dengan lantunan bimbangnya,
Berkilau dan menghilang, seperti muka lama kehitaman.

Dijalan hanya bunyi langkahmu kedengaran.
Pelahan gemanya lewat itu pun penyap

O, siksa!hati makin berat dan perih ,,lakah itu?’’
Tak mungkin . . . teruskan perjalanan . . . bintang dilangit.
By: ANTONIO MACHADO Y RUYZ

Sanjak
Rumah tercinta,
Kediamannya,
Menunjukkan,
Di atas tumpuk runtuhan yang rapuh
Dan hancur luluh,
Kerangka kayu tak tentu bentuk,
Hitam, berserpihan.

Bulan mencurahkan benderangnya
Masuk mimpi, yang berkilatkan perak
Di jendela. Berbaju buruk dan sedih di hati,
Aku tempuhlah jalan tua itu.
By: ANTONIO MACHADO Y RUYZ

Read More
10 Puisi Kangen Dan Rindu

10 Puisi Kangen Dan Rindu

 10 puisi kangen dan rindu ini membahas tentang kerinduan seseorang yang telah lama di tinggal dan yang tersisa hanyalah tinggal kenangan , seperti yang di bahas dalam puisi bertema 10 puisi kenangan

Pablo Picasso
Para senjata dari kantuk waktu malam mengorek
Lekuk-lekuk ajaib yang pisah kepala kita.
Dibandingkan dengan intan, setiap bintang, ya: palsu
Di bawah langit yang meledak, bumi tidaklah nyata.

Wajah dari hati telah penyap warnanya
Dan mentari cari kita dan salju adalah buta
Jika kita biar saja cakrawalapun bersayap
Dan pandangan kita dari jauh mengbral kesesatan.
By: PAUL ELUARD

Dalam tawanan
Mereka di sana limapuluhlima
Mereka tidak tidur
Mereka menunggu

Ada mereka yang menggu selalu
Ada yang mengengahkan kata
Ada yang lupa

Ada mereka yang masih bermimpi
Ada yang putus asa
Ada yang berpikir

Ada mereka yang tetap percaya
Ada yang tidak mendengar lagi
Ada yang menangis

Ada mereka yang membisikkan suatu nama
Ada yang akhirnya menarik nafas
Ada yang berdusta

Ada mereka yang tak putus menderita
Ada yang menjerit pelahan
Ada yang bernyanyi

Ada mereka yang lapar dan dahaga
Ada yang pelahan melangkah
Ada yang makan

Ada mereka yang meraung sekuat suara
Ada yang menundukkan kepala
Ada yang hidup

Manusia menderita
Manusia menderita
Alangkah panjang malammu!
By: PHILIPPE SOUPAULY

Api dan abu
Api lincah,abu lamban. Api menguju-nguju, abu tenang. Apa seperti monyet,
Abu seperti kucing. Api yunani, abu Sabina. Api yang memanjat dari dahan
Kedahan, abu yang turun dan menumpuk. Api yang bangkit, abu yang susun
Tindih. Api bersinar,abu bundar.api berdesisan, abu diam. Api panas, abu
Dingin. Api merambat, abu memelihara. Api merah,abu kelabu. Api bersalah,
Abu korban. Api mengalahkan, abu dikalahkan. Api ditakuti, abu dibelasi.
Api kukuh, abu mudah berantakan. Api tak mau kalah, abu mudah saja disapu
Hilang.api suka main-main, abu sungguh. Api suka merandang, abu takut-
Takutan. Api merusak, abu membangun. Api merah, abu kelabu, selalu sedia
Salah satu panji-panj alam disukai.
By: FRANCIS PONGE

Tangis sama saja
Langit yang kelabu dihuni malaikat dari tanah
Kelabu yang mengungkai sedih tertahan
Ia mengisahkan hari mayence bersimbah tangis
Sungai rhein gelap dimana meratap mamban-rihnya

Kadang kami jumpa di suatu jalanan sempit
Seorang serdadu kena tikam terhantar dalam debu
Kadang kedamaian yang tidaklah sepadan
Dengan bukit-bukit mungil tempat anggur menyalur

Aku telah minum pasti-sari dari sherri
Telah ku teguk sumpah yang silang-siur dinafaskan
Para ereja dan istana seindah mambang dan peri
Bagiku yang dekat dewasa ini masih tuli pancaind’ rannya

Apalah kutahu tentang perang ataupun kalah
Cinta pada perancis adalah cinta terlarang
Bila swara yang kita dengar adalah swara nabi palsu
Apa dapat ia bangkitkan harapan yang lama tenggelam
Aku terkenang lagu-lagu jeritan sedih
Aku teringat tanda-tanda pada dinding:\
Dicoretkan malamnya untuk Nampak kala pagi
Tak sanggup ku tafsirkan makna coret-mencoretnya

Siapa sanggup menunjukkan suatu awal pada kenangan
Mengatakan betapa jadinya benda kini dihari nanti
Dimana yang lama atau pantun bersambung dan putus
Bila sengsara tak lebih: secarik kertas menguning

Bagai mata kanak-kanak terbangun diranjangnya
Mata mereka yang alah mengusik damai kita
Pasukan baru mengawal dengan langkah besinya
Menggigilkan senyap di sepanjang sungai.
By: LOUIS ARAGON

Sanjak
Jangan biar apapun
M’ rusukmu atau menggeri;
Segala benda berlalu.
Hanya Tuhan abadi;
Jadikan sabar pedoman
Dalam hal apa saja;
Siapa punya Tuhan
Tak’kan bakal sengsara:
Tuhan semata, padalah.
By: SANTA TERESA

Soneta
Dan kini, lebih dari pernah dahulu,menimpa kutuk
Di zaman kita; dan segala corak dari kejadian
Merosot terus dari buruk ke lebih buruk.

Dan setiap kita merasa tikam peperangan,
Perang terus menerus,ancaman dan gertak
Dan setiap kita jemu,pada akhirnya bosan

Melihat darah sendiri merah membasah tombak
Kerna tujuanya tak sampai dan hidup terpelihara.
Ribuan insane punah hartanya, hidup berserak-serak.

Dan segala-galanya kikis, bahkan juga nama
Rumah dan rumah tangga, istri dan kenangan.
Dan teraanglah kepadaku manfaat ini? Sedengung nama?

Trimakasih suatu bangsa? Tempat terhormat dalam sejarah?
Nanti mereka menulis buku; kita tunggu dan lihatlah.
By: GARCILASO DE LA VEGA

Di saat meninggalkan penjara
Di sini dusta dan cemburu
Mengunci daku dalam penjara.
Berbagilah girang sederhana
Sang budiman, yang lekas tahu
Berpaling dari repot dunia!

Di tengah serba miskin dalam gubuk
Di ladangnya yang aman sentausa,
Sebatangkara ia hidup;
Hanya Tuhan yang menghibur;
Mendengki dan didengki asing baginya.
By: FRAY LUIS PONCE DE LEON

Musim semi hanya sebantar
Musim semitidak kekal, gadisku,
Musim semi tidak kekal
Jangan kau biar diri di semu waktu
Jangan oleh usia muda kau ditipu:
Waktu dan remaja menunggu karangan
Dari para kembang yang mudah layu.

Musim semi tidak kekal, gadisku.
Musim semi tidak kekal.
Mudah saja melayang usia kita
Dan dengan nafsu rampok di sayapnya,
Datang kembali mengusik kita makan,
Setan-setan jorok dan jahat.

Musim semi tidak kekal, gadisku.
Musim semi tidak kekal.
Jika sangkamu: lonceng kehidupan
Menglenengkan pagi hari bagimu,
Maka lonceng malam yang klenegan
Mengakhiri segala sukamu.

Musim semi tidak kekal, gadisku.
Musim semi tidak kekal
Bersukalah selagi kau dapat bersuka,
Bercintalah selagi orang cinta padamu
Sebelum usia lanjut cepat
Memeraki rambutmu kencana.
By: LUIS DE GONGORA Y ARGOTE

Di tengah badai
Hopla! Semoga ombak melambungkan daku,
Hopla! semoga laut memukul daku;
Hopla! dapun tak peduli, semaunya
Diri ku biar didukung, tanpa Tanya,
Biar kikis dari angkasa,
Di mana takkan cukup tinggi tegakku.
Hopla! Semoga ombak melambungkan daku,
Hopla! Semoga laut memukul daku;
By: LOPE FELIX DE VEGA CARPIO

Kepada Spanyol
Percuma kini megah menata di tembok batu
Dan kekayaan sumber sumbermu.
Tunjukkan daku sisa pusaka pahlawan perkasa,
Yang mewangi namamu dengan waninya.

Pernah kau dulu bertahta, tinggi laksana pohon
Yang megah di puncak gunung Libanon.
Suaramu: halilintar, bergegar menyambar hati pengecut
Dengan geger dan gentar takut.

Kau kini terlantar; nasibmu sedih: padang tandus,
Di mana sunyi berbungkus mampus
Dan kembang harapan bangsa, hidup merana,
Sengsara di jalan rantau dunia.

Kebesaran lama tenggelam sudah, bertutup debu
Di bawah rumput dan akar kayu;
Dan kala budak belian melihat nasibmu, tertawa
Ia, lupa engkau dulu tuanya.
By: JOSE DE ESPONCERA
Read More
10 Puisi Kenangan Abadi

10 Puisi Kenangan Abadi

 10 Puisi Kenangan Abadi - puisi ini menjelaskan tentang kenangan kenangan manis pahit indah dan mengharukan sedih dan menyenangkan, kenangan perang, kenangan cinta, kenangan damai, kenangan alam dan lain sebagainya , jika di telusuri hidup itu sepertinya memang harus perang untuk mendapatkan cinta kemudian menemukan perdamaian, selanjutnya menikmati alam dan berakhir tinggal kenangan setelah kita tua tak berdaya kemudian mati meninggalkan dunia.

Memegang
Memegang, memegang senja, buah appel dan tugu,
Memegang bayangan, dinding dan ujung jalan itu,

Memegang kaki, kuduk putih perempuan yang lena,
Lalu membuka tangan. Beberapa ekor burung merdeka,

Beberapa ekor burung penyap menjadi dinding,
Tugu, senja, buah appel dan bayang-bayang.

Tangan kau bakal aus
Dalam permainan sungguh ini.
Kami ‘kan kudung kamu,
Kudung kamu suatu hari

Memegang bila segala meluputku
Dan dengan tangan bagaimana
Memegang pikiran ini
Dan dengan tangan bagaimana
Memegang hari pada bulu tengkuknya
Memegangnya gemetarran
Bagai seekor kelinci hidup?
Mari, tidur, tolong daku,
Kau akan pegangkan daku
Yang tak dapat ku ambil,
Kantuk tangan lebih berkuasa.
By: JULES SUPER VIELLE

Perjalanan sukar
Di jalan: kereta kecil sebuah,
Dalamnya: bocah mungil seorang,
Yang tak mau mengelaikan kepala,
Kerna kereta terguncang-guncang.

Paksaan keras ini jalan
Mencambut pasangan di kejauhan,
Di mana bumi sekedar gumpalan,
Di laangit besar yang kabur nian.

Jangan bilang: inilah tempat,
Di mana mentari di pancung nyalanya.
Dua belas tukang potong berderet,
Dua belas pisau potong tertawa.

Di sini orang memancung bulan
Agar kuningnya terkejut pasi.
Lantai tonilnya ialah landasan.
Tempat menempa petir dan ngeri.

,,ayuh buyung, tutup mukamu,
Kau menempuh jalan bahaya”
,,tidakkah Nampak olehmu, tamu,
Pasangan daku berpantang kalah?”

Bocah-bocah diplanit lainnya
Jangan kau lupa anak ini,
Yang telah sekian lamanya
Tak terdengar kabarnya lagi.
By: JULES SUPER VIELLE

Munafik
Bagai badai kesak ku kitari usia mudamu.
Nafsuku memancarkan kemilau di langitmu.
Pandangku, walau hinggap-hinggap melintas,
Tak luput dari wajah kebenaran yang menusuk.

Dengan langkah ati-ati, pandang tukang tunjuk,
Ajaran zaman agar berkhianat dengan mata,
Mahir dalam ikhwal yang teradat oleh waktu,
Aku melirik sekitar mangsa yang alpa.
By: FRANCOIS MAURIAC

Sanjak kabur
Ke man hujan disambar bayu,
Berdesau lalu di atas atap?
Akupun lalu padamu mendekap,
Agar senyap rintih sedihku.

Taman gelita berpohon t’lanjang,
Lampu kecilmu padam dan nyala,
Bisikmu gairah dewi asmara,
Bagaimana jadinya sekarang?

Masih ku dengar rintikan hujan.
Bunyinya lain kedengaran…..
By: FRANCIS CARGO

Kami tak mau sedih-sedih
Kami tak mau sedih-sedih
Itu terlalu mudah
Terlalu bodoh
Gampang saja.
Untuk itu terlalu banyak kesempatan
Salah tak ada
Setiap orang sedih
Kami tak mau sedih lagi
By: BLAISE CENDRARS

Tariku
Plato tak memberi penyair hak warga-kota
Yahudi kelana
Don juan metafisik
Teman-teman,orang-orang setangga
Kamu tidak lagi beradat dan belum punya istiadat
Perlu menghindari tindasan reveu-reveu
Kesusasteraan
Hidup miskin
Kesombongan yang pincang
Kedok
Perempuan, dansa yang diajarkan oleh Niezsche kepada kita untuk ditarikan
By: BLAISE CENDRARS

Perempuan
Tapi sendirian?
Datang dan pergi tak berhenti
Pembangsatan istimewa
Semua lelaki, semua negri
Demikian maka kau tak lagi memberatkan
Kau telah membunuh perasanmu

Aku seorang tuan yang dalam ekspres yang mengagumkan melintasi keinian
Eropah sendiri dan dengan hati kecut mengamati lintas jendela

Tamasya yang tak lagi menarik perhatianku
Tapi tarian tamasya
Tamasya tari
Paritatitata
Aku putar habis
By: BLAISE CENDRARS

Lagu berirama bebas
Diambang akan terjun kebawah gelombang tidur,
Amat bimbang nampaknya kamu;
Mungkin karma takut aku akan menyusul,
Mendekap dikau dalam mimpimu.

Usah takut, karena takut bedalah peluknya
Sekitar kepala aku berat,
Dan tidur ngingau menggundah dikau, di pojok remaja,
Bersama teman yang telah tiada.

Selagi kamu tamasya di hutan-hutan, padang, lembah temak,
Dijalan-jalanyang kucintai,
Dilingkungi tidur yang nyenyak, di mana kau sembunyi,
Aku tak’] ‘kan kunjung bergerak.
Wahai, semoga sanggup aku masuk mimpimu
Dan bermungkin dalamnya.
Tapi, menyingsing fajar – dalam mencari, kamu
Harus dicurahi nyala.
By: JEAN COCTEU

Nukilan dari: potomak
Potomak! potomakku! Sebentar kujumpai kau lagi.
Lihatlah! Satu sama lain kita pisah, bagai air ringan dan air berat
Maafkan daku menamakan kau potomak.
,,pergilah, burung” firman tuhan pada hari keempat dan dalam basa ibrani ditambahnya;frrrrr !

Tahu-tahu kuperoleh nama yang kadar cocok bagimu.
Dikit demi dikit kusimpulkan suatu dunia dari padamu.
Wajiblah aku nanti melewat, bekerja, tidur.
Potomak, kusesalkan aquarium di lapangan Madeleine
Tapi kau kukunjungi nanti.
By: JEAN COCTEU


Dimana aku bakal menetap
Punya padang mesra
Dimana panasmu istirah

Mata-air dimana dadaku
Mencerminkan hari
Jalan-jalan dimana bibirmu
Tersenyum kebibir lain
Hutan dimana unggas-unggas
Pelan mengangkat pelupuk matamu
Di bawah suatu langit, yang dibayangkan
Oleh dahimu cuaca

Satu-satunya alamku semesta
Kurnia yang mudah dilaraskan
Kepada irama alam –
Kau akan tetap telanjang saja.
By: PAUL ELUARD


Kekasih . . . . . . . . . . .
Agar dapat melukiskan assratku, kekasihku,
Taruh bibirmu seprti bintang di langit kata-katamu
Ciuman dalam malam yang hidup,
Dan deras lenganmu memluk daku,

Seperti suatu nyala bertanda kemenangan
Mimpikupun berada dalam
Benderang dan abadi,

Dan bila kau tiada disana,
Aku bermimpi tertidur, dan mimpi aku bermimpi.
By: PAUL ELUARD
Read More
10 Puisi Pesta Dan Hiburan

10 Puisi Pesta Dan Hiburan

 10 Puisi Pesta Dan Hiburan - Sebenarnya puisi ini lebih cocok di berikan topik puisi kritik sosial buka puisi hiburan, tapi karena untuk melengkapi topik puisi perang , maka tidak ada salahnya puisi ini saya beri puisi hiburan sebagai pelengkap terjadinya transisi kehidupan umat manusia yang jika di urutkan hasilnya adalah sebagai berikut .
1. Puisi Perang
2. Puisi Cinta
3. Puisi Perdamaian
4. Puisi Alam Dan Lingkungan
5. Puisi Hiburan
Tiba saatnya kita membahas puisi hiburan yang ada di bawah ini :

Pesta lapar
Laparkun, Anne, Anne
Lari di atas keledaimu.

jika aku lapar, hanyalah
lapar bumi dan lapar batu.
Ding! ding! ding! ding! Santapan kita angin
Batu dan arang besi.

Hai lapar, balik kau. Lapar, makanlah
rumput padang suara!
Hiruplah racun pesta gila
Dari daun semk;

Makanlah batu leburan tangan si miskin
Pintu gerbang gereja tua.
Puntung hari kiamat,
Roti lembab kelabu!

laparku, sobekkan angin malam,
Udara bergema;
itulah perutku, guruh itu,
O, Malam.

Tanam-tanaman di bumi lahir kembali;
Mentari buah magang
Kupetik dari lobang jejak Sayur dan bunga viola.

Laparku, Anne, Anne
Lari di atas keledaimu.
By: ARTHUR RIMBAU

Bulan kuning
Siang panjang itu berakhir dengan satu bulan kuning
Yang pelahan bangkit di antara pepohonan,
Sementara di udara menyerbak dan berkembang:
Bau air yang antara pimping basah bertiduran,

Insaflah kita, bila, dua-dua, di bawah Surya memanggang
kita siksa tanah merah dan tunggul jerami yang memberkah,
Tahukah kita, bila kaki menginjak pasir gersang
Ia tinggalkan bekas langkah bagai langkahnya darah,

Tahukah kita, bila kasih menjulangkan nyalanya
Di hati kita yang recai dengan siksa putus asa,
Tahukah kita, bila padam api yang membakar kita,
Bahwa nanti baranya mesra berada di senja kita,

Dan bahwa hari getir dekat silamnya, diserbak rangsang,
Bau air yang termenung d’antara pimping basah,
Nanti pelahan berakhir dengan itu bulan kunig
Yang diantaara pohonan meningkat jadi purnama?
By: HENRI DE REGNIER

Nukilan dari: pertemuan
Sambutlah, kesilauan mesra
Kebangunanku ini
Walaupun aku jauh
Dari pada hidup kebatinan

Tapi o, udara terang,
Aku cinta kesucianmu tiada ternoda
Tiada pernah aku mencari dengan tiada mengeluh
Suatu tempatpun untuk tertinggal

Sebab tiada tempat di mana kesenangan
Lebih tegas adanya ku tahu
Mendengar engkau adalah menerima
Ambillah dan minumlah, keinginanku,
Regulah langit di atas dunia.

Kalau engkau tidak bertahan di dalamnya, janganlah engkau mencoba mencapai tingkat kegirangan ini

Pagi ini aku seperti orang yang dengan pena terlalu banyak
Tintanya takut menodai kertas, lalu mengerang bunga dari pada perkataan
By: HENRI DE REGNIER


Langkah-langkah
Langkahmu, kanak-kanak sepiku,
Kudus dan pelan di injaknya,
Menuju ranjang waspadaku,
Bisu dan Kelu dimajukan.

Makhluk murni, bayangan luhur,
Lembut nian langkahmu-teguh!
Tuhan. . . semua berkah kutaksir,
T'lanjang kaki datang padaku.

Jika dari bibirmu m'lunjung,
kausiapkan, sebagai pengaman,
Bagi penghuni serba pikirku.
Sari hidup suatu ciuman,

Jangan gegaskan 'tu tindak mesra,
Gairah jumpaan diri-takdiri
Kerna hidupku: tunggu-kau cuma.
Dan itu langkahmu: hatiku ini.
By: PAUL VALERY

Hutan yang akrab
Kami berdampingan memikirkan
Ikhwal serba murni, sepanjang jalan.
Kami berpegang-pegangan tangan,
Bisu . . .antara bungaan hutan.

Kami berjalan: suatu pasangan,
Terpencil di malam hijau padang-padang.
Kami bagi buahan alam dongeng,
bulanpun mengakrab kegila-gilaan.

Lalu kami bergeletak di mulut,
Jauh, Kendiri, dibayang lembut
Itu hutan yang komat-kamit dan akrab.

Dan nun di luhur, dalam bendrang cahaya,
Nampaklah diri berurai airmata,
Wahai teman sepiku yang akrab.

Sanjak
Suatu jerit menembus sebukit tumpukan perih
Langkah pertama kepada Tuhan
Tahunan daku peperangan bangsa-bangsa
Rebut tahunanku gaduh mesin terbang
Tahunan kenanganku gemerincing ragam senjata
Dan setiap orang putera pegunungan
Tahunanku menyimpan bekas-bekas larsmu
Kenangan hitam pekat yang melintasi guhaku
, . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Semoga babel mengangkat daku jadi murid
Asmara itu semua berantakan
Mereka dari sini mencapai puncak
Di mana ssekian pohonan berumbaikan pecuk
Kukatakan pada hewan kau boleh mampus
By: MAX JACOB

Jembatan mereabeau
di bawah jembatan merebeau mengalir seine
dan kasih kita
selamanya harus tinggal di sana
kenangan girang di susul duka.
Walau malam pasti datang dan jam luput berdetak
Hari-hari cepat silam, aku tidak.

Tangan menjabat tangan dan berhadapan kami berdiri
Sementara di bawah
Jembatan tangan kami, buru memburu:
Ombak-ombak pandangan abadi yang gitu jemu.
Walau malam pasti datang dan jam luput berdetak
Hari-hari cepat silam, aku tidak.

Kasih bagai gegas air mengalir ini.
Kasih juga mengalir.
Hidup betapa juga tenangnya,
Harapan menyiksa betapa juga hebatnya,
Walau malam pasti datang dan jam luput berdetak.
Hari-hari cepat silam, aku tidak.

Liwat hari-hari dan lampu minggu-minggu
Dan waktu yang luput
Tiada kasih dulu kembali lagi.
Di bawah jembatan merabeau mengalir seine.
By: GUILLAUME APOLLINAIRE

Terompot peburu
Sejarah kita mulya-mengharukan
Bagai kedok seorang tiram,
Drama manapun, gaib atau nasib-nasiban,
Tanjaknya remeh sekalipun
Tak sanggup menjulangkan kasih kita!
Dan Thomas de quincey memadat,
Menghisab racun lembut dan murni
Pada Annanya malam mimpi bertandang,
Mari, mari pergi kerna semua berlalu,
Aku kan kerap berpaling.
Tanda mata bagai terompet peburu,
Buminya luput di puput angin.
By: GUILLAUME APOLLINAIRE

Marie
Engkau menari gadis kecil
Tarian nenek kau tarikkan
Lompat-m’lompat terompah kecil
Dan semua lonceng klenengan
Pabila kembali kau marie?

Kedok dan topong pada bisu
Dan musik demikian jauh
Seakan sumbernya diluhur
Ya, ‘kumau mencintaasal dendamnya rindu
Sehingga nikmat perihku

Domba-domba mengharung salju
Gumpalan bulu dan perak
Serdadu liwat, dan milikku
Apa hanya itu hati tak
Tetap, lantas apa ‘ku tahu

Ku tahu rambutmu kemana
Yang kerutnya laut membuih
‘ku tahu rambutmu kemana
Dan tanganmu daunan lesi
Yang pun menutup jamji kita

Minggir-minggir seine jalanku
Sebuah buku tua di tangan
‘ni suungai lukisan sedihku
Mengalir . . . . . . terus-terusan
Kapankah berakhir ‘ni minggu
By: GUILLAUME APOLLINAIRE

Sanjak penghabisan
Tahulah memaafkan bila kami kau banding
Dengan mereka yang jadi tauladan peraturan.
sKami yang dimana-mana menerjuni main nasib-nasiban,
Kami bukan musuh kamu.
Kami bukan beri kamu kerajaan luas dan ajaib,
Di mana kegaiban bemerkahan, menawarkan diri untuk dipetik.

Di sana gemerlap nyala-nyala baru: warna-warna yang haram pernah di sapu mata.
Jutaan khayal tidak bersosok,
Yang harus di ikat jadi kenyataan.
Kami mau sidik keindahan, daerah luas penuh sunyi-senyap
Adapula musimnya orang berburu dan kembali dari berburu.

Kasihani kami yang selalu berjuang di garis depan
Tak terbatas dan nanti yang tiada batasnya.
Belasi langkah kami yang salah, ampuni dosa kami.
By: GUILLAUME APOLLINAIRE
Read More
10 Puisi Alam Dan Lingkungan

10 Puisi Alam Dan Lingkungan

 10 puisi Tentang Alam Dan Lingkungan - masih berhubungan dengan puisi perang rusia , puisi cinta dan perdamaian , jika puisi perang membahas tentang jiwa patriot, puisi cinta membahas tentang kasih sayang , puisi perdamaian membahas tentang adanya kebersamaan dalam satu perbedaan, puisi alam lebih mengarah untuk memanfaatkan perdamaian guna melestarikan alam dan lingkungan. berikut ini puisinya .

Lagu
Kukatakan pada hatiku, pada hatiku lemah:
Belum padakah kiranya sekedar mecinta kekasih?
Dan tak jelaskah bagimu: silih-ganti tak berhenti,
Maknanya: melebur-dalam-mendamba zaman bahagia?

Diberinya aku jawaban: belumlah lagi memadahi,
Belum lagi memadahi sekedar mencinta kekasih;
Dan tak jelaskah bagimu: silih-ganti tak berhenti,
Memestakan dikenanan kesenangan dulu kembali?

Kukatakan pada hatiku, pada hatiku lemah:
Belum padakah kiranya sekian tusukan sedih?
Dan tak jelaskah bagimu: silih-ganti tak berhenti,
Maknanya: merasakan sayat pilu ditiup ayun langkah?

Diberikan aku jawaban: belumlah lagi mewadahi,
Belum lagi memadahi: sekian tusukan sedih;
Dan tak jelaskah lagi bagimu:silih-ganti tak berhenti,
Memesrakan dikenangan kesedihan lampau kembali?
(1831)
By: ALFRED DE MUSSET

Sedih
Telah penyap tenaga dan hidupku.
Kawan-kawanku serta gembira:
Pun sombongku punah semua,
Itu sebab ‘ku yakin bakatku

Waktu mulai kenal kebenaran,
Sangkaku ia itu teman
Demi kumaklumi serta insafkan,
Aku lantas menjadi bosan.

Betapapun juga: ia itu abadi,
Dan mereka yang terhadapnya abai,
Menyiakan semua di sini.
Firman Tuhan, agar taat padaNya.
Yang bagiku terbaik lagi di dunia,
Ya, merattapinya kadang kali.
By: ALFRED DE MUSSET

Persamaan
Alam adalah kuil dimana pilar-pilarnya berjiwa
Kadang-kadang menggaungkan gebalau kata-kata;
Insane lalu di sana lintas rimba lambing dan tanda,
Yang menyuguhinya pandangan bagai seorang saudara.

Bagai gema-gema panjang yang berhimpun di kejauhan
Dalam suatu pumpunan yang dalam dan gelita,
Luas seperti malam dan laksana siang megahnya,
Aneka wangi, warna dan bunyi lalu berjaawab-jawaban.

Ada bauan ssegar, bagai daging kanak-kanak menghawa.
Manis bagai seruling, hijau seperti padang-padang
-dan juga si kaya busuk dan serba megah,

Yang bagai hal-hal abadi, menyan dan cendana.
Bagai ambar dan kesturi di dalam kembang,
Yang menyanyikan gairah dari nafsu dan jiwa.
By: CHARLES BAUDELAIRE

Manusia dan Lautan
Manusia merdeka, lautan selalu dalam minatmu!
Laut itu cerminmu dank au renungi jiwamu
Dalam gulungan ombaknya yang abadi bertalu.
Dan bagai kuburnya sangsai, begitu jurang rohmu.

Kau senang menduga sampai ke dasar wajahmu.
Kaupeluk ia dengan pandang dan lengan, dan
Kadang hatimu bingung kerna kebuncahan
Sendiri, kala dengar berontak dan liar risau itu.

Kau dua-duanya ajaib dan penuh rahasia:
Tiada insane yang sanggup menyelami ruhmu:
O, laut tiada yang tahu itu harta dalam kandunganmu,
Demikian benar cemburumu menyimpan itu rasia

Betapapun sejak abat-abat, dilupa sudah kapannya.
Kau telah berjuang tak kenal belas walau sesalan.
Demikan benar kaucinta maut dan pembunuhan.
Wahai saudara-saudara, yang tak henti perjuangannya.
By: CHARLES BAUDELAIRE

Bocah kapal
Bocah kapal: Ayahmu kelasi, bukan . . ?
Nelayan telah lama tak tentu hilsng. . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Ia istirahat dalam berai gelombang . .

Ibu mengkhidmani dipandan pekuburan
Suatu kuburan-ya, kosong-
Kini kewajiban ayah di bumi kuteruskan
Mencari nafkah bagi dua orang

Kanak-kanak.-jadi, dipantai,
Tak satupun kembali dari si mati . . ?
-cangklok dan terompah kayunya . . .

Ibupun menangis, setiap minggu,
Pelipur lara . . tapi aku tak mau
Kalah: jadi kelasi-bila dewasa
By: TRISTAN CORBIERE

Sepoi laut
Jasad bersedih, sayang! Dan telah kubaca semua buku.
Lari! Lari turun! Kurasa burung-burung mabuk rindu
Hendak melayap di tengah buih ajai serta angkasa!
Tak satupun, o para malam, tidak taman-taman tua
Yang bercermin di mata, akan menghalangi ini kalbu
Kecimpung dalam lautan, tidak terang-sepi lampuku
Curah di kertas yang kosong yang dibela oleh putihnya,
Dan tidak wanita muda yang sedang nyusukan bayinya.
Aku ‘kan berangkat! O kapal yang membuaikan tiang
Dan temali, bongkar sauhmu dan harungi alam asing !
Sebangsa kesal yang di lesu oleh kejamnya harapan
Masih berpegang pada pamitan terakhir sapu tangan!
Dan mungkin tiang-tiang yang mengandung para badai
Adalah yang dicondongkan oleh angin ke atas sisa sangsai
Kapal karam tak bertiang atau berpulau subur kecil.
Tapi, wahai kalbuku, dengar olehmu nyanyian nelayan!
By: STEPANE MALLAREME

Lagu hujan
Rinai tangis dalam hatiku
Bagai rintik hujan di kota:
Apa gerangan makna lesu
Yang nyusup masuk kalbuku?

Wahai, lembutnya netes hujan
Merintiki tanah dan atap.
Wahai, begini nyanyian hujan
Bagi hati di ambing bosan!

Terhambur ratap tak tentu sebab
Dalam hati yang jijik diri.
Apa, tiada pengkhianatan?
Sesal ini tak tentu sebab.

Memang sungguh paling perihnya.
Bila tidak setahu kita,
Tidak mendendam atau bercinta.
Hatipun larut dalam derita.
By: PAUL VERLAINE

Lagu musim gugur
Rintihan sangsai
Biola damai
Di musim ugur,

Menyemai lesu
Hingga kalbuku
Bisu mengadu.

Setiap detik
Rasa mencekik
Memucat muka,

Aku terkenang
Massa yang hilang;
Gabaklah mata.

Kulepas kapal
Di angin sial:
Aku terbawa

Ke sini ke sana,
Tiada ubah:
Daunan tua
By: PAUL VERLAINE

Bulan putih
Bulan putih
Menyigi hutan
Terpecik rintih
Dir tiap dahan,
Jatuh mengeluh

Wahai kasihku!

Dan danau tenang,
-cermin dalam-

Ngilatkan baying
Sepohon hitam:
Angin tersedu

Impikan mimpimu . . .

Lega damai
Meluas mesra,
Bagai merintai
Dir murni cuaca;
Bintangpun kabur. . .

Saatnya luhur!
By: PAUL VERLAINE

Seruan kepada lautan
Aku bermaksud dengan tidak terharu, dengan suara keras mengucapkan sajak-
Sajak sungguh dan dingin, yang bakal kau dengar. Kau perhatikanlah apa isinya dan awaslah terhadap kesan yang mau tak mau membekas olehnya, sebagai suatu cacat dalam khayalmu yang kacau. Jangan percaya aku hampir mati, karena aku belum lagi suatu kerangka, dan usia tua belum lagi hinggap di keningku. Kareena itu kita sampingkanlah dahulu segala pikiran perbandingan dengan burung undan, pada saat jiwanya melayang, dan pandang didepanmu hanya sesuatu yang menakutkan, dan yang menyenangkan aku kerna kau tak sanggup melihat sosoknya, tapi ia tidak begitu menakutkan seperti jiwaku. Betapa pun aku bukan seorang penjahat. . . . . . cukuplah tentang hal itu. Belum selang beberapa lama aku melihat laut kembali dan menginjak jembatan kapal-kapal dan kenang-kenanganku seperti jika aku bangun tidur kemarin. Bagaimanapun, jika sanggup, hendaklah kau setenang aku dalam membaca bahan yang telah menyesal, aku menawarkan kepadamu, dan janganlah merah-muka kala memikirkan apa benar jantung manusia itu . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Samudra tua, kaulah lambang persamaan: selalu tak berubah pada batinmu. Kau tidaklah berubah-ubah pada hakikatmu, dan jika gelombang-gelombangmu meradang di satu tempat. Nun jauh jau di suatu daerah lain mereka adalah sempurna tenang. Kau tidak seperti manusia, yang berhenti di jalanan melihat dua ekor anjing tangkap-menangkap tengkuk, tapi tidak berhenti bila lalu kereta mati; yang pagi harinya tak dapat di dekati dan senjanya berjiwa guram; yang tertawa sekarang dan menangis beresok. Aku hormati kau, samudra tua!
Samudra tua, tak ka nada yang tak mungkin bagi yang kauasuh dalam pankuanmu mengenahi kebutuhan-kebutuhan nanti bagi manusia. Kau telah dirangkanya. Kau tidak biar mudah saja mata ilmu alam menangkap ribuan resia dari organisasimu mesra: engkau segan-segan. Manusia tak putusnya bergembar-gembor, ya, tentang hal-hal remeh. Hormatku padamu, samudra tua!


Lagu menara tertinggi
Semoga datang, ya datang
Masa yang penuh gairah
Kerna lama tersia
Kau lupa semua
Ngeri dan derita
Nun luput ke langit
Dan dahaga kotor
Menggelap darahku.

Semoga datangn ya datang
Masa yang penuh gairah
Bagai padang-padang yang
Binasa, ditinggal.
Menyebar dan berlipat
Kembang-kembang dan semak
Dalam marah dengung
Latar yang kotor.

Semoga datang, ya datang
Masa yang penuh gairah
By: ARTHUR RIMBAUD
Read More
10 Puisi Persaudaraan Perdamaian

10 Puisi Persaudaraan Perdamaian

 10 Puisi Persaudaraan Perdamaian - masih seputar puisi perang rusia, seperti yang sudah di sampaikan dalam pembukaan 10 puisi percintaan rusia yang melanjutkan puisi perang satu sampai dengan tiga kini berlanjut ke tema puisi perdamaian.

Tulisa di nison Villon
Saudaraku seummat yang hidup sesudah kami,
Jangan terhadap kami hatimu kau batukan,
Dapun, bila kau belasi kami yang malang ini,
Kaupun lantas saja di ampuni oleh Tuhan.
Kau lihat kami ini lima- 'nam orang bergantungan;
Daging kamin kerangka, menjadi tepung dan debu.
Kami yang malang ini janganlad tertawakan,
Tapi doakan: Tuhan mengampuni kami dan kamu.
By: FRANCOS VILLON

Nukilan dari: ,,Grand Testament" XVIII
,,Apa kaubuat," datang tanya tiba-tiba,
,,Sampai tersangka jadi pencuri di lautan?"
Yang ditanya buru-buru menjawab tanya:
,,Kenapa aku pencuri kaunamakan?
Karena aku membajak di lautan?
Dengan hanya sebuah kapal kecil dan lemah?
Aku kini pasti telah raja di lautan,
Andai aku bagai kau punya balantentara."
By: FRANCOS VILLON

Soneta buat Helena
Bila kau telah tua, duduk termenung di tepi senja,
Menyulam-nyulam dekat tungku dalam terang pelita,
Sen,dungkanlah sajakku dan takjubi kisah lama:
Akh, Ronsand memuja daku kala diri muda juwita.
Dapun, bila kau belasi kami yang malang ini,
Kaupun lantas saja di ampuni oleh Tuhan.
Kau lihat kami ini lima- 'nam orang bergantungan;
Daging kamin kerangka, menjadi tepung dan debu.
Kami yang malang ini janganlad tertawakan,
Tapi doakan: Tuhan mengampuni kami dan kamu.
By: FRANCOS VILLON

Soneta
Hidup-hidup aku mati: aku tenggelam dalam nyala.
Dalam panas membubus, aku menggigil kedinginan.
Bagiku hidup terlalu lemes, kadang kliwat kejam.
Kekesalan yang tak terkira seiring dengan gembira.

Selagi asyik ketawa, airmata pun cucurlah.
Kebaikanku larut, tenggelam masuk ke fanaan,
Aku menghijau dan layu seketika itu juga.

Demikian asmara sesuka hati memainkan daku.
Dan bila diri kuaangka di dalam cengkramab duka,
Di luar perhitungan, duka tah membebas daku.

Tapi bila taksiranku, langgeng adanya gembiraku,
Menjulang di laut nafsuku, bagai menara bercaya.
Maka pada duka semula ia hempaskan daku.
By: LOUISE LABBE

Beruang dan dua orang berteman
Dua orang berteman, lantaran perlu uang
mendapatkan seorang pedagang
untuk menjual kulit beruang
yang masih hidup tapi segera nyawanya akan dibuang

Dengan perjanjian bahwa dalam dua hari lamanya
kulit beruang ditukar uang
mereka pergi mencari itu binatang
yang baru namanya di dengar tapi belim dilihat buktinya.
Di sana mereka diam terpaku
melihat sang binatang berkuku.

Seorang naik ke atas pohan.
bersembunyi di atas daun:
Sedang kawannya gemetar
hatinya berdebar-debar,
lalu berbaring dengan punggung ke atas,
tidak bergerak menahan napas,
supaya pabila beruang menghampiri,
ia sangka sudah mati.

beruang yang besar itu pun melihat
lalu mencium badan yang lena seperti mayat,
tapi tak lama kemudian pergi lagi tanpa bersungut:
,,Biar aku pergi menjauhi ini bangkai berbahu isi perut!"

yang naik ke atas pohon
tergopoh-gopoh turun,
menghampiri kawannya
dan lantas bertanya:

,,Bagaimana dengan itu kulit?
Dan apa yang dibisikkannya
ketika ia mencium dan memijit
badanmu dengan kukunya?"

,,Dia berkata," jawab kawannya, menganjurkan:
Jangan kulit dijual sebelum beruangnya di binasakan."
By: JEAN DE LA FONTAINE

Keledai dalam kulit singa
Keledai yang di bungkus kulit singa
Pernah menakutkan orang dimana-mana
Dan meskipun binatang itu lunak,
Tapi disangka orang ia galak.

Tetapi ketika telinganya
Dengan tidak sengaja kelihatan muncul,
Tahulah orang yang sebenarnya,
Sehingga si Badarpun berani memukul-mukul.

Orang lain yang tidak membuktikan
Keadaan yang sebenarnya,
Tercengang kagum menyaksikan
Seorang petani memukul singa.

Demikianlah sering kejadian
Orang meributkan kebenaran
yang sebagian besar
hanya benar di luar.
By: JEAN DE LA FONTAINE

Nukilan dari: Sanjak penghabisan
Bagai sinar terakhir, bagai sepoi penghabisan
Yang melincah akhir hari yang permai,

Makin kucoba petik kecapi di kaku tiang gantungan;
Siapa tahu! Giliranku dating tak lama lagi.

Ya, siapa tahu! Sebelum jarum menit dalam lingkaran,
Yang tercantum di muka jam kemilau,

Menamatkan enampuluh kali detik insutan
Dengan sipongang klenengan bergalau,

Tidur abadi telah tutup kedua pelupuk mata,
Sebelum pada sanjak yang kugubah,

Aku mulai membunuh persanjangan akhir-akhir barisnya,
Maka antara dinding-dinding ngri, mungkin

Pembawa pesan dari maut, si Hitam pengerah baying-bayang,
Diiringkan dengan serdadu yang engkar

Telah menggemakan namaku di suram ruang panjang.
By: ANDRE CHENIER

Kembang mawar Saadi
Aku mau bawakan dikau kembang mawar itu pagi;
Tapi berlebihan kautaruh diembanku terkunci,
Hingga lantaran sendat, kancing tak tahan lagi:

Habis putus semua kancing. Mawarpun berberai
Diterbangkan angin; dan semua kelaut perginya.
Mereka ikut sama air untuk tidak kembali lagi.

Gelombang kelihatan merah, seakan api menyala,
Dan malam itu bajuku jadi wangi seluruhnya.`
Wahai, hiruplah padaku kenangan yang wangi.
By: MARCELINE DESBORDES-VALMORE

Nyanyian kabut
Akh, sekali-kali jangan hina wanita yang cela.
Siapa tahu beratnya beban meruntuhkan imannya lemah!
Siapa tahu selang berapa lama lapar ia derita?
Kala badai malapetaka mengguncang iman mereka,
Siapa antara kita tidak lihat wanita yang putus asa
Lama bersitahan, berperang sampai lenyai tangannya,
Seperti diujung dahan kita lihat tetesan hujan
Menggemilang,-- dimana langit tampil gemerlapan –
Dan demi pohhon diguncang, menggigil dan bertahan:
Mutiara sebelum jatuh dan lumpur setelah gugur!
Letak salah pada kita, pada kau, kaya, pada emasmu!
Betapapun tetap saja ada air murni di lumpur itu.
Karena tetesan air itu adalah uap asal-mulanya
Dan kemali mutiara lagi dengan cerlang aslinya,
Padalah semua demikian bangkit di waktu siang
Bersama sinar mentari atau bercaya kasih-sayang.
By: VICTOR HUGO

Suatu jalan teduh di Luxembourg
Ia melintas: gadis itu,
Lincah dan cepat, sepantun burung:
Di tangannya: kuntum kemilau,
Di mulutnya: deenddang berulang.

Mungkin itu sesatunya di bumi
Yang dengan hati ku berbalas gema;
Yang, di malamku pekat bersemi,
Dengan sekerdip mencipta cuaca.

Tapi tidak; -mudaku Lah silam.
Tinggalah, sinar lembut yang nyinari
Daku,-wangi, gadis, keselarasan
Bagia melintas,-. . . . ia pergi!
By: GERARD DE NERVAL

Bukan selamat siang, bukan selamat sore
Hari tak pagi lagi, pula belum senja
Betapapun meredup cahaya di mata kita.

Tetapi senja merah, dini hari laiknya,
Dan lama sudah itu malam membawa lupa!
By: GERARD DE NERVAL
Read More
10 Puisi Cinta Rusia

10 Puisi Cinta Rusia

 10 Puisi Cinta Rusia - Masih dalam satu topik dengan 10 puisi perang Rusia , di mana topik dalam puisi tersebut menjelaskan tentang jiwa patriotisme, sosial , perdamaian dan berlabuh pada puisi percintaan yang ada di bawah ini .

 Malam acacia
Hidup hanya punya dua tiga hari bercinta: lalu pohon gigih ini digantuni berates lebah dan bunga
Waktu malam bulan juni: jika acacia kembang dan layu
Sungai berdandan tasbih lampu-lampu dan mewangi karena perempuan-perempuan mandi
Jalan-jalan raya tiba-tiba melebar dan berikaluan sebagai salan-salon kecantikan
Titian bergantungan dan manic-manik cahaya melingkup air,
Dimana aku berlalu: taman gaib berantuk dengan pelancung;
Orang-orang pergi ketempat berjanji dengan kebun-kebun dan jalan-jalan, lapamgan-lapangan luas dan buleverda
Karena mabuk kepayang lupa aku pada lorong-lorong tua Nove Mesto
Yang dinding-dindingnya kelabu dan perkasa sekarang punya kedaulatan sebuah mahligai.
Wahai malam acacia, malam gunung dan kelembutan yang menggoda, jangan pergi,
Biarlah aku selamanya hauskan cinta dan kota Praha;
Wahai jika berakhir malam bulan juni, singkat seperti cinta dan kenikmatan tubuh.
Wahai malam acacia, jangan berlalu, sebelum kutiti semua jembatan Praha;
Tiada mencari siapapun, tidak kawan, tidak perempuan, tidak diriku sendiri;
Wahai malam yang punya jejak bakal tempuhan musim panas,
Tiada kunjung pada kerinduanku bernafas dalam rambutmu;
Permata-permatamu telah merasuki dagu, kuselami air sebagai seorang pemukat terkutuk:
Wahai dapat jugalah aku mengucapkan ,,sampai-lain-kali”
Wahai malam bulan juni,
Jika tiada sempat kita lagi berjumpa,
Hiruplah aku dalam pelukanmu, kekasihku yang malang.
By: VITEZLAV NEZVAL

Suatu nulilan
Lebih baik berbakti
Dari meminta maut untuk menyerah
Lebih baik berbakti
Dari meminta maut untuk menyerah
Biarpun tiada hentinya hati
Lancing mengajak dan mengarah

Baik menempuh derita
Biarpun tenaga hendak mengakhiri
Biar menempuh derita
Biar tenaga hendak mengakhiri
Daripada seorang dari mereka
Yang membusuk dalam kubur sendiri

Baik dalam perumahan kasih
Tertindas dan terhina
Baik dalam perumahan kasih
Tertindas dan terhina
Daripada malam kembang dan bersih
Dan tiada di petik oleh tangan manapun juga
By: VITEZLAV NEZVAL

Alangkah sepi mereka yang mati
Alangkah sepi mereka yang mati,
Kawan!
Di sini dimana orang mati sendiri.

Betapa suram mereka menjerat diri,
Pelahan,
Masuk hari penuh bencana.

Maut di sini kejam,
Kawan!
Dimana padang terlalu lapang,
Di mana langit tinggi, tinggi di luhur.

Di sini dimana kita sekelumit,
Begitu sengsara ditinggal
Di atas padang hitam
Di bawah langit,
Di mana yang satu menerjuni medan.
Yang lain diam di ambang pintu;
Dimana masuk rum,put dan padang
Jalanan lesu menuntun kita.
By: MILAN DEDINAC

Kordonu
di Kordonu di padang bata,
ibu mencari mayat anaknya.

Demi jumpa, d’atas kubur ia
Tuduk berkata pada anaknya.

O anakku, biji mata ibunda
Remajamu dulu kemana penyapnya?

Ayahmu menangis, ibumu meratap,
Semoga sudi kuburmu menyingkap,

Dan kubur tia-tiba terbuka,
Si anak bicara dengan bundanya:

Bundaku sayang, hentikan keluh,
Beban tangismu berat bagiku.

Ibu, pergilah, sudilah pulang,
Jangan kuburku ibu risaukan.

Ibu, sampaikan kepada rakyat
Supaya berjuang agar merdeka.
By: PENYAIR TAK DIKENAL

Pemuda pastisan Bosnia
Kami pemuda partisan Bosnia,
Kami cinta tanah air kami,

Kami suka rela Tito, membina
Kemerdekaan ibu pertiwi.

Hutan kami tempuh, senja di tangan,
Bedil: ibu kami, hutan: rumah kami,

Rentak tembakan tak pernah seindah
Yang dilepas pemuda partisan.

Indah dari nyanyi burung: swara miitrayur.
Kema pelur dilepas gadis-gadis kami,
By: PENYAIR TAK DIKENAL

I
Dua sajak
Angin-angin merdeka menyepoi sekitarku!
Jasadku bagai kecapi, dibiar terlantar
Canggung berdiri di tengah orkes meratap,
Perlahan menggigil,
Dilupa oleh payah dan sedih, oleh derita, oleh kemestian

Aku dengarkan gemanya perlahan:
Resonator alam semesta,
Jawaban resia, hampir tak kedengaran,
Wahai keajaiban kasih!
Pucuk poon tinggi
Terharu oleh nyanyian burung-burung.

II
Silam mentari masuk kekamar,
Seekor singa merah.
Bayangannya menimpa kaca
Dan kurasa cekamnya mesra
Menyentuh kakiku telanjang.
Sku membungkuk di bawah meja,
Yang di kudusi kerja hari itu,
Dan aku lihat ia, mentari itu, mencium kakiku
Dengan lidahnya merah.
By: PANTELIS PREVELAKIS

Panorama Laut Mati
Kita serupa Laut Mati
Sekian depa di bawah muka Laut Egea
Mari bersama daku, kutunjukkan dikau panormanya:

Di laut mati
Tiada ikan
Atau rengkam atau janik
Tiada hidup

Tiada makhluk
Yang berperut
Untuk lapar
Yang makan hati
Untuk menderita.

Di sini tempatnya tuan-tuan!
Di Laut Mati
Penghinaan
Bukan dagangan
Seseorang
Yang hiraukannya.

Hati dan piker
Mengeras dalam garam
Pahit itu
Mari kedunia
Mineral.

Di sini tempatnya, tuan-tuan!
Di Laut Mati
Lawan dan kawan
Anak dan isteri
Dan ibu-bapa
Mencari mereka;

Mereka di Gomorra
Di lubuk terdalam
Amat bagia
Kerna tak usah dengar
Berita.

Dan kini kita teruskan p’lawanan kita
Sekian depa di bawah muka Laut Egea.
By: GEORGES SEVERIL

Lagu Rumani
Tanganmu telah sentuh jendelaku
Di mana angin telah menyanyi, dan kamu
Mungkin memegang mentari di tangan.
Dapun jendelaku jadi merah-muda,
Meski di saat turun dan istirahatnya
Bayangan tengah malam dijalanan.

kudamu yang tiada tandingannya
Minum di sumur lama dan terkenanglah
Aku betapa kerap kudamu dahaga;
Adapun telingaku selalu bising
Oleh derak-derik sumur di padang
Dan kudamu yang memuaskan dahaga.

Dua pisau pada ikat pinggangmu
Bicara sesamanya; yakinlah aku
Mereka tahu rahasia nasibku,
Kerna mentari meredup matanya.
Dan jauh dalam sanubariku ada
Pisau-pisau panjang nyiksa jiwaku.
By: HELENE VAVARESCO

Lagu nafas
Dengan nafas ku hirup udara
Yang rasanya berasal Provenca
Segala di sana menggirang daku
Dan tiap kudengar cakapnya merdu
Akupun ketawa, dan lantas mohon
Tiap kata diulang seratus kali,
Gitu indah terdengar olehku.

Tak pernah didengar cakap gitu manis
Di antara deras arus Rhona dan Venca
Sedari segara hingga Durensa
Adapun tak ada pojok gitu ria
Seperti di antara anak Perancis,
Tumpangan angin sambil ketawa
Yang bikin si murung suka riang.
By: PIERE VIDAL

Read More
10 Puisi Perang Rusia Bagian Ke Tiga

10 Puisi Perang Rusia Bagian Ke Tiga

 10 Puisi Perang Rusia Bagian Ke Tiga - Perang selalu menyisakan kepedihan dan sepertinya perang selamanya tidak akan menambah apapun kecuali hanya menciptakan kerusakan, jika kita hidup di atas bumi yang satu dan berteduh di bawah langit yang satu lantas mengapa kita hidup tidak bisa bersatu. 10 Puisi Perang Rusia Bagian Ke Tiga ini kelanjutan dari 10 Puisi Perang Rusia Bagian Pertama dan 10 Puisi Perang Rusia Bagian Ke Dua

Samar senja
Surya meredup bagai sekuntum mawar layu,
Kepala terkulai, lesu, seakan dalam mimpi,
Dan kelopak emasnya mengoraklah pelahan:
Daunan kemilau bersama merah warna tepi.

Alangkah tentram dunia dan damai bernafas lega
Hanya lonceng-malam berklenengan dari jauh,
Melembut melodis, seperti suara dari surge,
Dari sekuntum bintang, ajaib dan tinggi.
By: SANDOR PETOPI

Padang-padang liar Hongaria
Dalam gemulut rumputan merancah kakiku,
Padang-padang meliar, jerit gagak membiar-
Sambutan suram ini tidak asing bagiku:
Begitu gelagatnya gurun negeri meniar.

Tanah pupuk yang kudus dengan kening kucecah,
Dibawahnya cacing-cacing pasti mengerat_
Duri-duri terkutuk! Semak-semak keparat!
Apa enggan sekuntum kembang tampil ke-caya?

Lintas jarring yang jahat melata itu,
Aku mau danger semangat bumi yang lena.
Lalu mewangi kembali dan mempesona daku;
Kembang kemaren, dari luruhan k’lopaknya.

Diam di sekitar. Siuran sayur yang melitar,
Membelit daku, menutup, lalu menidirkan. . . .
Sedesau angin lewat dengan tawa bergegar
Lintas gurun yang mendesak batas pandangan.
By: ENDRE ADY

Darah dan emas
Bagi telingaku tiada bedanya,
Apa sedih membelalak, atau berahi mengerang’
Darah mengalir atau emas gemerincing.

Aku tahu dan tetap memegang: hanya segitu
Dan percuma harta benda selebihnya
Emas dan darah, emas dan darah

Semuanya fana dan semua berlalu
Pangkat, ganjaran, keharuman nama
Yang tetap hidup: emaas dan darah

Bangsa-babgsa penyap dan bangun lagi
Tapi, seperti aku: kudus, adalah perwira
Yang tetap menganut: emas dan darah.
By: ENDRE ADY

Dengan hati suci
Aku tak lagi punya papa atau ibu,
Tuhan ataupun tanah air,
Buayan ataupun kain kafan,
Ciuman ataupun kekasih.

Telah hari ketiga aku tak makan
Tidak banyak dan juga tidak sedikit.
Usia duapuluh, itulah megahku,
Duapuluh tahun ku tawarkan dikau.

Andai tak ada yang mau nerima,
Setan pasti dating memborong.
Dengan hati suci akupun merompak,
Dak kalau perlu, orang kubunuh.

Orang ‘kan tangkap dan gantung aku,
Mengubur daku di tanah suci,
Tapi rumput beracun segera tumbuh
Dari hatiku yang tetap suci.
By: ATILLA JOZSEF

Musim gugur
Malam perak bangun di tengah dingin yang sedap;
Swara gadis-gadis dilemparkannya kepada angin.
Sabit dari bulan membungkuk untuk mengusap
Rambut yang ditaburi gelap dengan sedikit embun,

Ombak yang kecimpung, swara-swara dalam gelita,
Suatu baying tercurah di balik tabir cahaya,

Suatu cermin, pada mukanya musim gugur seakan
Menafaskan abu-abu perak dari mimpi-mimpiku.
By: JOSEF HORA

Stare zeny (fragmen-fragmen)
Sore-sore minggu yang sendu
Disayukan perempuan tua
Melenggok ke jendela
Lewat kelusuhan
Atas kelusuhan ambal
Antara meja dan ranjang
Cermin dan foto
Kursi dan palma titeron

Bersandar kerangka di jendela
Mereka nanapi jalan raya
Dari itulah kesia-siaan
Sore-sore minggu

Mata dari perempuan-perempuan tua
Tiada berlinang dan segan-segan
Cemas dan lembut
Mata terpaku pada ujung

Buah sonder biji
Talam sonder atalan
Ruang ruang kelemahan
Fragmen-fragmen music tua
Sumur-sumur berisi lumpur
Genangan air sonder pembayangan

Perempuan-perempuan tua tersandung ke dalam kematian
Dan perhentian yang telah begitu sedikit
Sepanjang jalan-jalan yang dikenal
Hanya debu-debu atas sulaman
Ujung ambal yang melekuk
Rimah yang jatuh
Segala itu perhentian-perhentian
Tangan-tangan erempuan-perempuan tua
Lupa sekarang mengelus tengkuk laki-laki

Rambut kanak-kanak
Hanya cukup kuat
Untuk pengikat selampai
Penghapus air mata

Rambut-rambut perempuan-perempuan tua
Tiada ia beroleh belaian angin
Tiada yang sembunyikan wajahnya
Tiada yang membasahi bibirnya
Dalam embun bereka
Tiada kain buat ketelanjangan siapapun juga
Hanya satu lengkuk kecil
Dapat dibuat dari itu

Sore-sore minggu yang mati
Sedih karena wajah perempuan-perempuan tua
Di mana hanya terbayang
Kebosanan dan penyakit
Tiada kenangan, tiada renungan
Tiad kerinduan, tiada harapan
Hanya cacing ketiduran
Oh sore-sore minggu yang sedih
Atas kuburan perempuan-perempuan tua
By: FRANTISEK HALAS

Telah saatnya
Katubkan bibirmu keduanya, diam dan tegas.
Nyaris kikis percaya kami dan dari dunia
Kami dipisah oleh impian lembut-bercampur-manis-

Tiap kata kami mesti berakhir dalam madu membius.
Dalam xaman kabur ini, penuh bimbang dan ragu,
Kerap nian dengan kata-kata hidup kami ditembus.

hanya jika bergumuruh jatuh menimpa:
kesal khalayak yang numpuk meninggi gemintang
dan seluruh bangsaku malang berkubur di awahnya
By: FRANTISEK HALLAS

Kenyataan-kenyataan
Kalian lihat surga bergumul dengan kabut
Rumput merah
Jaring lawa digantung embun
Ulat dan kutu jauh dari bumi

Gerbong-gerbong bermuat umbi
Jika kereta di gerakkan ke sana
Dan orang banyak gemetar dikesunyian kampung

Intip kalianlah udara musim rontok keanak-anakan
Prempuan yang dating
Menempuh hujan mengguntur

Kalian lihat angkutan tentara melewati
Burung gagak dipemandangan sedih
Segala ini

Tetapi juga kita lihat ikan-ikan di kolam renang
Labah-labah dalam hati kanak-kanak
Tabung-waktu berisi semut

kita lihat ketumbuhan gunung
dan kehancurannya jadi debu kabut
dari mana Kristal-kristal burung

dan abat pertengahan dengan gerobak dan khadam
dengan uap darah kuda dan api kasar

dan akhirnya kita sampai nun di bumi Moravia
rule de la paix
di mana kaca-toko menyala
dengan keharuman-damai minyak-wangi Gemey
By: LUDOVIC KUNDERA

Kantilena dari dendam
Hari baru senja, telah mersik jari-jari berambut pada tangan hitam
Dan dibawah bulan-kuda merah-pucat kedengaran keluhan,
Kaena segala di sini dusta – juga lilin-lilin yang kedip-kedip makin lama makin suram
Dan patung-patung suci, yang pucat, termangu kering dan tiada nafsu.

Juga dusta di sini setangkai kembsng cantik, yang mengenjang segala dengan kewangian,
Bulan, yang lesu mengira menyalakan mimpi,
Jari-jari berambut, berpeluh karena tiada di gerak-gerakkan pada tangan hitam
Dan di atas segalanya berdusta di sini bulan yang mengeluh dan menangis.

Maka matilah karena lesu bulan, yang begitu lama dan iseng mengintip dan meratap
Beragam ngeri: maka menyala api dalam tangan dan jari-jari kurus berambut- yang lebih dusta dari yang lain-
Sekarang menjangkau yang lembut sepanjang dinding kelam makin tinggi
Menjangkau dan merayap pita-pita dari regin dan meraba-raba dan
Mencari sampai ketekanan-tekanan
Lalu memainkan lagu mual, sebuah senandung, yang akhirnya karam dalam sedih-sendu
By: KAREL HLAVACEK

Read More
10 Puisi Perang Rusia Bagian Ke Dua

10 Puisi Perang Rusia Bagian Ke Dua

 10 Puisi Perang Rusia Bagian Ke Dua
Beriku ini adalah sepuluh puisi perang rusia bagian ke dua , di mana puisi ini masih berkaitan dengan 10 puisi perang rusia bagian pertama , isi puisi hampir sama yaitu mengambil topil tentang kondisi perang, tapi di bagian kedua ini ada perbedaan yaitu jika di bagian puisi pertama menyangkut semangat , adapun puisi bagian kedua menyangkut sosial. berikut puisinya selamat membaca.

Seorang bapa Rusia kepada bapa-bapa Jerman
Sekarang kita berdiri di lapang terbuka
Engkau tidak usah balik ke brlakang atau menangis
Puteraku pemuda komunis, anakmu seorang fasis
kesayanganku seorang laki-laki tulen, anakmu algojo
dalam segala pertempuran, ditengah api berkobar tak putus
dalam sedu-sedan seluruh manusia
pemuda berteriak, seribu kali jatuh, seratus kali bangun
memanggil anakmu bertnggung jawab atas kejahatannya.
By: PAWEL ANTOKOLSKY

Wasilli tierkin
Di tengah tanah air Rusia,
Berjuang melawan angin, dengan dada busung
Melalui padang salju, begitulah maju Wassili
Tierkin. Ia pergi mengalahkan orang Jerman.
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . .
Dalam gemuruh meriam
Seperti keluar dari gerbang neraka
Menuju ke timur, keluaar dari kabut dan bau busuk
Malalui jalan raya, seluruh bangsa menarik diri
Ke timur, menembus kabut dan asap
Keluar dari penjara gelap gulita

Kembali Eropa ke rumah masing-masing
Sedang kapuk kasur beterbangan di atasnya
Dan kepada serdadu rusia melihat
Kawan seperjuangan Perancis, Inggris,
Polan dan banyak orang lagi, dengan rasa persahabatan
Bercampur minta maaf dan terima kasih.
Itulah dia yang memerdekakan kita
Ia memakai pici miring, bergambarkan binatang
“ Betul saya, katanya . . .,” mengapa tidak, saya selalu ada,
Kalau perlu bantuan
Saya tidak banyak kehendak. . . .
Itu kewajiban kami, tak lebih tak kurang. . . .
Dan tidak kami sesali bendera-bendera lain.
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . .saya tidak lebih baik atau lebih jahat dari orang lain
Akan mati dalam peperangan ini
Tapi, apabila perang habis nanti, hai
Berilah saya tempoh sehari
Berilah kepada saya, hari penghabisan itu
Bersuka cita-ria dalam keramaian damai seluruh dunia
Mendengr salvo kemenangan
Yang akan menderam dia tas moskau
Berilah saya kesempatan agak sedikit
Untuk berjalan-jalan antara mereka yang hidup
Biarlah saya mengetuk
Jendela rumah didaerah kelahiran
Dan kalau orang keluar
Oh malaikat maut, izinkan saya
Berkata sepatah lagi
Ya, sepatah saja
. . .tidak. tidak akan saya izinkan”
Tierkin gemetar, ai, yang telah kaku
Diliputi oleh kain kafan salju.
Saya masih hidup, serdadu hidup
By: ALEXANDER TWARDOWSKY

Nukilan dari: Lagu hati yang tersinggung
Bagi kita abad sengsara
Hari lahir dicab besi panas
Dalam ayunan, manusia telah biasa
Menerima nasib jadi serdadu

Angin panas hawa perang
Melalui masa rampas merempas
Tuan berjalan. Kami enggan
Kembali menjadi liar
Dengan impian ketenangan,
Persaudaraan dan damai.

Itu warisan kita. Kita ikut
Janji dengan waja;
Pagi menyingsing asap bergumpal
Siding mati akan menuju hidup
Dan hidup takkan mati,
Tak terkalahkan
By: ALEXEJ SURKOW

Permohonan sebuah boneka
Berjalan berat bagi anak-anak.
Jalan jauh mendatangkan lelah.
Tapi aku akan ikut, karena
Enkgau pergi bersama-sama
Karena saya hanya barang.
Anak kecil minta makan dan minum
Tapi saya tidak pernah minta apa-apa,
Karena saya boneka, karena saya barang.
Kapal terbang negeri asing
Menukil kebawah membunuh anak,
Bagi saya ia tak berbahaya,
Karena saya barang.
By: ALKADY KULJESJKOW

Lima pelor
Pada musuh kulepas pelor pertama;
Pelor, kecap darahnya,
Agar dnjeprku saying dan bumi, inangku,
Berbalas dendamnya setapak demi setapak

Pelorku kedua,- dari bunda asalnya
Pembalas siksa ia derita
Kembali aku nanti, ibu tak ada lagi
Rombongan bedebah telah pukul ia mati

Lagi sebuah pelor- dari kakakku perempuan
Pembalas kekejaman berlaku atasnya
Mereka seret kakakku ke pinggir sungai dnjepr
Mereka perkosa dengan kejamnya

Pembalas temanku, pelor keempat kulepas
Ia berjuang di sampingku di selatan.
O, tangan, tetalah engkau ! M’layanglah pelorku
Balaskan bagiku ajalnya dini saat.

Pelor terakhir penembak mati seorang
Tepat bersarang dijantung sang fasis,
Pembalaskan tanah airyang ku punya dan jaga
Junjungan hari selama hidupku

Lima pelor kulepas, lalu cepat
Gagang pelor kembali kuisi
Pembuktian pada musuh dimedan perang
Betapa kekal setia-Rusiaku.
By: ANATOLI SOFTRONOW

Dendamnya kepada Tsar
Kala dipaksa ke Siberia jalan kaki,
Akupun kerja paksa dengan rantai dikaki,
Tapi sama-sama dengan kaum pemabuk ini,
Aku mau banting tulang . . . untuk Tsar

Andai bagi teman hidup kupilih istri,
Akan kau pilih sseorang wanita Tartar,
agar dari turunanku nanti terlahir
seorang algojo . . . untuk Tsar

bila aku nati jadi petani,
bibit kusemani: bibit rambut putih
hingga bila sampai ajalku nanti,
sedia bahan tali . . . untuk Tsar.

Serat putih yang abu-abu
Akan tegas m’luncuri tanganku.
Dari padanya jerat di jalin putraku
Untuk Tsar . . . untuk Tsar
By: ADAM MIKIEWICZ

Doa
Tuhan, lepas lonceng mas berkleneng puas
Di dalam hati kami, lepas polandia membuka
Hamparan didepan kaki kami yang lesu,
Seperti haririntar meretas udara.

Mari kita cuci kediaman bapa kita
Dari kesalahan , sedih dan dosa kita,
Kala mengemasi batu-batu yang pecah.
Biar miskin asal bersih itu rumah

Yang berdiri di pandan pekuburan.
Dan pabila bangkit kembali negeri
Kita yang seakan bagai mayat terhantar.
Biar ia diperintah kaum yang jujur.

Oleh buruh. Biar rakyat dengan megah
Berdiri di tengah fajar kemerdekaan
Yang baru bersih: limpahkan ke tangannya
Hasil panan dari tetesan jerihnya.

Jangan biar uang berlipat ganda
Bagi mereka yang tidak mau berbagi,
Lempar si berkwasa dari tempat tingginya
Dan lepas si dina menerima warisan.

Beri kami kembali roti Polandia kami
Dan nikmat rasa anggur polandia;
Apabila kami mati, kuburkan kami
Dalam peti dan pada kayu Polandia.

Dengan sedih dan duka mengabur pandangan,
Kamupun berlutut, di bumi berdo’a,
Agar mereka yang tinggal dan bertahan,
Memaafkan mereka yang melarikan diri.
By: JULJAN TUWIM

Segala
Di manpun kami jumpa,
Terpancar sekitar dunia,
Di Lissabon atau di London,
Pasang tetap menghancurkan dan
Punah harap ‘kan balik seg’ra.

Apa yang kita perjuangkan?
Hasrat kita apa gerangan?
Merebut hak kita kembali?
Tidak, bukan harta ‘tau nama,
Pun bukan peristiwa fana
Diniat, tapi ujut yang suci.

Tujuan bukan hendak kuasa,
Tapi – sekedar nanti dimasa
Depan dapat lagi duduk sama
Bukan untuk memaksa orang
Cakap ‘rang kampong, dengung latar,
Dan ringkik kuda dipasang senja.

Bukan untuk memaksa orang
Mengikut kita, tapi pulang
Dan hidup ditengah k’luarga,
Makan roti milik sendiri,
Jalan lurus, tak kenal ngeri,
Menyalami gemintang malamnya.

Untuk lintas jendela menjenguk
Kedahan-dahan kayu berperak
Rintik hujan, menjulang basah;
Jala-jalan dan jumpa dengan
Teman di kakilima – bersalaman
Tak seberapa – tapi segala.
By: ANTONI SLONIMSKI

Kuimpikan hari-hari bersimbah darah
Kuimpikan hari-hari bersimbah darah
Yang bakal pukul dunia hancur-luluh
Dan diatas puingan dunia lama
Membangunkan lagi dunia baru.

Akh, berbunyi, berbunyi juga hendaknya
Sipongang nafiri untuk perempuan.
Tanda menyerbu, tanda menyerbu,
Tak ayal lagi lekas diberikan.

Aku melompat dengan bagia di kalbu
Ke atas pelana di punggung kudaku
Lalu menyerbu di medan pertempuran
Dengan gairah yang t’lah sifat jiwaku

Dan jika jiwaku dadaku direcai tusukan
Akan ada seorang yang bakal balutnya
‘kan ada yang bawakan penawar siuman
Hingga lukaku jadi sembuh olehnya.

Andai aku ditawan, ‘kan ada seorang
Yang cari daku sampai dalam penjara
Dan dengan, ya, bintang timur matanya
Mengenyahkan di sana segala gelita.

Dan andai aku mati di tiang gantungan
Atau maut menyambar ditengah medan
Akan aada seorang yang dengan tangisnya
Mencuci mayatku bersimbah darah
By: SANDOR PETOPI
Read More
10 Puisi Rusia Bagian Pertama

10 Puisi Rusia Bagian Pertama

 Berikut ini adalah 10 Puisi Perang Karya sastrawan rusia masa perang dunia ke 2 , dalam bait bait puisi mereka menjelaskan sebuah kesedihan semasa perang , puisi tentang perjuangan, harga diri, sosial , semangat dan motivasi dan lain sebagainya , banyak sekali puisi karya sastrawan rusia , berikut 10 puisi bagian pertama yang baru saya kutib dari buku hasil terjemahan ke bahasa indonesia , selamat membaca

1. Gerhana matahari
Igor di tepi sungai Donetz-tiba-tiba melihat
Semacam gelita menyelubungi tentaranya;
Ia menengadah mencari benderang;
Tapi, ah! Mentari seakan kehilaangan bulan sabit,
Bertitik api yang menyala pada tiap tanduknya,
Dan diudara gelap bermunculan bintang-bintang;
semua yang melihat berkunang-kunang matanya.
“ Alamat buruk”, begitu kamit para perajurit.
Orang-orang tua lesu menekurkan kepalanya:
“Alamat bagi kita: ditawan atau mati”.
Tetapi raja Igor: kawan-kawan seperjuangan,
Penjara lebih sengsara dari pada mati,
Tapi siapa dapat mengatakan, alamat buruk ini
Meramalkan kalahnya kita atau kalahnya musuh?
Ayo, mari pacu kuda kita yang cepat,
Supaya akhirnya kelihatan sungai Don yang biru!”
Ia tidak peduli alamat mentari,
Demikian besar hasratnya ke sungai besar itu . . . .
By : penyair yang tak dikenal

2. Kepada penyair
Pantangan, penyair, mengharap sanjung ‘rang ramai.
Riuh tepuk mereka sebentar mati gemanya;
Lalu kau dengar putusan timbangan pak tolol
Dan ketawa khalayak yang bikin hati patah;
tapi andai kau teguh, tak guncang dan sederhana,
rajalah engkau dan nasib raja ikut sendiri.
Batin bebas didiri berseru padamu: teruskanlah !
Sempurnakan kuntum indah dari mimpi-mimpimu,
Tapi jangan harap-puji atas buah ciptamu.
Puji berakar dibatin; hakimnya engkau sendiri,
Dan ambil putusan terkeras terhadap diri sendiri.
Tapi, andai kau puas, biar itu kawanan menggonggong,
Peduli mereka meludah dinyala mimbarmu
Dan pada tarian asap menyal dari kuilmu
By: ALEKANDER SERGEJEWITSJ PUSJKIN

3. Elergi
Seperti akibat anggur memberat
Gairah hidup yang mati dari hari-hariku menggila;
Dan seperti anggur yang kian tua kian keras
Lebih berat masa silam itu pada kejatuhanku.
Jalanku suram-suram. Laut masa depan yang menggemuruh
Hanya memawa alamat bagiku: banting tulang dan duka lara…
Tetapi wahai teman, aku tidak inginkan mati!
Aku mau hidup, mimpi dan bertarung lagi!
Dirancah susah, takut dan sengsara.
Aku tahu, aku akan mengecap suka-ria.
Aku akan mabuk sekali lagi dipuncak dewata,
Digugah mencucurkan air mata oleh renungan punyaku sendiri,
Dan mungkin bila duka penghabisan mendekat datang,
Baru cinta dan senyum-pamitan menggilai menang.
By: ALEXANDER SERGEJEWITSJ PUSJKIN

4. Nabi
Jiwa rengsa karena dahaga rahmat
Kembara daku digurun tandus
Disamping jalan tiba-tiba terlihat
Muncul bidadari bersayap enam;
Mataku di sentuh jarinya mengelus
Terkejut laksana mata rajawali
Terbuka nyelang dititis ilham
Tatkala telingaku diraba jari tilus halus
Kudengar segala getaran di cakrawala
Para bidadari melintas di langit tinggi
Hingga serangga nan bergerak dasar samudra
Serta anggur yang lilit membelit kayu
Dan tatkala ia menjamah mulutku
Direnggutkannya lidahku yang penuh dosa
Dari segala tipu dan pongahnya;
Maka antara biirku yang telah lena
Dipasang suatu ganti yang mulia.
Serta darah yang ergelimanng antarra jarinya
Demi pedangnya meruntas membelah dadaku
Hatiku yang gemeter direnggut pula
Dan diruang dadaku yang terngaga
Ditaruh bara hidup menyala
Sepantun’rang mati terlentanglah daku
Di padang pasir’ hingga Tuhan datang berseru:
Bangkitlah, nabi, dengarkan firmanku
Arungi daratan dan lautan mara
Dan cetuskan api katamu dihati manusia!
By: ALEKANDER SERGEJEWITSJ PUSJKIN

5. Layar di Laut
Putih layar itu dan sepi
Pada biru abadi berkabut;
Lari dari apa di pangkalan sendiri?
Apa dicari dalam yang baru?

Ombak-ombak menggila dan angin melulung
Dan tiang-tiang gemeretakan
Saying! Ia bukan m’luputi sial
Pun bukan member kemujuran.

Di bawahnya: arus, gelombang lazwardi,
Di atasnya dada emas mentari.
Tapi ia, pemberontak-mengajak badai
Seakan ada damai didalam badai.
By: MIKHAIL YURYAWITJ LERMONTOW

6. Ode atas Kematian Pusjkin
“ Ayolah kamu, turunan yang angkuh dan tidak bermalu
Kaulumuri mana baik bapak-bapakmu,
Kamu, yang terdampar kemari tidak punya apa-apa
Selain kepingan nama yang agung diselamatkan kesempatan
Kamu, khalayak lapar yang berkerumun sekitar mahkota
Algojo kemerdekaan, orang ulung, dan kemegahan
Kamu bersembunyi dibalik lindungan undang-undanh
Di depan kamu, hukum dan keadilan diharuskan bisu!
Tetapi wahai lintah darat, bagimu menanti kadar Tuhan
Suatu putusan yang menyeramkan
Tidakkan dapat ia kau capai dengan emas berderingan
Yang tahu segala muslihatmu sebelumnya, bahkan juga sseala perbuatanmu
Dan sia-sialah kamu memanggil saksi mati
Yang haram yang menolongmu lagi;
Juga dengan tidak segala noda darahmu yang membeku
Kamu akan menghapus darah-pujangga yang suci.”
By: MIKHAIL YURYAWITJ LERMONTOW

7. Badik
Kau sungguh kekasihku, badikku putih-baja,
Teman berkilau dan dingin
Ditempa anak Jorja yang ngidam dendam,
Diasah anak sirkas perkasa.

Tangan yang mesra, dalam manis pamitan,
Memberikan dikau, penanda sejenak pertemuan;
Dapun darah ngelimantang pada logammu,
Tangis-bersinar mutiara pilu.

Dan para mata hitam berpaut pada pandanganku,
Nampaknya seakan dilinangi sedih cair;
Bagai matamu cerah, dimana nyala gemetar,
Mereka cepat redupnya, lalu gemilang.

Kau bakal lama teman seiringku!
Nasehati daku sampai saat ajalku!
Aku mau nanti jiwaku keras dan setia,
Seperti dikau, temanku bertajung baja.
By: MIKHAIL YURYAWITJ LERMONTOW

8. Sanjak
Sahabatku, saudara, manusia yang lesu dan siksa,
Siapa juga engkau, janganlah putus asa.
Walau merajalela dusta dan kejahatan
Disini bumi yang bersimbah tangis,
Walau cita-cita leluhur kita cemar dan kandas,
Walau tak bersalah, darah kita tumpah, yakin, ya, yakinlah:
Datang saatnya baal nanti mesti mati,
Saat kasih kembali bersinar mewaraas!

Wahai sahabatku! Tidak bukannya mimpi cakerawala teerang
Bukan harapan yang sia-sia belaka, lihat sekeliling,
Betapa sang jahat memerintah di malam pekat.
Tapi dunia telah jemu sengsara dan ejekan,
Bosan perlombaan waras dan sia-sia.
Dan dengan tangis berlinang dan do’a di Kabul
Ia nanti nengadah pada kasih abadi.
By: SEMEN YAKOWLEWITSJ NADSON

9. Ya, Luhur Musik dari Laguku
Ya, luhur music dari laguku;
Gema keluhan memenuhnya,
Nafas pahit dari jauh mengejangnya
Dan tak bungkuk punggung dibawah cambuk.

Kabut-kabut hari menimpa senja.
Pencapai tanah janjian, akupun ikut.
Sia-sia jalan yang ditelan bayang.
Dunia bangkit sekitarku bagai dinding.

Kadang dari negeri jauh itu, bisikan
Sia-sia, guruh jauh laiknya.
Dapatkah pupus sakit lama yang lesi
Ddalam lama menunggu sesuatu ajaib?
By: FLODOR SOLOGUB

10. Pintu gerbang
Dua kelana yang lesu mengetok di pintu gerbang.
Lama mereka mengetok, keras-keras dan tabah.
Bulan, lintas gumpalan kabut, sedih memandang
Mereka dibawah; malam pun sepi tiada berdesah.

Waktu berhenti, tapi ta hentinya malam buta
Mendorong batas sampai merangkum khatulistiwa.
Telah kering tenaga ditangan mereka yang luka,
Namun, berat dan bisu, gerbang belum membuka.

Tetap saja gerbang pintu yang dikunci,
Bungkem, dingin dan angkuh: bukit batu laiknya.
Si pengembara dua-dua gemetar serta pasi,
Bagai kabut mengambangdalam caya purnama.

Dan tahun-tahunpun senyum atas gagal mereka.
Dan telah istirahat keduanya di pangkuan pertiwi
Sekalipun ratusan tahun perlahan berlalu,
Hasrat mereka menyala seperti merah pagi.
By: KONSTANTIN DIMITRIWITSJ BALMONT

Daftar Pengarang Puisi :
  1.  penyair yang tak dikenal  
  2. ALEXANDER SERGEJEWITSJ PUSJKIN
  3. MIKHAIL YURYAWITJ LERMONTOW
  4. KONSTANTIN DIMITRIWITSJ BALMONT
  5. FLODOR SOLOGUB
  6. SEMEN YAKOWLEWITSJ NADSON

Read More
Puisi Gombal

Puisi Gombal

Puisi Gombal - Berikut ini adalah puisi gombal bernada sedih , biasanya puisi
Puisi Gombal - Berikut ini adalah puisi gombal bernada sedih , biasanya puisi seperti ini atau bahasa seperti ini di gunakan oleh cewek atau cowok yang ingin menjaga jarak orang yang sudah tidak di cintai.

Tangisku di keheningan Malam
Jerit Rintih Atas Hendak Orang Tua
Korbankan Pendidikan Untuk Perjoddohan
Air Mata Berlinang Seiring Jeritan

Hariku berteman dengan kepliuan
Kesedihan di kala kesendirian
Berjalan di atas mimpi
Cari kedamaian Hati

Ku Cari Iklas Dan Rela
Ku cari sabar di hutan luka
KU Usaha tegar dalam raga lemah
Ku senyum di atas linangan air mata

Sebagai anak
ku bisa pasarah
Jika melawan
Sama ku bunuh mereka


Sebagai hamba hanya bisa berdoa
Jika menentang
Sama saja ku tidak berimana

Dan Kini
Ku sujud dan berdoa
mohon penerangan langkahku
untuk mengarungi hidup bersama pilihan orang
cinta cita itu selalu ada

Read More