Tampilkan postingan dengan label Puisi Gaul. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Puisi Gaul. Tampilkan semua postingan
Rayuan Sms Gombal Lucu Romantis

Rayuan Sms Gombal Lucu Romantis

Rayuan Sms Gombal Lucu Romantis - Jaman sekarang mencari kenalan lebih mudah karena ada internet , sebuah kesempatan yang cukup menjanjikan , dengan internet kita bisa leluasa memilih siapa saja untuk di gaet hatinya , asal tahu caranya maka kita bisa memiliki hati seseorang melalui internet untuk kemudian di lanjutkan ke dunia nyata , hal ini menguntungkan bagi kita yang awalnya minder mengenal mereka waktu di dunia nyata . oke silahkan gunakan Jurus Rayuan melalui SMS GOMBAL LUCU ROMANTIS INI .

Hy...
Walau belum ada perjanjian
Untuk selalu setia bersama
Baik suka maupun duka
Izinkan nomorku masuk hpmu

Hy...
Dulu aku kenala seseorang
Tapi nomornya lupa
Sekedar mengira ngira saja
Apakah nomor ini miliknya

Hy...
Baru saja aku sakit hati
Karena dia ingkar janji
Terpaksa aku sms ke nomor ini

Selamat sore...
Pemilik nomor cantik
Orangnya juga menarik
Selalu tersenyum pagi sore
Siang dan malam

Hy....
Ini adalah sms pertamaku
Mudah mudahan ini awal sebuah perkenalan
Selanjutnya jadi pertemanan
Persahabata yang tidak terlupakan

Hy aku buka hanphone
Kata temanku kamu orangnya cantik
Menarik dan baik hati
Salam kenal ya

Hay artis
Aku dapat nomor dari teman
Katanya kamu enak di ajak kenalan
Supel dan penuh wawasan

Hy...
Ketika malam berteman bulan dan bintag
Aku berteman dengan orang yang mau smsan


Hy...
Sms ini mungkin hanya satu kenangan
Bahwa ada satu orang yang diam diam mengharapkan
.
Read More
Top 10 Puisi Cinta Online

Top 10 Puisi Cinta Online

Top 10 Puisi Cinta Online - berikut ini adalah kumpulan 10 puisi tentang cinta yang meliputi perasaan rindu , pujian, kasih sayang, perpisahan, kesedihan asmara cita cita dan orang tua serta orang dan lingkungan sekitar kita , semua di sampaikan dengan ringkas lugas dan jelas , tak ada salahnya jika Puisi ini di katakan 10 puisi populer untuk kategory puisi cinta .

 10 puisi cinta ini di samping enak di baca juga sejuk di hati , lebih jauh lagi puisi ini bisa di jadikan sumber inspirasi bagi siapa saja yang ingin membangun hubungan asmara , mengungkapkan perasaan dengan puisi sudah tidak di ragukan lagi kemanjuranya , mudah mudahan 10 puisi cinta ini bermanfaat bagi pembaca puisikampuc.blogspot.com , selamat membaca .

gambar puisi cintaKekasih...!
Keberadaanmu di yakini setiap insan
Kasih sayangmu tidak ada bandingan
Cintamu ibarat syurga firdaus
Cintaku padamu abadi
Dan tidak akan hilang di telan jaman
Karena hidup matiku hanya untukmu

Kekasih...
Tetesan Air Mata Ini hanya untukmu
Berharap kembali masa dulu yang hancur
Semuanya karena kesalahaku
Maaafkan aku

Kekasihku...!
Hati dan jiwa ini kosong tanpamu di sisi
Pikiran dan perasaan ini gelap tanpa hidayahmu
Ingin ku raih ketenangan dan kebahagiaan bersamamu
Agar aku selalu dalam perlindunganmu

Kekasihku...!
Lindungilah aku dengan keridhaanmu
Dalam setiap langkaku
Gerak gerik hidupku
Detak jantung dan nafasku
Supaya aku jadi hambamu
.
Ku harap tulusnya hatiku
Di sertai Nur Iman Anugerahmu
Ku berharap rangkaian doaku
Senantiasa menyebut namamu
Dan di setiap putaran waktu
Aku senantiasa lakukan amanahmu
Sebagai bukti betapa besarnya cintaku padamu.

--- Puisi Cinta Untuk Teman -----
gambar puisi perpisahan
Teman Ku..
Ketika Bersama Berjuang
Suka Duka Tangis Tawa
Kita lalui Dengan Canda tawa
Membuat Hati ini Berat
Walau sulit aku sampaikan
Biarlah ini ku simpan dalam hati
Hingga akhir perjalanan

Temanku
Setalah menginjak remaja
Kita menjadi harapan bangsa
Generasi Hebat penuh wawasan
Kegembiraan tanpa di wajah
Teriakan Merdeak Di Suarakan

Namun...temanku
Waktu perpisahan Ada di depan
Seperti matahri terbit di pagi hari
Hati menjadi duka di balik bibir tertawa
Tidak dapat di elakan
Kecuali air mata kenangan
.
Temanku
Kenangan masa lalu masih ku simpan
Akan terus aku simpan di hatiku
Pertemuan pasti menjelang
Apabila tiba waktunya .

Puisi cinta untuk teman ini , cocok sekali untuk mengisi acara perpisahan lulusan sekolah atau kuliah, di mana waktu itu sudah pasti tergambar waktu senang dan susah , senang karena kita lulus susah karena kita akan berpisah dengan teman seperjuangan.

Perhatian : Karena di perikirakan 10 puisi ini akan menjadi terlalu panjang jika di sampaikan dalam satu halaman , maka halaman Top 10 puisi cinta ini akan di sambung ke halaman berikut, atas perhatianya kami ucapkan terimakasih, salam seindah puisi .
Read More
10 Puisi Renungan

10 Puisi Renungan

 10 Puisi Renungan - buat apa berperang jika akhirnya kita cinta damai menjaga lingkungan yang indah untuk di kenang toh hidup ini tanpa perang akhirnya mati juga , puisi renungan ini melengkapi daftar 10 puisi terbaik puisi kampus kali ini, perlu di ingat bahwa 10 puisi renungan ini hanya berisi tujuh puisi saja dan masih kurang tiga judul .
Potret sendiri
Aku sejak dulu seorang tualang,
Paling tak cakap antara pengarang,
Penyair spanyol yang paling dangkal,
Dan pandai sanjak sewenang wenang.
Tapi kendati ‘ku mungkin penyair paling subur,
Mungkin seluruh buah penaku: hanya dengung
Tak bermakna dan hampa,
Kembang tiada wangi, flacon kosong.
By: JOSE ZORILLA Y MORAL

Angan-angan
Apalah artinya suka, hidup, bahagia,
Bila asing harapan dan kemashuran,
Suatu jalan tak berujung, sunyi tak rata;
Jalan ziarahmu, demi lanjut, melesukan

Berilah daku lagu-akh, biar cuma satu;
Buaikan, bila menjerit, hati di alam mimpi
Dan pualam yang kekal bakal tampil di matamu.
Bangkit dari debu suatu jaman yang lama mati.

Harapan! Kemashuran! Apa lagi di risaukan.
Suatu manikin yang gemilang di depanku.
Apa peduli hidup seperti orang minta-minta
Bila seperti Pindar dan Homores kita berlalu.
By: JOSE ZORILLA Y MORAL

Nukilan dari: OP. cit.
Hai tenteram,
Udara panas-panas-dingin,
Dan hujan turun
Pelan dan bisu;
Dan selagi aku bias
Meneguk tangis dan mengeluh,
Anakku, mawar mungil itu,
Matanya di tutup maut.
Damai dan sepi terekam di keningnya, kala
Pamitan dengan ini dunia.

Sungai-sungai pada kelabu; kelabu
Pohonan dan gemunung, abu-abu;
Kabut yang meliputiinya, kelabu,
Dan abu-abu gemawang yang berarak di langit.
Seluruh bumi berliput sedih kelabu,
Itu warna usia tua.

Kadang kali redup-redup bangkit desau
Hujan dan angin
Yang bertiup di pohonan, melulung dan mengeluh,
Demikian aneh, hampa dan perih bunyi
Ratapnya, seakan orang menyeru si mati.
By: ROSALIA DE CASTRO

Apa hidupmu itu, jiwaku?
Apa hidupmu itu, jiwaku, apa biasamu?
Hujan di telaga!
Apa hidupmu itu, jiwaku, apa biasamu?
Angin di angkasa!
Betapa ‘kan suci lagi, jiwaku, hidupmu?
Gelita diguha!
Hujan di telaga!
Angin di angkasa!
Gelita di guha!
Menangis hujan dari langit dan awan . . .
Angin adalah kesah yang tak kenal pamitan.
Derita: gelagak hitam tak terhiburkan,
Dan hidup: hujan dan gelap dan angin.
By: MIGUEL DE UNAMUMON Y YUGO

Mati, tidur . . . .
Buyung, untuk istirah
Kauperlukan tidur,
Membung resah,
Membunuh angin,
Berhenti ngembara
Dengan pikiran . . .
-ibu, satu-satunya istirah:
Mati.
By: MANUEL MACHADO Y RUYZ

Sanjak
Jalan di lindung bayang. Gedung-gedung tua dan tinggi menyembunyikan
mentari silam; di beranda gema-gema cahaya bermain.

Tidaklah kau lihat, dalam pesona beranda berhias kembangnya,
Luncur merah muda dari wajah kau kenal?

Raut badan di balik kaca, dengan lantunan bimbangnya,
Berkilau dan menghilang, seperti muka lama kehitaman.

Dijalan hanya bunyi langkahmu kedengaran.
Pelahan gemanya lewat itu pun penyap

O, siksa!hati makin berat dan perih ,,lakah itu?’’
Tak mungkin . . . teruskan perjalanan . . . bintang dilangit.
By: ANTONIO MACHADO Y RUYZ

Sanjak
Rumah tercinta,
Kediamannya,
Menunjukkan,
Di atas tumpuk runtuhan yang rapuh
Dan hancur luluh,
Kerangka kayu tak tentu bentuk,
Hitam, berserpihan.

Bulan mencurahkan benderangnya
Masuk mimpi, yang berkilatkan perak
Di jendela. Berbaju buruk dan sedih di hati,
Aku tempuhlah jalan tua itu.
By: ANTONIO MACHADO Y RUYZ

Read More
10 Puisi Persaudaraan Perdamaian

10 Puisi Persaudaraan Perdamaian

 10 Puisi Persaudaraan Perdamaian - masih seputar puisi perang rusia, seperti yang sudah di sampaikan dalam pembukaan 10 puisi percintaan rusia yang melanjutkan puisi perang satu sampai dengan tiga kini berlanjut ke tema puisi perdamaian.

Tulisa di nison Villon
Saudaraku seummat yang hidup sesudah kami,
Jangan terhadap kami hatimu kau batukan,
Dapun, bila kau belasi kami yang malang ini,
Kaupun lantas saja di ampuni oleh Tuhan.
Kau lihat kami ini lima- 'nam orang bergantungan;
Daging kamin kerangka, menjadi tepung dan debu.
Kami yang malang ini janganlad tertawakan,
Tapi doakan: Tuhan mengampuni kami dan kamu.
By: FRANCOS VILLON

Nukilan dari: ,,Grand Testament" XVIII
,,Apa kaubuat," datang tanya tiba-tiba,
,,Sampai tersangka jadi pencuri di lautan?"
Yang ditanya buru-buru menjawab tanya:
,,Kenapa aku pencuri kaunamakan?
Karena aku membajak di lautan?
Dengan hanya sebuah kapal kecil dan lemah?
Aku kini pasti telah raja di lautan,
Andai aku bagai kau punya balantentara."
By: FRANCOS VILLON

Soneta buat Helena
Bila kau telah tua, duduk termenung di tepi senja,
Menyulam-nyulam dekat tungku dalam terang pelita,
Sen,dungkanlah sajakku dan takjubi kisah lama:
Akh, Ronsand memuja daku kala diri muda juwita.
Dapun, bila kau belasi kami yang malang ini,
Kaupun lantas saja di ampuni oleh Tuhan.
Kau lihat kami ini lima- 'nam orang bergantungan;
Daging kamin kerangka, menjadi tepung dan debu.
Kami yang malang ini janganlad tertawakan,
Tapi doakan: Tuhan mengampuni kami dan kamu.
By: FRANCOS VILLON

Soneta
Hidup-hidup aku mati: aku tenggelam dalam nyala.
Dalam panas membubus, aku menggigil kedinginan.
Bagiku hidup terlalu lemes, kadang kliwat kejam.
Kekesalan yang tak terkira seiring dengan gembira.

Selagi asyik ketawa, airmata pun cucurlah.
Kebaikanku larut, tenggelam masuk ke fanaan,
Aku menghijau dan layu seketika itu juga.

Demikian asmara sesuka hati memainkan daku.
Dan bila diri kuaangka di dalam cengkramab duka,
Di luar perhitungan, duka tah membebas daku.

Tapi bila taksiranku, langgeng adanya gembiraku,
Menjulang di laut nafsuku, bagai menara bercaya.
Maka pada duka semula ia hempaskan daku.
By: LOUISE LABBE

Beruang dan dua orang berteman
Dua orang berteman, lantaran perlu uang
mendapatkan seorang pedagang
untuk menjual kulit beruang
yang masih hidup tapi segera nyawanya akan dibuang

Dengan perjanjian bahwa dalam dua hari lamanya
kulit beruang ditukar uang
mereka pergi mencari itu binatang
yang baru namanya di dengar tapi belim dilihat buktinya.
Di sana mereka diam terpaku
melihat sang binatang berkuku.

Seorang naik ke atas pohan.
bersembunyi di atas daun:
Sedang kawannya gemetar
hatinya berdebar-debar,
lalu berbaring dengan punggung ke atas,
tidak bergerak menahan napas,
supaya pabila beruang menghampiri,
ia sangka sudah mati.

beruang yang besar itu pun melihat
lalu mencium badan yang lena seperti mayat,
tapi tak lama kemudian pergi lagi tanpa bersungut:
,,Biar aku pergi menjauhi ini bangkai berbahu isi perut!"

yang naik ke atas pohon
tergopoh-gopoh turun,
menghampiri kawannya
dan lantas bertanya:

,,Bagaimana dengan itu kulit?
Dan apa yang dibisikkannya
ketika ia mencium dan memijit
badanmu dengan kukunya?"

,,Dia berkata," jawab kawannya, menganjurkan:
Jangan kulit dijual sebelum beruangnya di binasakan."
By: JEAN DE LA FONTAINE

Keledai dalam kulit singa
Keledai yang di bungkus kulit singa
Pernah menakutkan orang dimana-mana
Dan meskipun binatang itu lunak,
Tapi disangka orang ia galak.

Tetapi ketika telinganya
Dengan tidak sengaja kelihatan muncul,
Tahulah orang yang sebenarnya,
Sehingga si Badarpun berani memukul-mukul.

Orang lain yang tidak membuktikan
Keadaan yang sebenarnya,
Tercengang kagum menyaksikan
Seorang petani memukul singa.

Demikianlah sering kejadian
Orang meributkan kebenaran
yang sebagian besar
hanya benar di luar.
By: JEAN DE LA FONTAINE

Nukilan dari: Sanjak penghabisan
Bagai sinar terakhir, bagai sepoi penghabisan
Yang melincah akhir hari yang permai,

Makin kucoba petik kecapi di kaku tiang gantungan;
Siapa tahu! Giliranku dating tak lama lagi.

Ya, siapa tahu! Sebelum jarum menit dalam lingkaran,
Yang tercantum di muka jam kemilau,

Menamatkan enampuluh kali detik insutan
Dengan sipongang klenengan bergalau,

Tidur abadi telah tutup kedua pelupuk mata,
Sebelum pada sanjak yang kugubah,

Aku mulai membunuh persanjangan akhir-akhir barisnya,
Maka antara dinding-dinding ngri, mungkin

Pembawa pesan dari maut, si Hitam pengerah baying-bayang,
Diiringkan dengan serdadu yang engkar

Telah menggemakan namaku di suram ruang panjang.
By: ANDRE CHENIER

Kembang mawar Saadi
Aku mau bawakan dikau kembang mawar itu pagi;
Tapi berlebihan kautaruh diembanku terkunci,
Hingga lantaran sendat, kancing tak tahan lagi:

Habis putus semua kancing. Mawarpun berberai
Diterbangkan angin; dan semua kelaut perginya.
Mereka ikut sama air untuk tidak kembali lagi.

Gelombang kelihatan merah, seakan api menyala,
Dan malam itu bajuku jadi wangi seluruhnya.`
Wahai, hiruplah padaku kenangan yang wangi.
By: MARCELINE DESBORDES-VALMORE

Nyanyian kabut
Akh, sekali-kali jangan hina wanita yang cela.
Siapa tahu beratnya beban meruntuhkan imannya lemah!
Siapa tahu selang berapa lama lapar ia derita?
Kala badai malapetaka mengguncang iman mereka,
Siapa antara kita tidak lihat wanita yang putus asa
Lama bersitahan, berperang sampai lenyai tangannya,
Seperti diujung dahan kita lihat tetesan hujan
Menggemilang,-- dimana langit tampil gemerlapan –
Dan demi pohhon diguncang, menggigil dan bertahan:
Mutiara sebelum jatuh dan lumpur setelah gugur!
Letak salah pada kita, pada kau, kaya, pada emasmu!
Betapapun tetap saja ada air murni di lumpur itu.
Karena tetesan air itu adalah uap asal-mulanya
Dan kemali mutiara lagi dengan cerlang aslinya,
Padalah semua demikian bangkit di waktu siang
Bersama sinar mentari atau bercaya kasih-sayang.
By: VICTOR HUGO

Suatu jalan teduh di Luxembourg
Ia melintas: gadis itu,
Lincah dan cepat, sepantun burung:
Di tangannya: kuntum kemilau,
Di mulutnya: deenddang berulang.

Mungkin itu sesatunya di bumi
Yang dengan hati ku berbalas gema;
Yang, di malamku pekat bersemi,
Dengan sekerdip mencipta cuaca.

Tapi tidak; -mudaku Lah silam.
Tinggalah, sinar lembut yang nyinari
Daku,-wangi, gadis, keselarasan
Bagia melintas,-. . . . ia pergi!
By: GERARD DE NERVAL

Bukan selamat siang, bukan selamat sore
Hari tak pagi lagi, pula belum senja
Betapapun meredup cahaya di mata kita.

Tetapi senja merah, dini hari laiknya,
Dan lama sudah itu malam membawa lupa!
By: GERARD DE NERVAL
Read More
10 Puisi Cinta Rusia

10 Puisi Cinta Rusia

 10 Puisi Cinta Rusia - Masih dalam satu topik dengan 10 puisi perang Rusia , di mana topik dalam puisi tersebut menjelaskan tentang jiwa patriotisme, sosial , perdamaian dan berlabuh pada puisi percintaan yang ada di bawah ini .

 Malam acacia
Hidup hanya punya dua tiga hari bercinta: lalu pohon gigih ini digantuni berates lebah dan bunga
Waktu malam bulan juni: jika acacia kembang dan layu
Sungai berdandan tasbih lampu-lampu dan mewangi karena perempuan-perempuan mandi
Jalan-jalan raya tiba-tiba melebar dan berikaluan sebagai salan-salon kecantikan
Titian bergantungan dan manic-manik cahaya melingkup air,
Dimana aku berlalu: taman gaib berantuk dengan pelancung;
Orang-orang pergi ketempat berjanji dengan kebun-kebun dan jalan-jalan, lapamgan-lapangan luas dan buleverda
Karena mabuk kepayang lupa aku pada lorong-lorong tua Nove Mesto
Yang dinding-dindingnya kelabu dan perkasa sekarang punya kedaulatan sebuah mahligai.
Wahai malam acacia, malam gunung dan kelembutan yang menggoda, jangan pergi,
Biarlah aku selamanya hauskan cinta dan kota Praha;
Wahai jika berakhir malam bulan juni, singkat seperti cinta dan kenikmatan tubuh.
Wahai malam acacia, jangan berlalu, sebelum kutiti semua jembatan Praha;
Tiada mencari siapapun, tidak kawan, tidak perempuan, tidak diriku sendiri;
Wahai malam yang punya jejak bakal tempuhan musim panas,
Tiada kunjung pada kerinduanku bernafas dalam rambutmu;
Permata-permatamu telah merasuki dagu, kuselami air sebagai seorang pemukat terkutuk:
Wahai dapat jugalah aku mengucapkan ,,sampai-lain-kali”
Wahai malam bulan juni,
Jika tiada sempat kita lagi berjumpa,
Hiruplah aku dalam pelukanmu, kekasihku yang malang.
By: VITEZLAV NEZVAL

Suatu nulilan
Lebih baik berbakti
Dari meminta maut untuk menyerah
Lebih baik berbakti
Dari meminta maut untuk menyerah
Biarpun tiada hentinya hati
Lancing mengajak dan mengarah

Baik menempuh derita
Biarpun tenaga hendak mengakhiri
Biar menempuh derita
Biar tenaga hendak mengakhiri
Daripada seorang dari mereka
Yang membusuk dalam kubur sendiri

Baik dalam perumahan kasih
Tertindas dan terhina
Baik dalam perumahan kasih
Tertindas dan terhina
Daripada malam kembang dan bersih
Dan tiada di petik oleh tangan manapun juga
By: VITEZLAV NEZVAL

Alangkah sepi mereka yang mati
Alangkah sepi mereka yang mati,
Kawan!
Di sini dimana orang mati sendiri.

Betapa suram mereka menjerat diri,
Pelahan,
Masuk hari penuh bencana.

Maut di sini kejam,
Kawan!
Dimana padang terlalu lapang,
Di mana langit tinggi, tinggi di luhur.

Di sini dimana kita sekelumit,
Begitu sengsara ditinggal
Di atas padang hitam
Di bawah langit,
Di mana yang satu menerjuni medan.
Yang lain diam di ambang pintu;
Dimana masuk rum,put dan padang
Jalanan lesu menuntun kita.
By: MILAN DEDINAC

Kordonu
di Kordonu di padang bata,
ibu mencari mayat anaknya.

Demi jumpa, d’atas kubur ia
Tuduk berkata pada anaknya.

O anakku, biji mata ibunda
Remajamu dulu kemana penyapnya?

Ayahmu menangis, ibumu meratap,
Semoga sudi kuburmu menyingkap,

Dan kubur tia-tiba terbuka,
Si anak bicara dengan bundanya:

Bundaku sayang, hentikan keluh,
Beban tangismu berat bagiku.

Ibu, pergilah, sudilah pulang,
Jangan kuburku ibu risaukan.

Ibu, sampaikan kepada rakyat
Supaya berjuang agar merdeka.
By: PENYAIR TAK DIKENAL

Pemuda pastisan Bosnia
Kami pemuda partisan Bosnia,
Kami cinta tanah air kami,

Kami suka rela Tito, membina
Kemerdekaan ibu pertiwi.

Hutan kami tempuh, senja di tangan,
Bedil: ibu kami, hutan: rumah kami,

Rentak tembakan tak pernah seindah
Yang dilepas pemuda partisan.

Indah dari nyanyi burung: swara miitrayur.
Kema pelur dilepas gadis-gadis kami,
By: PENYAIR TAK DIKENAL

I
Dua sajak
Angin-angin merdeka menyepoi sekitarku!
Jasadku bagai kecapi, dibiar terlantar
Canggung berdiri di tengah orkes meratap,
Perlahan menggigil,
Dilupa oleh payah dan sedih, oleh derita, oleh kemestian

Aku dengarkan gemanya perlahan:
Resonator alam semesta,
Jawaban resia, hampir tak kedengaran,
Wahai keajaiban kasih!
Pucuk poon tinggi
Terharu oleh nyanyian burung-burung.

II
Silam mentari masuk kekamar,
Seekor singa merah.
Bayangannya menimpa kaca
Dan kurasa cekamnya mesra
Menyentuh kakiku telanjang.
Sku membungkuk di bawah meja,
Yang di kudusi kerja hari itu,
Dan aku lihat ia, mentari itu, mencium kakiku
Dengan lidahnya merah.
By: PANTELIS PREVELAKIS

Panorama Laut Mati
Kita serupa Laut Mati
Sekian depa di bawah muka Laut Egea
Mari bersama daku, kutunjukkan dikau panormanya:

Di laut mati
Tiada ikan
Atau rengkam atau janik
Tiada hidup

Tiada makhluk
Yang berperut
Untuk lapar
Yang makan hati
Untuk menderita.

Di sini tempatnya tuan-tuan!
Di Laut Mati
Penghinaan
Bukan dagangan
Seseorang
Yang hiraukannya.

Hati dan piker
Mengeras dalam garam
Pahit itu
Mari kedunia
Mineral.

Di sini tempatnya, tuan-tuan!
Di Laut Mati
Lawan dan kawan
Anak dan isteri
Dan ibu-bapa
Mencari mereka;

Mereka di Gomorra
Di lubuk terdalam
Amat bagia
Kerna tak usah dengar
Berita.

Dan kini kita teruskan p’lawanan kita
Sekian depa di bawah muka Laut Egea.
By: GEORGES SEVERIL

Lagu Rumani
Tanganmu telah sentuh jendelaku
Di mana angin telah menyanyi, dan kamu
Mungkin memegang mentari di tangan.
Dapun jendelaku jadi merah-muda,
Meski di saat turun dan istirahatnya
Bayangan tengah malam dijalanan.

kudamu yang tiada tandingannya
Minum di sumur lama dan terkenanglah
Aku betapa kerap kudamu dahaga;
Adapun telingaku selalu bising
Oleh derak-derik sumur di padang
Dan kudamu yang memuaskan dahaga.

Dua pisau pada ikat pinggangmu
Bicara sesamanya; yakinlah aku
Mereka tahu rahasia nasibku,
Kerna mentari meredup matanya.
Dan jauh dalam sanubariku ada
Pisau-pisau panjang nyiksa jiwaku.
By: HELENE VAVARESCO

Lagu nafas
Dengan nafas ku hirup udara
Yang rasanya berasal Provenca
Segala di sana menggirang daku
Dan tiap kudengar cakapnya merdu
Akupun ketawa, dan lantas mohon
Tiap kata diulang seratus kali,
Gitu indah terdengar olehku.

Tak pernah didengar cakap gitu manis
Di antara deras arus Rhona dan Venca
Sedari segara hingga Durensa
Adapun tak ada pojok gitu ria
Seperti di antara anak Perancis,
Tumpangan angin sambil ketawa
Yang bikin si murung suka riang.
By: PIERE VIDAL

Read More
10 Puisi Perang Rusia Bagian Ke Tiga

10 Puisi Perang Rusia Bagian Ke Tiga

 10 Puisi Perang Rusia Bagian Ke Tiga - Perang selalu menyisakan kepedihan dan sepertinya perang selamanya tidak akan menambah apapun kecuali hanya menciptakan kerusakan, jika kita hidup di atas bumi yang satu dan berteduh di bawah langit yang satu lantas mengapa kita hidup tidak bisa bersatu. 10 Puisi Perang Rusia Bagian Ke Tiga ini kelanjutan dari 10 Puisi Perang Rusia Bagian Pertama dan 10 Puisi Perang Rusia Bagian Ke Dua

Samar senja
Surya meredup bagai sekuntum mawar layu,
Kepala terkulai, lesu, seakan dalam mimpi,
Dan kelopak emasnya mengoraklah pelahan:
Daunan kemilau bersama merah warna tepi.

Alangkah tentram dunia dan damai bernafas lega
Hanya lonceng-malam berklenengan dari jauh,
Melembut melodis, seperti suara dari surge,
Dari sekuntum bintang, ajaib dan tinggi.
By: SANDOR PETOPI

Padang-padang liar Hongaria
Dalam gemulut rumputan merancah kakiku,
Padang-padang meliar, jerit gagak membiar-
Sambutan suram ini tidak asing bagiku:
Begitu gelagatnya gurun negeri meniar.

Tanah pupuk yang kudus dengan kening kucecah,
Dibawahnya cacing-cacing pasti mengerat_
Duri-duri terkutuk! Semak-semak keparat!
Apa enggan sekuntum kembang tampil ke-caya?

Lintas jarring yang jahat melata itu,
Aku mau danger semangat bumi yang lena.
Lalu mewangi kembali dan mempesona daku;
Kembang kemaren, dari luruhan k’lopaknya.

Diam di sekitar. Siuran sayur yang melitar,
Membelit daku, menutup, lalu menidirkan. . . .
Sedesau angin lewat dengan tawa bergegar
Lintas gurun yang mendesak batas pandangan.
By: ENDRE ADY

Darah dan emas
Bagi telingaku tiada bedanya,
Apa sedih membelalak, atau berahi mengerang’
Darah mengalir atau emas gemerincing.

Aku tahu dan tetap memegang: hanya segitu
Dan percuma harta benda selebihnya
Emas dan darah, emas dan darah

Semuanya fana dan semua berlalu
Pangkat, ganjaran, keharuman nama
Yang tetap hidup: emaas dan darah

Bangsa-babgsa penyap dan bangun lagi
Tapi, seperti aku: kudus, adalah perwira
Yang tetap menganut: emas dan darah.
By: ENDRE ADY

Dengan hati suci
Aku tak lagi punya papa atau ibu,
Tuhan ataupun tanah air,
Buayan ataupun kain kafan,
Ciuman ataupun kekasih.

Telah hari ketiga aku tak makan
Tidak banyak dan juga tidak sedikit.
Usia duapuluh, itulah megahku,
Duapuluh tahun ku tawarkan dikau.

Andai tak ada yang mau nerima,
Setan pasti dating memborong.
Dengan hati suci akupun merompak,
Dak kalau perlu, orang kubunuh.

Orang ‘kan tangkap dan gantung aku,
Mengubur daku di tanah suci,
Tapi rumput beracun segera tumbuh
Dari hatiku yang tetap suci.
By: ATILLA JOZSEF

Musim gugur
Malam perak bangun di tengah dingin yang sedap;
Swara gadis-gadis dilemparkannya kepada angin.
Sabit dari bulan membungkuk untuk mengusap
Rambut yang ditaburi gelap dengan sedikit embun,

Ombak yang kecimpung, swara-swara dalam gelita,
Suatu baying tercurah di balik tabir cahaya,

Suatu cermin, pada mukanya musim gugur seakan
Menafaskan abu-abu perak dari mimpi-mimpiku.
By: JOSEF HORA

Stare zeny (fragmen-fragmen)
Sore-sore minggu yang sendu
Disayukan perempuan tua
Melenggok ke jendela
Lewat kelusuhan
Atas kelusuhan ambal
Antara meja dan ranjang
Cermin dan foto
Kursi dan palma titeron

Bersandar kerangka di jendela
Mereka nanapi jalan raya
Dari itulah kesia-siaan
Sore-sore minggu

Mata dari perempuan-perempuan tua
Tiada berlinang dan segan-segan
Cemas dan lembut
Mata terpaku pada ujung

Buah sonder biji
Talam sonder atalan
Ruang ruang kelemahan
Fragmen-fragmen music tua
Sumur-sumur berisi lumpur
Genangan air sonder pembayangan

Perempuan-perempuan tua tersandung ke dalam kematian
Dan perhentian yang telah begitu sedikit
Sepanjang jalan-jalan yang dikenal
Hanya debu-debu atas sulaman
Ujung ambal yang melekuk
Rimah yang jatuh
Segala itu perhentian-perhentian
Tangan-tangan erempuan-perempuan tua
Lupa sekarang mengelus tengkuk laki-laki

Rambut kanak-kanak
Hanya cukup kuat
Untuk pengikat selampai
Penghapus air mata

Rambut-rambut perempuan-perempuan tua
Tiada ia beroleh belaian angin
Tiada yang sembunyikan wajahnya
Tiada yang membasahi bibirnya
Dalam embun bereka
Tiada kain buat ketelanjangan siapapun juga
Hanya satu lengkuk kecil
Dapat dibuat dari itu

Sore-sore minggu yang mati
Sedih karena wajah perempuan-perempuan tua
Di mana hanya terbayang
Kebosanan dan penyakit
Tiada kenangan, tiada renungan
Tiad kerinduan, tiada harapan
Hanya cacing ketiduran
Oh sore-sore minggu yang sedih
Atas kuburan perempuan-perempuan tua
By: FRANTISEK HALAS

Telah saatnya
Katubkan bibirmu keduanya, diam dan tegas.
Nyaris kikis percaya kami dan dari dunia
Kami dipisah oleh impian lembut-bercampur-manis-

Tiap kata kami mesti berakhir dalam madu membius.
Dalam xaman kabur ini, penuh bimbang dan ragu,
Kerap nian dengan kata-kata hidup kami ditembus.

hanya jika bergumuruh jatuh menimpa:
kesal khalayak yang numpuk meninggi gemintang
dan seluruh bangsaku malang berkubur di awahnya
By: FRANTISEK HALLAS

Kenyataan-kenyataan
Kalian lihat surga bergumul dengan kabut
Rumput merah
Jaring lawa digantung embun
Ulat dan kutu jauh dari bumi

Gerbong-gerbong bermuat umbi
Jika kereta di gerakkan ke sana
Dan orang banyak gemetar dikesunyian kampung

Intip kalianlah udara musim rontok keanak-anakan
Prempuan yang dating
Menempuh hujan mengguntur

Kalian lihat angkutan tentara melewati
Burung gagak dipemandangan sedih
Segala ini

Tetapi juga kita lihat ikan-ikan di kolam renang
Labah-labah dalam hati kanak-kanak
Tabung-waktu berisi semut

kita lihat ketumbuhan gunung
dan kehancurannya jadi debu kabut
dari mana Kristal-kristal burung

dan abat pertengahan dengan gerobak dan khadam
dengan uap darah kuda dan api kasar

dan akhirnya kita sampai nun di bumi Moravia
rule de la paix
di mana kaca-toko menyala
dengan keharuman-damai minyak-wangi Gemey
By: LUDOVIC KUNDERA

Kantilena dari dendam
Hari baru senja, telah mersik jari-jari berambut pada tangan hitam
Dan dibawah bulan-kuda merah-pucat kedengaran keluhan,
Kaena segala di sini dusta – juga lilin-lilin yang kedip-kedip makin lama makin suram
Dan patung-patung suci, yang pucat, termangu kering dan tiada nafsu.

Juga dusta di sini setangkai kembsng cantik, yang mengenjang segala dengan kewangian,
Bulan, yang lesu mengira menyalakan mimpi,
Jari-jari berambut, berpeluh karena tiada di gerak-gerakkan pada tangan hitam
Dan di atas segalanya berdusta di sini bulan yang mengeluh dan menangis.

Maka matilah karena lesu bulan, yang begitu lama dan iseng mengintip dan meratap
Beragam ngeri: maka menyala api dalam tangan dan jari-jari kurus berambut- yang lebih dusta dari yang lain-
Sekarang menjangkau yang lembut sepanjang dinding kelam makin tinggi
Menjangkau dan merayap pita-pita dari regin dan meraba-raba dan
Mencari sampai ketekanan-tekanan
Lalu memainkan lagu mual, sebuah senandung, yang akhirnya karam dalam sedih-sendu
By: KAREL HLAVACEK

Read More
10 Puisi Perang Rusia Bagian Ke Dua

10 Puisi Perang Rusia Bagian Ke Dua

 10 Puisi Perang Rusia Bagian Ke Dua
Beriku ini adalah sepuluh puisi perang rusia bagian ke dua , di mana puisi ini masih berkaitan dengan 10 puisi perang rusia bagian pertama , isi puisi hampir sama yaitu mengambil topil tentang kondisi perang, tapi di bagian kedua ini ada perbedaan yaitu jika di bagian puisi pertama menyangkut semangat , adapun puisi bagian kedua menyangkut sosial. berikut puisinya selamat membaca.

Seorang bapa Rusia kepada bapa-bapa Jerman
Sekarang kita berdiri di lapang terbuka
Engkau tidak usah balik ke brlakang atau menangis
Puteraku pemuda komunis, anakmu seorang fasis
kesayanganku seorang laki-laki tulen, anakmu algojo
dalam segala pertempuran, ditengah api berkobar tak putus
dalam sedu-sedan seluruh manusia
pemuda berteriak, seribu kali jatuh, seratus kali bangun
memanggil anakmu bertnggung jawab atas kejahatannya.
By: PAWEL ANTOKOLSKY

Wasilli tierkin
Di tengah tanah air Rusia,
Berjuang melawan angin, dengan dada busung
Melalui padang salju, begitulah maju Wassili
Tierkin. Ia pergi mengalahkan orang Jerman.
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . .
Dalam gemuruh meriam
Seperti keluar dari gerbang neraka
Menuju ke timur, keluaar dari kabut dan bau busuk
Malalui jalan raya, seluruh bangsa menarik diri
Ke timur, menembus kabut dan asap
Keluar dari penjara gelap gulita

Kembali Eropa ke rumah masing-masing
Sedang kapuk kasur beterbangan di atasnya
Dan kepada serdadu rusia melihat
Kawan seperjuangan Perancis, Inggris,
Polan dan banyak orang lagi, dengan rasa persahabatan
Bercampur minta maaf dan terima kasih.
Itulah dia yang memerdekakan kita
Ia memakai pici miring, bergambarkan binatang
“ Betul saya, katanya . . .,” mengapa tidak, saya selalu ada,
Kalau perlu bantuan
Saya tidak banyak kehendak. . . .
Itu kewajiban kami, tak lebih tak kurang. . . .
Dan tidak kami sesali bendera-bendera lain.
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . .saya tidak lebih baik atau lebih jahat dari orang lain
Akan mati dalam peperangan ini
Tapi, apabila perang habis nanti, hai
Berilah saya tempoh sehari
Berilah kepada saya, hari penghabisan itu
Bersuka cita-ria dalam keramaian damai seluruh dunia
Mendengr salvo kemenangan
Yang akan menderam dia tas moskau
Berilah saya kesempatan agak sedikit
Untuk berjalan-jalan antara mereka yang hidup
Biarlah saya mengetuk
Jendela rumah didaerah kelahiran
Dan kalau orang keluar
Oh malaikat maut, izinkan saya
Berkata sepatah lagi
Ya, sepatah saja
. . .tidak. tidak akan saya izinkan”
Tierkin gemetar, ai, yang telah kaku
Diliputi oleh kain kafan salju.
Saya masih hidup, serdadu hidup
By: ALEXANDER TWARDOWSKY

Nukilan dari: Lagu hati yang tersinggung
Bagi kita abad sengsara
Hari lahir dicab besi panas
Dalam ayunan, manusia telah biasa
Menerima nasib jadi serdadu

Angin panas hawa perang
Melalui masa rampas merempas
Tuan berjalan. Kami enggan
Kembali menjadi liar
Dengan impian ketenangan,
Persaudaraan dan damai.

Itu warisan kita. Kita ikut
Janji dengan waja;
Pagi menyingsing asap bergumpal
Siding mati akan menuju hidup
Dan hidup takkan mati,
Tak terkalahkan
By: ALEXEJ SURKOW

Permohonan sebuah boneka
Berjalan berat bagi anak-anak.
Jalan jauh mendatangkan lelah.
Tapi aku akan ikut, karena
Enkgau pergi bersama-sama
Karena saya hanya barang.
Anak kecil minta makan dan minum
Tapi saya tidak pernah minta apa-apa,
Karena saya boneka, karena saya barang.
Kapal terbang negeri asing
Menukil kebawah membunuh anak,
Bagi saya ia tak berbahaya,
Karena saya barang.
By: ALKADY KULJESJKOW

Lima pelor
Pada musuh kulepas pelor pertama;
Pelor, kecap darahnya,
Agar dnjeprku saying dan bumi, inangku,
Berbalas dendamnya setapak demi setapak

Pelorku kedua,- dari bunda asalnya
Pembalas siksa ia derita
Kembali aku nanti, ibu tak ada lagi
Rombongan bedebah telah pukul ia mati

Lagi sebuah pelor- dari kakakku perempuan
Pembalas kekejaman berlaku atasnya
Mereka seret kakakku ke pinggir sungai dnjepr
Mereka perkosa dengan kejamnya

Pembalas temanku, pelor keempat kulepas
Ia berjuang di sampingku di selatan.
O, tangan, tetalah engkau ! M’layanglah pelorku
Balaskan bagiku ajalnya dini saat.

Pelor terakhir penembak mati seorang
Tepat bersarang dijantung sang fasis,
Pembalaskan tanah airyang ku punya dan jaga
Junjungan hari selama hidupku

Lima pelor kulepas, lalu cepat
Gagang pelor kembali kuisi
Pembuktian pada musuh dimedan perang
Betapa kekal setia-Rusiaku.
By: ANATOLI SOFTRONOW

Dendamnya kepada Tsar
Kala dipaksa ke Siberia jalan kaki,
Akupun kerja paksa dengan rantai dikaki,
Tapi sama-sama dengan kaum pemabuk ini,
Aku mau banting tulang . . . untuk Tsar

Andai bagi teman hidup kupilih istri,
Akan kau pilih sseorang wanita Tartar,
agar dari turunanku nanti terlahir
seorang algojo . . . untuk Tsar

bila aku nati jadi petani,
bibit kusemani: bibit rambut putih
hingga bila sampai ajalku nanti,
sedia bahan tali . . . untuk Tsar.

Serat putih yang abu-abu
Akan tegas m’luncuri tanganku.
Dari padanya jerat di jalin putraku
Untuk Tsar . . . untuk Tsar
By: ADAM MIKIEWICZ

Doa
Tuhan, lepas lonceng mas berkleneng puas
Di dalam hati kami, lepas polandia membuka
Hamparan didepan kaki kami yang lesu,
Seperti haririntar meretas udara.

Mari kita cuci kediaman bapa kita
Dari kesalahan , sedih dan dosa kita,
Kala mengemasi batu-batu yang pecah.
Biar miskin asal bersih itu rumah

Yang berdiri di pandan pekuburan.
Dan pabila bangkit kembali negeri
Kita yang seakan bagai mayat terhantar.
Biar ia diperintah kaum yang jujur.

Oleh buruh. Biar rakyat dengan megah
Berdiri di tengah fajar kemerdekaan
Yang baru bersih: limpahkan ke tangannya
Hasil panan dari tetesan jerihnya.

Jangan biar uang berlipat ganda
Bagi mereka yang tidak mau berbagi,
Lempar si berkwasa dari tempat tingginya
Dan lepas si dina menerima warisan.

Beri kami kembali roti Polandia kami
Dan nikmat rasa anggur polandia;
Apabila kami mati, kuburkan kami
Dalam peti dan pada kayu Polandia.

Dengan sedih dan duka mengabur pandangan,
Kamupun berlutut, di bumi berdo’a,
Agar mereka yang tinggal dan bertahan,
Memaafkan mereka yang melarikan diri.
By: JULJAN TUWIM

Segala
Di manpun kami jumpa,
Terpancar sekitar dunia,
Di Lissabon atau di London,
Pasang tetap menghancurkan dan
Punah harap ‘kan balik seg’ra.

Apa yang kita perjuangkan?
Hasrat kita apa gerangan?
Merebut hak kita kembali?
Tidak, bukan harta ‘tau nama,
Pun bukan peristiwa fana
Diniat, tapi ujut yang suci.

Tujuan bukan hendak kuasa,
Tapi – sekedar nanti dimasa
Depan dapat lagi duduk sama
Bukan untuk memaksa orang
Cakap ‘rang kampong, dengung latar,
Dan ringkik kuda dipasang senja.

Bukan untuk memaksa orang
Mengikut kita, tapi pulang
Dan hidup ditengah k’luarga,
Makan roti milik sendiri,
Jalan lurus, tak kenal ngeri,
Menyalami gemintang malamnya.

Untuk lintas jendela menjenguk
Kedahan-dahan kayu berperak
Rintik hujan, menjulang basah;
Jala-jalan dan jumpa dengan
Teman di kakilima – bersalaman
Tak seberapa – tapi segala.
By: ANTONI SLONIMSKI

Kuimpikan hari-hari bersimbah darah
Kuimpikan hari-hari bersimbah darah
Yang bakal pukul dunia hancur-luluh
Dan diatas puingan dunia lama
Membangunkan lagi dunia baru.

Akh, berbunyi, berbunyi juga hendaknya
Sipongang nafiri untuk perempuan.
Tanda menyerbu, tanda menyerbu,
Tak ayal lagi lekas diberikan.

Aku melompat dengan bagia di kalbu
Ke atas pelana di punggung kudaku
Lalu menyerbu di medan pertempuran
Dengan gairah yang t’lah sifat jiwaku

Dan jika jiwaku dadaku direcai tusukan
Akan ada seorang yang bakal balutnya
‘kan ada yang bawakan penawar siuman
Hingga lukaku jadi sembuh olehnya.

Andai aku ditawan, ‘kan ada seorang
Yang cari daku sampai dalam penjara
Dan dengan, ya, bintang timur matanya
Mengenyahkan di sana segala gelita.

Dan andai aku mati di tiang gantungan
Atau maut menyambar ditengah medan
Akan aada seorang yang dengan tangisnya
Mencuci mayatku bersimbah darah
By: SANDOR PETOPI
Read More
Puisi Gombal

Puisi Gombal

Puisi Gombal - Berikut ini adalah puisi gombal bernada sedih , biasanya puisi
Puisi Gombal - Berikut ini adalah puisi gombal bernada sedih , biasanya puisi seperti ini atau bahasa seperti ini di gunakan oleh cewek atau cowok yang ingin menjaga jarak orang yang sudah tidak di cintai.

Tangisku di keheningan Malam
Jerit Rintih Atas Hendak Orang Tua
Korbankan Pendidikan Untuk Perjoddohan
Air Mata Berlinang Seiring Jeritan

Hariku berteman dengan kepliuan
Kesedihan di kala kesendirian
Berjalan di atas mimpi
Cari kedamaian Hati

Ku Cari Iklas Dan Rela
Ku cari sabar di hutan luka
KU Usaha tegar dalam raga lemah
Ku senyum di atas linangan air mata

Sebagai anak
ku bisa pasarah
Jika melawan
Sama ku bunuh mereka


Sebagai hamba hanya bisa berdoa
Jika menentang
Sama saja ku tidak berimana

Dan Kini
Ku sujud dan berdoa
mohon penerangan langkahku
untuk mengarungi hidup bersama pilihan orang
cinta cita itu selalu ada

Read More
10 Puisi Chairil Anwar Bag 3

10 Puisi Chairil Anwar Bag 3

 10 Puisi Chairil Anwar Bag 3 Adalah kelanjutan dari 10 Puisi Chairil Anwar dan 10 Puisi Chairil Anwar Bag 2
Sang cucu, remaja pewaris mata merah,
jadi berlari lagi ke dapur belakang dan dapat
menyaksikan:

Di sana, depan dapur di pekarangan belakang,
dekat sumur tua dan di bawah pohon mangga
yang sekarang sudah menjadi besar tinggi dan
rimbun,
sang ibu tersedu sendiri
teramat sedih
dan sunyi!

Maka tak tersisa lagi bekas-bekas kemenangan
yang barusan diraihnya,
juga tidak tersisa kegembiraan bekas mengecup
putri paling cantik tadi.
Anak yang sedang remaja itu terkulai di tiang
pintu dapur yang lebar-lebar terbuka.
Di wajahnya bermukim kegelisahan dan dendam
yang sangat terhadap ayahnya!

Ombak Laut Cina Selatan
menghantam butiran sebuah kapal pasasi
dengan bengisnya.
Di atas geladak mana, berdiri sang remaja kita.
Dia tidak peduli pada hempasan ombak yang
sampai menampar muka dan badannya.
Tidak peduli juga pada badai angin yang
mengais-ngais rambutnya.
Wajah remaja itu dengan serta-merta menjadi
dewasa menghadapi ombak dan badai lautan,
ombak dan badai dirinya sendiri.
Dia bahkan menolak ajakan sang Ibu
yang mengikutinya, ketika yang terakhir ini
mengajaknya masuk dalam kabin:


"Biarkan aku sendiri, Ibu," katanya
kepada Ibunya. "Yang ini bukan apa-apa,
karena aku tahu, aku masih akan
menghadapi gelombang dan badai yang
seribu kali lebih besar. Dan mungkin...
sejuta kali juga lebih sunyi!"

Dan gelombang merah-putih di Lapangan Ikada
semakin membusa diiringi oleh sejuta suara
orang yang mulai menyanyikan lagu:
“Dari Barat sampai ke Timur, berjajar pulau-
Pulau!”
Sementara kaki-kaki tanpa alas,
kaki-kaki bersepatu,
atau mereka yang mengenakan dasi,
terus juga mengalir memasuki-lapangan.
Dan bayonet-bayonet telanjang pasukan Jepang
makin juga merapatkan barisan.

 Wajah gelisah
dari lelaki bermata merah
masih juga berjalan di atas rel kereta.
Beberapa kali kakinya terantuk
bantalan-bantalan rel kereta,
tak dihiraukan.
Matanya tetap memandang ke depan
seolah sedang memperhatikan
perjalanan nasibnya sendiri
yang tidak karuan...

Di teras sebuah lobi hotel di Jakarta,
sebuah ensamble musik kamar
memainkan lagu-lagu romantis zaman sebelum perang
Semua orang berpakaian lengkap melulu
berdansa di sana.
Banyak tuan dan nona bangsa Belanda,
ada juga kadet-kadet calon perwira.
Tidak dinyana,
anak telengas yang sudah sama sekali dewasa,
atau Chairil namanya,
ada juga di sana!
Dan berdansa!
Lerigkap dengan celana flanel hitam, jas putih,
dan dasi kupu-kupu di lehernya!
Gagah sekali dia jadinya,
dan sang partner berdansa adalah seorang
gadis berdarah Belanda yang tidak kalah
cantiknya!

Namun betapapun santai dan syahdunya suasar
satu hal yang kentara tak dapat dihapus
pada mata dan wajah anak yang sudah dewasa ini
adalah bahwa itu mata atau wajah anak yang
terus gelisah.

Musik belum berhenti
ketika anak yang sudah dewasa itu menarik Corrie,
sang partner, ke luar.

Di pinggir pohon palem yang rindang,
dikecupnya Corrie berulang kali
sambil tetap tak dapat menyembunyikan
gelisah hatinya.
Hal mana membuat Corrie jadi bertanya :
"Ada apa? Bukan dansa belum lagi
usai?"
Dan Chairil menjawab sekenanya:
"Ibu sendirian di rumah!"

Dengan itu ditinggalkannya sang gadis, membuat
yang terakhir ini jadi bertanya-tanya sendiri.

26. Jam dinding berdentang satu kali.
Ibu yang sendiri terbangun dari tidurnya,
dan menemukan tempat tidur anaknya
masih kosong.

Ibu jadi mengambil selendang hangat
dan menutupi punggungnya.
Dengan itu dia lantas jalan ke luar rumah,
duduk termangu di depan
menanti anaknya.

 Ibu sudah terlena di luar,
ketika pulanglah dia si anak hilang.
Chairil membangunkan ibunya
dan membimbingnya masuk.

Chairil memasuki kamar,
sesudah menidurkan kembali ibunya.
Sebuah kamar sempit yang dipenuhi buku
di atas meja, di lemari, di atas kasur,
di mana-mana!
Dibukanya segera jas dan dasinya,
sesudah itu anak ini tenggelam dalam membaca,
sampai fajar tiba!

Ketika kemudian suara adzan terdengar
dan Ibu selesai mengambil "subuh",
ibu ini bahkan masih mendengar
anaknya membacakan sebuah sajak kepunyaan
Marsmann dalam bahasa Jerman yang sangat asing.
Namun menyentuh juga bunyi yang asing itu
di telinganya.
Semacam sajak yang penuh derita,
yang bercerita tentang maut dan kematian yang
sunyi.

Sang anak terkejut melihat Ibu
berdiri depan pintu kamarnya.
Ibu yang terus maju menggapai kepalanya
dan mengkais-kais rambutnya.
Ibu yang lantas juga bicara:
"Ayahmu sudah enam bulan tidak
mengirim belanja untuk kita...!"

Betapa tiba-tiba wajah sang anak menjadi berubah.
Mata yang memang selalu merah itu,
betapa menjadi bertambah merah.
Bibir itu juga gemetar seperti mengucapkan sesuatu
yang tidak jelas, tapi penuh kegeraman.

Diraihnya tangan Ibu yang berada di kepalanya,
dikecup, dipeluknya tangan itu,
tapi dia lantas berkata dengan ringannya:

"Ibu masih membekal perhiasan-perhiasan.
Ibu tidak memerlukan itu semua kini.
Jual!"

Maka Ibu nampak jadi menahan sesuatu yang
sangat pedih, dan berkata lag i:
"Sudah terjual semuanya, Nak....
Untuk sewa rumah,
untuk makan,
untuk bayar sekolahmu,
buku-bukumu,
juga dansa-dansa dan kesenangan-
kesenanganmu...
selama ini!"

Sang anak jadi termangu sekarang,
sambil membantingkan buku di tangannya
ke atas meja...

Yang meledak di pantai adalah sebuah bom!
Sesudah itu disusul pendaratan balatentara
Dai Nippon ke Indonesia.
Maka mulailah periode masa pendudukan Jepang
di tanah air



Maka dia sekarang sudah bukan anak lagi,
bukan remaja, juga bukan dewasa.
Dia adalah l e l a k I !

"Bukan main ! Kau pasti senang
mendengarkan yang ini.
Omong kitanya kira-kira begini,
dengarkan Siti :
'Kawan, jika usia kelak meloncer kita sampai habis-habisan,
jika tubuh seluruh, pehong lagi bengkok,
hanya encok tinggal memntu kemudi,
menyerah: Sampai sini sajalah...!'"
"Idih, joroknya!" Marsiti tertawa.
"Terus, kok pake ada pehong segala,
encok, dibawa-bawa sih? Memangnya
boleh syair ngomong yang begituan?"

Lelaki jadi tersenyum simpul memandang Marsiti.
Tapi dia terus mengambi! buku lain dan mulai
membaca lagi
sambil katanya:
"Baik, baik! Aku pilihkan yang ini,
barangkali kau akan jadi senang.
Yang ini tidak pake 'encok' atau 'yang
jorok-jorok' itu.
Nah, dengar:
'Dara, dara yang sendiri
berani mengembara
mencari di pantai senja.
Dara, ayo pulang saja, Dara!'"

Marsiti toh masih menyela, katanya bertanya:
"Lho, pulang ke mana?"

Lelaki tidak peduli.

Dengan isyarat tangan dia meminta Marsiti
berdiam diri,
dan dia terus membaca:

"'Tidak, aku tidak mau!
Biar angin malam menderu
Menyapu pasir, menyapu gelombang
Dan sejenakpula harus menyisir rambutku
Aku mengembara sampai menemu.

Dara, rambutkii lepas terurai
Apa yang kau cari,
Di laut dingin di asing pantai,
Dara, pulang! Pulang!'"


Leiaki menutup buku memandang Marsiti,
seolah mau mengetahui persepsi
perempuan jelata ini.
Marsiti tersipu, seperti anak perawan yang
mendapat puji. Marsiti merasa, sajak itu seolah ditujukan
kepadanya.
Maka dia menjadi genit dan memanja.
Sang lelaki lantas kembali tanya:

"Bagaimana, syair yang bagus bukan?"

Marsiti masih memanja:
"Yang ini bagus sekali. Kedengarannya
enak. Tapi Siti bukan dara lagi, 'kan, Bang.
Abang tau, Siti diketawain anak-anak di
sini, waktu bilang, Abang seorang tukang
sa'ir! Mereka tanya: 'Apaan itu tukang sa'ir?
Namanya siapa dia? Bapaknya siapa? Siapa
sih nama Abang? Boleh tau, 'kan?"

Dan lelaki itu seenaknya menjawab:

"Boleh! Namaku... AKU!"
"Aku? Kok 'Aku', sih? Terus nama
bapaknya siapa?"
"Atang!"
"Lho, si Atang yang tinggal di Kalipasir itu?"
"Ah, bukan, dia tinggal di Medan!"
"Jadi lengkapnya nama itu,
'Aku... bin... Atang'!"

Marsiti jadi pelan-pelan mengulanginya:

"Aku bin Atang"?

Marsiti tertawa. Terlalu sekali tertawa ini, sambil
dia memegangi
perutnya yang terbuka dan mulai berkilat karena
gendutnya.
Lelaki mengusap perut itu dan terlena di atasnya.
Read More
10 Puisi Chairil Anwar Bag 2

10 Puisi Chairil Anwar Bag 2

Masih dengan karya chairil anwar , sastrawan indonesia terbaik pada jamanya , 10 puisi chairil anwar bag 2 ini , kelanjutan dari postingan 10 Puisi Chairil Anwar

Sampainya...
ke dapur rumah Nenek tercinta.
Dilahapnya seekor anak ayam seutuh-utuhnya,
sambil sang nenek mempesiangi kulit mangga
ranum,
yang juga untuknya!

Mangga ini pun lenyap ke dalam perutnya
tanpa tersisa.
Lelaki kecil bermata merah itu kenyang,
puas dan tertawa,
seraya dilemparkannya biji mangga yang tersisa
itu keluar.
Jatuhnya di halaman belakang Nenekda yang
terbuka,
di balik semak rindang,
dekat sumur bertimba gantung yang juga
sudah tua.

Di pusat kota,
Lapangan Ikada namanya,
sejuta Sang Saka Merah Putih melambai.
Semacam lautan warna merah bercampur putih,
semacam ombak samudra merah dengan buih-
buih putih
bergulung-gemulung menjadi satu,
sedang main kejaran dengan angin.

Sementara ribuan lagi laki-Iaki,
perempuan, dan bendera terus mengalir
memasuki Ikada,
seolah tidak ada putus-putusnya.

Tapi di sebelah lain
melingkar pada jajaran rel kereta dan tanah
lapang,
ribuan juga prajurit-prajurit jaga Jepang
berbanjar
dengan bayonet-bayonet terbuka.

Lelaki pewaris mata merah
dengan dada terbuka dan sudah dewasa,
masih berjalan menyusuri jalan kereta,
sambil mengepit buku di ketiaknya.
Baju yang disandangnya semula sudah
dipakairya,
dan dada itu tidak lagi terbuka.
Namun sang mata masih tetap nanap ke depan,
dan...

Biji mangga tumbuh menjadi umbi
di bawah semak
di dekat sumur tua.

Lelaki kumis melintang di kamar tidur
dengan istrinya.
Kembali tirai-tirai kelambu, lemari kaca,
bantal, guling, kain sarung, jas, porak poranda.

Dan di balik pintu kamar yang sedikit terbuka,
sepasang mata sang anak yang merah
menjadi saksinya!

Umbi biji mangga yang tumbuh,
telah menjadi pohon kecil dekat sumur tua.
Sang nenek memeluk bocah bermata merah
depan pintu dapur rumahnya.

Sebuah smash yang teramat sangat sengit
menghantam bola badminton di lapangan
terbuka,
dipukul seorang anak yang sudah jadi remaja,
remajanya si anak bermata merah saga!


Gadis-gadis gadis remaja di pingggir lapangan
sama berteriak gembira mengelu-elukannya,
tapi lawan yang jauh lebih tua dapat
mengembalikannya.
Remaja mata merah kembalikan lebih sengit bola itu,
namun sang lawan kembali dengan manis
berhasil menahannya.

Remaja menjadi seolah menyala matanya,
gemetar mata serta sekujur tubuhnya.
Remaja yang pantang menyerah dan pantang
putus asa.

Maka sekali lagi bola yang melambung tinggi
sekali ini dengan bengis dihantamnya.
Semacam petit yang cuma sekilas
bola itu jatuh di sisi lavvan tanpa berhasil
ditahannya.

Sang remaja melompat gembira,
sementara remaja-remaja putri bersorak-sorai
menyambut kemenangannya.

Remaja mata merah segera lari ke luar lapangan
langsung mendapatkan putri tercantik yang berada
di sana, bernama Ida.
Putri ini langsung dikecup pada pipinya, mernbuat
orang-orang tua menjadi terkejut meliharnya.
Putri ini bahkan lantas dilarikannya pulang,
meninggalkan semuanya yang jadi cuma
sanggup menggeleng-gelengkan kepala.

Masih dalam sorak-sorak bergembira
Remaja sampat di rumah.
Tidak ditemuinya baik Ibu maupun Ayah.
Remaja jadi kelihatan curiga,
dengan serta merta melesat keluar.

Di sebuah rumah yang lain,
akad nikah baru saja berlangsung.
Dan astaga... sang remaja menyaksikan
sang ayah berkumis melintang
memeluk perempuan lain yang masih muda
ke dalam kamar.

Langit seolah runtuh
di atas kepala remaja bermata merah.
Dia lari
dan lari lagi
seolah mau berpacu dengan angin,
sampai tersungkur kejang dia
di atas pasir, di tepi pantai.

Nenek dan Kakek duduk termangu berdua
di halaman depan tanpa bunyi
ketika cucu kesayangan datang.
Sama halnya dengan sang cucu,
kedua orang tua ini seolah sedang menunjang
beban seberat langit di atasnya.
Keduanya bahkan tidak kuasa membuka suara
ketika sang cucu menanyakan ibunya.

Read More
10 Puisi Chairil Anwar Bag 4

10 Puisi Chairil Anwar Bag 4

 Berikut ini adalah 10 Puisi Chairil Anwar Bagian 4 Sekaligus puisi penutup chairil anwar , setelah menerbitkan puisi karya chairil anwar bagian 1, 2, 3 .

Di sebuah gedung elit di daerah Menteng,
suasananya sangat berkabung.
Seorahg lelaki bertubuh pendek, kecil,
berwajah sangat cendekia, ramah,
dan berambut ikal,
pagi itu dihadap oleh adik dan saudara-saudaranya.
Sepotong surat terbuka di atas meja tulisnya,
dan sang adik yang tersedu melipat surat itu
sambil katanya:


"Chairil sudah dua hari tidak pulang,
katanya. Karena itu Ibu Tulus datang
sendiri kemari membawa surat ini!
Padahal kemarin pagi dia baru sarapan
di sini. Waktu pulang dia mengantongi
buku dari kamar ini. Entah buku apa.
Kau periksa sendirilah nanti, Rir!"

Seorang saudara perempuan Iain menyambung
sambil juga tersedu:
"Aih... Nenek! Tapt Chairil musti segera
dicari, Kak. Saya tahu persis, betapa dia
dekat sekali dengan Nenek. Dia pasti
akan merasa kehilangan sekali!"

Saudara laki-laki lainnya menimpali:
"Dia lebih dekat dengan Nenek daripada
kepada Bang Tulus, bapaknya. Ya,
Chairil musti dicari!"

Tiba-tiba sebuah suara tawa yang khas dan
keras berderai di tengah ruang dalam itu:

"Kenapa musti dicari? Aku ada sini! Dan apa
pula pakai bertangisan? Ada ayam kalian
yang mati dipotong Jepang, rupanya?"

Semua terkejut diam memandang orang yang
tertawa dan bicara barusan.
Itulah si Chairil yang klimis mengempit buku,
sudah muncul saja tiba-tiba dan tegak di ruang
dalam itu.
Sang adik dan lain-lainnya segera saja jadi kikuk.
Mereka pelan-pelan dan diam-diam
mengundurkan diri dari sana.
Membuat Chairil jadi keheranan.
Tapi sebelum dia menyuara lagi,
laki-laki cendekia itu sudah mendekatinya.

Suaranya terdengar juga ramah ketika Iantas
berkata:
"Dari mana saja kau dua hari ini, Ril?"
"Aku?"
"Ibumu barusan saja dari sini membawa
surat itu. Surat dari Medan, Ril."
"Ada apa? Si Tulus bangkrut dirampok
Jepang dan istri mudanya karena itu
tidak pernah lagi bisa kirim uang?"
"Kalau cuma itu, tentu Tantemu tidak
perlu sampai bertangisan!"
"Lantas, apa dong?"
"Nenekmu, Ril! Meninggal bulan lalu!"
Chairil cuma sedikit saja tergagap dan sekilas.
Tapi dia Iantas bergerak ke meja tulis sambil
terdengar suaranya parau:

"Punya rokok, Oom?"

Laki-laki itu tidak menjawab,.
dan Chairil membuka kotak cerutu di atas meja,
mengambil tiga batang.
Dua batang dimasukkan ke saku bajunya,
yang sebatang lagi dibakarnya sambil
tangannya meraba surat di atas meja.
Tidak sampai dibacanya surat itu,
ketika tiba-tiba dia berbalik dan bergegas jauh keluar.
Ketika melewati laki-Iaki itu, dia sempat cuma
berkata:

"Aku pergi dulu, Oom!"

33. Lelaki yang dipanggil "Ril" itu
sekarang berjalan cepat sekali
seolah mau berpacu dengan angin.
Dia berada di atas rel kereta ketika itu,
dan di wajahnya, di matanya, tersembunyi
kepedihan yang tidak tertahankan.

34. Dan ombak di pantai Cilincing pagi itu,
juga seolah mengidap kepedihan yang sama.
Bergulung-gulung dia ke depan menghantam pantai,
menghantam batu karang,
menghantam batang-batang nyiur,
di bawah salah satu batangnya,
lelaki pedih itu tersandar sambil matanya pejam.

Ketika mata itu kemudian terbuka,
alangkah basahnya dia dan semakin merah.
Baru sekarang dirasakannya lututnya gemetar,
dan pelan-pelan tubuh itu menggelusur terkulai
duduk.
Dua buah buku yang baru tadi atau kemarin
dicurinya,
jatuh di atas pasir dan terbuka
di antara lutut-lututnya.

Kedua belah tangannya kemudian merajam
rambutnya sendiri,
sampai kepala itu tertarik tunduk
di atas lututnya.
Bagi mereka yang melihatnya,
Lelaki itu tidak lebih daripada
seseorang yang tengah tenggelam membaca.

Dan memang ada sebuah keluarga
kebetulan sedang tamasya.
Itulah keluarga Mirat, terdiri dari
seorang lelaki setengah tua sebagai Mirat Tua,
bersama istri dan adik-adiknya.
Seorang lelaki yang masih remaja dan
seorang gadis menjelang dewasa.

Mirat sekeluarga, bukan tidak melihat
lelaki yang sedang dirundung duka ini,
walau mereka berpikir bahvva orang itu sedang
asyik membaca.

Adik perempuan Mirat bahkan kemudian
terlampau lama, terlampau khusu
memandangi Lelaki itu.
Sehingga Mirat Tua menegurnya:
"Ada anak iagi naksir lelaki di bawah
pohon kelapa itu!"

Dan sang adik perempuan yap mtirasa diperolok j
adi cepat memprotesnya:
"Idih, apaan, Kamas nggak lucu.
Segala lelaki kurus kering begitu...!"

Mirat Tua tertawa, juga istrinya. Dia terus
melanjutkan sambil berjalan ke arah lelaki itu:
"Biar aku tilik wajahnya sebentar.
Kalau melihat cara dia membaca, dia itu pasti
calon sarjana, atau bisa juga seorang
Kunstener ... seniman!"

Lelaki mengangkat kepala memandang ke depan,
kepada ombak yang datang bergulung-gulung.
Bersama ombak yang bergulung datang,
dia melihat bayangan masa kanak-kanaknya
yang begitu manis, manja, bersama neneknya!

35. Di rumah, ditemuinya ibunya sedang duduk
sendiri,
sedih dan menanti.
Lelaki bermata merah dan basah,
jatuh memeluk haribaannya,
persis seperti dia berbuat sama
terhadap neneknya dulu,
di masa kanak-kanaknya!

36. Malam-malam berikutnya,
Lelaki mengunci diri dan tenggelam dalam kamar.
Dia pun mulai menulis...


Pada saat mana
terdengar juga narasi dari apa yang dia
tuliskan:
Bukan kematian benar menusuk kalbu
Kerinduanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debit dan duka maha tuan bertahta...

37. Narasi dari sajak di atas,
gaungnya sampai di mana-mana, karena
sajak ini tercetak sudah dalam sebuah
majalah yang dikelola oleh
penerbit "Balai Pustaka".

Seluruh redaksi majalah seni,
seluruh seniman dari segala kategori,
secara berantai membaca beberapa potong sajak
yang terasa bernafas baru, hangat, kuat,
kental dan sangat bersemangat,
dari seorang penyair yang sama sekali belum
dikenal,
yang menyebut diriny-a
dengan nama: CHAIRIL ANWAR!

Orang-orang pimpinan redaksi dan
atau seniman lainnya sama sibuk menelpon,
berkomunikasi membicarakan
sang penyair yang baru lahir ini.

38. Tidak urung,
beberapa di ahtara mereka berkumpul di kantor
redaksi Balai Pustaka:
Salah seorang bertumbuh pendek, berkacamata
dengan tahi lalat di dekat hidungnya,
dipanggil dengan nama YASMIN.
Seorang lagi juga berkacamata dengan rambut
dibelah dan disisir rapi.
Dia juga mengenakan dasi dan terkenal dengan
panggilan: ARMEN.
Yang lainnya masing-masing dipanggil sebagai:
QODRAT, IDRIS, BAKARUDIN dan ALL
Qodrat kelihatan bersemangat sekali menunjuk
pada syair, sambil teriaknya:

"Yang lahir sekarang ini, sudah bukan
Hamzah, bukan Tatengkeng, bukan juga
Pane, maksud saya... Pane Sanusi. Ini
sudah De Taghtiger Negeri Belanda
atau Eropa. lya toh... Men?"




Armen mengangguk kagum. Suaranya lirih dan
Cendekia sekali ketika terus berkata:

"Aku mencium nafas Marsmann, Du
Peron, atau Gide! Bukan begitu... Ali?"

Ali yang berwajah tenang dan hidung bengkok
berbau Arab itu melanjutkan:

"Juga Slauerhoff!"
"Ya, yal" menimpali Bakarudin.

Dan Qodrat lantas berseru lagi pada Yasmin
yang sejak tadi cuma tnerenungi bait-bait sajak
penyair yang baru terbit itu:

"Dia katanya berasal dari Medan. Kau
anak Medan, Min. Kau kenai siapa dia?
Maksudku latar belakang kehidupannya!"

Yasmin membuka kacamatanya dan dengan
tenangnya mengangguk:
"Tidak terlalu banyak, tapi dia memang
juniorku ketika di Mulo Medan. Kalau
tidak salah ayahnya seorang bupati atau
wedana di kota kecil Rengat yang
kemudian pindah ke Medan. Anak muda
ini, Chairil, cerdas, tapi anak ini juga telengas dan... semacam selalu nervous, resah, tidak mau kalah.—

(tertawa kecil mengenang sesuatu)
—Saya ingat peristiwa hari itu. Dia main
badminton melawan seorang seniornya
yang jauh lebih tua. Dia tahu, senior ini
lebih pandai. Tapi dia tidak mau kalah.
Dia ngotot sekali, nervous sekali. Tapi
dia memang akhirnya menang!"

Dan kita jadi teringat, Yasmin ini memang hadir
pada peristiwa di Medan itu. Ketika itu dia
memakai celana pendek.
Tiba-tiba Idris yang sejak tadi diam jadi
menyuara:
"Kau sendiri, apa pendapatmu atas sajak
itu?"

Yasmin semakin tenang mengangguk:
"Keparat sekali kesedihan anak ini...
hanya karena neneknya meninggal.
Kapan kau pernah temukan salah
seorang penyair kita menyatakan
kepedihan hatinya begini kentalnya.
Bahasa Indonesia pun seolah
mendapatkan ekspresinya yang paling penuh.
Dengarkan: —

(Yasmin mulai membaca lagi)

— Bukan kematian benar menusuk kalbu
Kerelaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu sztinggi itu atas debu
dan duka maha tuan bertahta!

Dia mulai syairnya juga sangat telengas:
'Bukan kematian benar menusuk kalbu'.
Gila, Amir Hamzah pun tidak pernah
memulai sajak-sajaknya langsung kepada
subyeknya! Juga yang lain! Dan nampaknya
anak ini sedang mempersiapkan diri untuk
hidup sebagai penyair seutuhnya.
Dengarkan sajak yang satu ini: —

(mulai membaca lagi)
— Rumahkn dari unggun timbun sajak
kaca jernih dari Iuar segala nampak
Kulari dari gedoiig lebar halaman
Aku tersesat tak dapat jalan
Kemah kudirikan ketika senja kala
Di pagi-terbang entah ke mana
Rumahku dari unggun timbun sajak
Di sini aku bcrbini dan beranak.

Kawan-kawan, kita sedang menantikan
datangnya seorang jenius!"

39. Di atas rel kereta,
sang jenius ini masih berjalan juga
seperti semula
dengan kcgelisahannya sendiri.
40. Di atas Lapangan Ikada, seperti semula pula,
sejuta merah putih yang melambai.

41. 41 Kembali lagi ke atas rel kereta,
sang jenius tetap melangkah.
Keringat di dahinya pun seolah gemetar.

42. Kita sedang ditugaskan mencari.
Bagaimana sesungguhnya sastra di jaman
perang seperti sekarang ini?"
"Semangat! Dari tadi saya bilang
semangat, 'kan?"
"Baik, lantas bagaimana itu .misalnya?"


Dialog ini terjadi di sebuah ruang Pertemuan di
mana terdapat tulisan dalam bahasa kanji dan
Indonesia berbunyi: Keimen Bunka Shidosho!
Diucapkan pertama oleh Armen dan mendapat
jawab dari seseorang bernama Asmara.

Di sini ternyata sedang kumpul semua
pimpinan-pimpinan redaksi majalah budaya
yang sudah kita kenal sebelum ini, ditambah
beberapa orang yang nampaknya pelukis atau
juga dramawan, dan beberapa di antara mereka
terlihat juga seorang perempuan muda yang
mungkin bernama: Sri, atau Nur, atau bisa juga
nama lain.

Sri ini yang lantas tampi! ke tengah ruang,
ketika bung Asmara mengisyaratinya. Sri segera
membacakan atau mendeklamasikan sebuah
sajak kepahlawanan yang sangat romantis
dengan suaranya dan gayanya yang lembut.

Ketika sajak selesai dibacakan, sebuah tawa
Yang sangat khas terdengar
dari arah pintu masuk.

Semua yang hadir, tanpa kecuali, menoleh ke
Sana. Yang berdiri di sana ternyata Qodrat, tapi
di sebelahnya adalah lelaki bermata merah itu.
Qodrat ini yang lantas berkata:

"Kawan-kawan, saya perkenalkan:
Chairil Anwar!"

Maka tanpa kecuali lagi, semua menjadi
terperangah memandang kepadanya. Armen yang
lantas mendatanginya dan memberinya salam:
"Bung barusan mendengarnya?"

Chairil jadi tertawa lagi, khas seperti tadi.
Sambil disapunya dengan pandang seluruh
ruang dengan matanya yang merah. Sesudah itu
dia maju ke depan sambil bicara terus terang:
"Manis, sajakmu barusan cukup
romantis! Tapi bukan itu yang semangat!
Kalau mau semangat... ini!"

Chairi! mengambil kapur tulis dan mulai menulis
di papan tulis yang memang tersedia di tengah
ruang itu. Ternyata juga sebuah tulisan dari
sebuah jiwa yang gelisah. Cepat, keras, tapi juga
pasti. Sambil menulis, mulutnya ikut berbunyi .

"Aku!
Kalau sampai waktuku
Kuwait tak seorang kan meruyit
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kitbaum berlari
Berlari

Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun Ingin."

Jelas sekali nampak, betapa pengaruh sajak ini
pada yang hadir sejak tadi bagian pertama
dituliskan. Belum sampai selesai penulisan ini,
ketika...

43. Chairil sudah berada di sebuah studio lain,
studio lukis pimpinan Sudjojono, bernama
"Pusara". Beberapa orang sedang membuat
poster-poster perang, beberapa lagi sedang
melukis. Seorang gadis hitam manis juga ikut
melukis, dia inilah bernama Dien Tamaela.
Seorang opsir Jepang juga terlihat di sini.
Bagian akhir dari sajak "Aku" di atas tadi baru
berakhir narasinya di ruang ini, pada saat mana
Qodrat memperkenalkan Chairil pada Sudjojono:
"Ini... kubawakan penyair besar kita,
Chairil Anwar!"
Sudjojono langsung bergaya Medan:
"A, ya, aku ingat kau bicara tentang anak
muda ini.—
(lantas pada Chairil)

— Jadi kaulah... anak Medan itu?! Hm,
Jadel?"

Chairil jadi tertawa yang khas tadi:
"Ayahku bernama Tuius, bisa jadi Jade!."
"Tak apalah, aku juga Jadel, kok."

Tapi mata Chairil ketika ini sudah tertarik pada
gadis manis yang sedang melukis,
pada Dien Tamaela.
Seorang lain yang berjalan agak bungkuk
datang mendekat, dan Sudjojono
memperkenalkannya sebagai Basuki.

44. Di hari yang lain, di sanggar afau studio yang
sama, Basuki yang bungkuk dan berwajah ramah
ini menjadi seperti orang bingung mencari
sesuatu. Dia kemudian menjadi putus asa dan
diam. Sudjojono yang lantas jadi bertanya:

"Ngapain sih kamu kayak orang pikun?"
"Jangan-jangan memang sudah pikun
aku ini. Tapi kau kemarin masih lihat
jasku di kapstok sana, 'kan?"
"Jas yang mana sih?"
"Memangnya aku punya jas berapa biji,
sih?"
"Waduh, Bas, jangan-jangan si Jadel itu...—

(pada pelukis lain yang lewat)
— He, kau lihat Jadel-penyair itu tadi
kemari?"

Dan sang Pelukis menyambut sambil terus
berjalan:
"Chairil? Dia barusan jalan sama si Dien
ke luar?"

Chairil memang sedang bercengkrama di sebuah
Restoran bersama Dien. Sibuk sekali dia meladeni
ini sambi! makan, sambil juga bicara. Royal
sekali makanan yanpesannya, dan Dien
nampak tersipu memandangi semuanya.
"Fantastis! Magis! Menarik sekali cerita
tentang keluarga besarmu itu.
Tentang tradisi di kampungmu. Aku jadi
kepingin ke Maluku!"

Begitu Chairil bicara sambil sibuk makan, dan
sambil tidak berkedip memandang mata Dien.
Ketika Dien lantas menjawab, ah, suara itu
berdesah, semacam daun-daun bambu yang
bergeseran tertiup angin:
"...Seolah Datu kamiiah orang pertama
yang menjaga pantai, menjaga pulau. Di
pulau itu dia berbini dan beranak,
menurunkan cucn-cucunya, sampai
terlahir Tamaela. Tamaela ini kemudian
berhasil membentuk diri menjadi sebuah
keluarga besar. Aku salah seorang di
antara mereka. Tapi Datu yang pertama
dibesarkan orang dengan nama RAJAWANE!"




Chairil kelihatan terkesan sekali pada cerita ini.
Dia sampai berhenti mengunyah dan melempar
pandang ke luar.
Di luar restoran, di atas trotoir, Basuki yang
berwajah ramah, kelihatan berjalan terbungkuk-
bungkuk sendirian. Chairil jadi tegak dan
melompat keluar mendapatkannya.
Basuki dibawanya masuk ke dalam restoran.

Basuki ikut makan seenaknya, dan Chairil
menambah order semaunva. Sambil makan ini
Basuki berkata:

"Sudah jumpa Qodrat, atau Armen, atau
Yasmin? Kau diminta bicara pada
pertemuan yang akan datang!"
"Di gedung Pusat Penerangan Jepang
itu? Sudah!-

(memperlihatkan coretan-coretan)

— Ini aku sedang susun pidato itu.—
(kepada Dien)

— Ha, kau tentu datang, ya, Dien?! Tapi
kau ini lagi mau ke mana?"
"Cari kau!"
"Aku? Jadi kebetulan aku melihatmu
barusan dan mengajakmu makan!"
"Ya, dan terima kasih! Nanti malam ada
pembukaan pameran. Aku musti hadir,
jadi aku perlu baju hangat. Aku cari
jasku! Apa kau tidak melihatnya, Ril?"

Chairil tenang, sama sekali tanpa dosa
menjawab:
"Sudahlah, tak usah kau risaukan jas buruk
itu. Ke pameran toh tidak musti pakai jas,
apalagi karena jas itu sudah berada dalam
perutmu! Ya, perut kita semua!"

Baik Dien, apalagi Basuki jadi cuma bisa
berbelalak sambil mendesah:

"Hah...?!"
"...Seni kita sampai kini masih dangkal,
picik benar. Tak lebih dari angin lalu
aja. Menyejukkan kening dan dahi pun
tidak!
Dengarkan!!
Wahyu dan wahyu ada dua. Tidak tiap
yang menggetarkan kalbu, wahyu yang
sebenarnya. Kita musti bisa menimbang,
memilih, mengupas dan kadang-kadang
sama sekali membuangnya.
Ida! Vitalisme!
Tenaga hidup! Api hidup!
Mata Ida bertanya, kulihat. Kalau-kalau
vitalisme ini mungkin diresapkan dalam
seni?
Mengapa tidak, Adik? Bahkan sifat ini
tidak mungkin dihilangkan atau
ditiadakan. Karena vitalisme adalah
sesuatu yang tidak bisa dielakkan dalam
mencapai keindahan.
Tiap seniman harus seorang perintis
jalan, Adik. Penuh keberanian, penuh
tenaga hidup. Jadi perasaan dalam
hidup, di kilat sinar surya, dengan
ketawa gembira, karena kita penuh api
kerja...
Dukung aku, Ida...!"

Pidato ini dibacakan oleh seseorang yang bukan
Chairil, bisa jadi Yasmin yang membacakan.
Dan sesuai pembacaan, Yasmin berkata:
"Sayang pidato kesenian yang padat dan
sarat akan pikiran-pikiran maju ini,
tidak bisa dib
Read More
10 Puisi Chairil Anwar

10 Puisi Chairil Anwar

Berikut ini adalah Daftar 10 puisi karya chairil anwar , sastrawan indonesia angkatan
26 juli 1922 sampai 28 april 1949 , banyak sekali karya puisi dari chairil anwar , berikut ini 10 Puisi Chairil Anwar :
“Bom atom pertama meledak di kota Hiroshima
Langit berselaput awan cendawan berbisa.
Ketika memburai awan ini, bumi laksana
ditimpa hujan salju yang ganas.
Gedung-gedung beton runtuh.
Aspal-aspal jalan terbakar menyala.
Bumi retak-retak berdebu, di segala penjuru.
Dan beribu tubuh manusia meleleh, tewas atau
terluka.

 Seekor kuda paling binal,
berbulu putih dan berambut kuduk tergerai,
berlari di pusat kota,
Jakarta!
Tidak peduli pada yang ada,
sekelilingnya,
juga tidak pada manusia.

Dia meringkik alangkah dahsyatnya,
menapak dan menyepak alangkah merdekanya.
Dunia ini,
seolah cuma menjadi miliknya!
Dan sekaligus seolah dia bicara:
kalau sampai waktuku
kumau tak seorang kan merayu
tidak juga kau
tak perlu sedu sedan itu
aku ini binatang jalang
dari kumpulannya terbuang


Gaung suara ini
seolah membelah langit,
membelah bumi. “

 Membelah juga rel kereta api
Di pinggi kota

Akornya juga membelah
Peron station yang
Berpagar kawat duri

Tapi sang kuda binal
Melompat tidak peduli
Sepotong ujung kawat duri
Menggores perut
Menggores juga paha

Darah segar menyebut keluar
Membuat noktah-noktah merah
Dibulunya yang putih
Tapi dia Cuma menengadah ke udara
Dan meringkik lagi :

biar peluru menembus kulitku
aku akan meradang menerjang
luka dan bisa kubawa berlari,
berlari
hingga hilang pedih peri…

dan aku akan lebih tidak peduli
aku mau hidup
seribu tahun lagi!

 Sampai juga sang kuda melayang
Diatas gerbong kereta dan gubuk – gubuk liar,
Gerbong dan gubuk busuk,
Milik perempuan – perempuan berdaki

Meneteslah darah segar,
ketika kuda melayang di atas sana.
Dan jatuh menimpa
sebuah wajah dari:

Lelaki kurus berambut panjang,
bermata cekung tapi tajam,
berdada telanjang dan kurus bertulang-tulang.
Tapi dialah lelaki resah,
berwajah gelisah dan mata merah.
Lelaki yang baru saja keluar dari pintu reot
sebuah gubuk yang basah.

Lelaki itu terkejut seketika,
memandang langit sambil mengusap mukanya.

Dia cuma menemukan langit kosong
di ujung-ujung atap gubuk yang menyesak.
Langit yang kerut-merut tanpa cahaya.

Sedang di kejauhan,
masih tinggal tersisa
sepotong ringkikan sang kuda:

dan aku akan lebih tidak peduli

aku mau hidup seribu tahun lagi!
 Lelaki ini masih tegak di sana
di antara gubuk-gubuk rombeng
dan gerbong-gerbong kereta yang alangkah
mesumnya.
Di atas tanah becek dan bersampah.

Lelaki ini masih menatap langit
seperti semula,
dengan hati masih resah
dan mata merah.

Wajah dan mata yang ini,
tiba-tiba tampil berlipat ganda.
Mula-mula satu,
kemudian dua,
tiga,
sampai menjadi enam memenuhi ruang.
Sesudah itu diam tiba-tiba,
seolah mati,
beku.

Maka pada saat yang ini
timbul di permukaan ruang
sebuah judul:
A K U

Langit pun lantas pelan-pelan
menghitam
gelap di mana-mana.
***

Ketika ruang kembali terang,
ituiah terangnya matahari yang menembus
celah dedaunan.

Embun pagi seolah menguap
di atas jalan-jalan berlumpur, di atas tegalan.
Dan puluhan kaki kasar petani
bergerak sigap ke hilir.

Puluhan kaki petani ini kemudian
berubah menjadi seratus,
seribu,
puluhan, bahkan ratusan ribu.
Di atas rumput,
di aspal tengah kota.

Atau di dalam dan di atas kereta,
sepanjang rel
atau juga di peron-peron stasiun.
Lelaki dan perempuan bergerak
ke arah yang sama.
Berdempal-dempal mereka berdesakan
menjadi satu,
membawa bendera merah dan putih
serta teriak
m e r d e k a !

 Di tempat lain,
di atas rel yang lengang terpisah dengan
lainnya,
lelaki telanjang dada dan mata merah basah,
berjalan sendiri dan tetap gelisah.

Matanya nanap gemetar memandang
Jauh ke depan.
Seperti melihat dua jaiur kereta yang
Menyatu ujung-ujungnya di kejauhan,
ujung-ujungnya yang terbias embun
dan seolah gemetar.
Pada saat ini...

 Meja makan,
sangat bangsawan!
Porak poranda!

Sepasang suami-istri
duduk makan bersama,
berhadap-hadapan,
porak poranda!

Yang lelaki tinggi lagi besar,
berkumis melintang dan lebat,
bermata bundar, merah menyala,
seperti terwaris pada lelaki kurus
yang telanjang dada.
Alangkah garang dan pemberangnya dia,
walau sangat bangsawan.

Yang perempuan pendek,
walau tidak kalah tambunnya.
Berwajah bundar. seolah lembut,
tapi alangkah kerasnya dia.

Yang lelaki membanting serbet putih di atas meja,
sambil matanya terbuka menyala
dan seluruh kumisnya ikut bergetar
seolah berkata:
"Bi-na-tang kau adanya!"
Yang perempuan diam tidak bicara,
cuma ditariknya taplak meja yang panjang,
juga berwarna putih,
dan binasalah seluruh yang teratur rapi di
atasnya.
Alangkah indahnya...
Porak poranda!

Dan bukan salah anak kecil itu,
anak yang mewarisi mata merah,
kalau telah disaksikannya seluruh peristiwa,
dari balik daun pintu rumahnya
yang setengah terbuka.

Lelaki kecil bermata merah batal pulang
dan lari ke luar.
Seraya diamfailnya sebongkah batu dan
dilemparkannya
ke atas atap rumahnya, anak itu pun jalan
meninggalkannya.

Read More