10 Puisi Pesta Dan Hiburan
10 Puisi Pesta Dan Hiburan - Sebenarnya puisi ini lebih cocok di berikan topik puisi kritik sosial buka puisi hiburan, tapi karena untuk melengkapi topik puisi perang , maka tidak ada salahnya puisi ini saya beri puisi hiburan sebagai pelengkap terjadinya transisi kehidupan umat manusia yang jika di urutkan hasilnya adalah sebagai berikut .
1. Puisi Perang
2. Puisi Cinta
3. Puisi Perdamaian
4. Puisi Alam Dan Lingkungan
5. Puisi Hiburan
Tiba saatnya kita membahas puisi hiburan yang ada di bawah ini :
Pesta lapar
Laparkun, Anne, Anne
Lari di atas keledaimu.
jika aku lapar, hanyalah
lapar bumi dan lapar batu.
Ding! ding! ding! ding! Santapan kita angin
Batu dan arang besi.
Hai lapar, balik kau. Lapar, makanlah
rumput padang suara!
Hiruplah racun pesta gila
Dari daun semk;
Makanlah batu leburan tangan si miskin
Pintu gerbang gereja tua.
Puntung hari kiamat,
Roti lembab kelabu!
laparku, sobekkan angin malam,
Udara bergema;
itulah perutku, guruh itu,
O, Malam.
Tanam-tanaman di bumi lahir kembali;
Mentari buah magang
Kupetik dari lobang jejak Sayur dan bunga viola.
Laparku, Anne, Anne
Lari di atas keledaimu.
By: ARTHUR RIMBAU
Bulan kuning
Siang panjang itu berakhir dengan satu bulan kuning
Yang pelahan bangkit di antara pepohonan,
Sementara di udara menyerbak dan berkembang:
Bau air yang antara pimping basah bertiduran,
Insaflah kita, bila, dua-dua, di bawah Surya memanggang
kita siksa tanah merah dan tunggul jerami yang memberkah,
Tahukah kita, bila kaki menginjak pasir gersang
Ia tinggalkan bekas langkah bagai langkahnya darah,
Tahukah kita, bila kasih menjulangkan nyalanya
Di hati kita yang recai dengan siksa putus asa,
Tahukah kita, bila padam api yang membakar kita,
Bahwa nanti baranya mesra berada di senja kita,
Dan bahwa hari getir dekat silamnya, diserbak rangsang,
Bau air yang termenung d’antara pimping basah,
Nanti pelahan berakhir dengan itu bulan kunig
Yang diantaara pohonan meningkat jadi purnama?
By: HENRI DE REGNIER
Nukilan dari: pertemuan
Sambutlah, kesilauan mesra
Kebangunanku ini
Walaupun aku jauh
Dari pada hidup kebatinan
Tapi o, udara terang,
Aku cinta kesucianmu tiada ternoda
Tiada pernah aku mencari dengan tiada mengeluh
Suatu tempatpun untuk tertinggal
Sebab tiada tempat di mana kesenangan
Lebih tegas adanya ku tahu
Mendengar engkau adalah menerima
Ambillah dan minumlah, keinginanku,
Regulah langit di atas dunia.
Kalau engkau tidak bertahan di dalamnya, janganlah engkau mencoba mencapai tingkat kegirangan ini
Pagi ini aku seperti orang yang dengan pena terlalu banyak
Tintanya takut menodai kertas, lalu mengerang bunga dari pada perkataan
By: HENRI DE REGNIER
Langkah-langkah
Langkahmu, kanak-kanak sepiku,
Kudus dan pelan di injaknya,
Menuju ranjang waspadaku,
Bisu dan Kelu dimajukan.
Makhluk murni, bayangan luhur,
Lembut nian langkahmu-teguh!
Tuhan. . . semua berkah kutaksir,
T'lanjang kaki datang padaku.
Jika dari bibirmu m'lunjung,
kausiapkan, sebagai pengaman,
Bagi penghuni serba pikirku.
Sari hidup suatu ciuman,
Jangan gegaskan 'tu tindak mesra,
Gairah jumpaan diri-takdiri
Kerna hidupku: tunggu-kau cuma.
Dan itu langkahmu: hatiku ini.
By: PAUL VALERY
Hutan yang akrab
Kami berdampingan memikirkan
Ikhwal serba murni, sepanjang jalan.
Kami berpegang-pegangan tangan,
Bisu . . .antara bungaan hutan.
Kami berjalan: suatu pasangan,
Terpencil di malam hijau padang-padang.
Kami bagi buahan alam dongeng,
bulanpun mengakrab kegila-gilaan.
Lalu kami bergeletak di mulut,
Jauh, Kendiri, dibayang lembut
Itu hutan yang komat-kamit dan akrab.
Dan nun di luhur, dalam bendrang cahaya,
Nampaklah diri berurai airmata,
Wahai teman sepiku yang akrab.
Sanjak
Suatu jerit menembus sebukit tumpukan perih
Langkah pertama kepada Tuhan
Tahunan daku peperangan bangsa-bangsa
Rebut tahunanku gaduh mesin terbang
Tahunan kenanganku gemerincing ragam senjata
Dan setiap orang putera pegunungan
Tahunanku menyimpan bekas-bekas larsmu
Kenangan hitam pekat yang melintasi guhaku
, . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Semoga babel mengangkat daku jadi murid
Asmara itu semua berantakan
Mereka dari sini mencapai puncak
Di mana ssekian pohonan berumbaikan pecuk
Kukatakan pada hewan kau boleh mampus
By: MAX JACOB
Jembatan mereabeau
di bawah jembatan merebeau mengalir seine
dan kasih kita
selamanya harus tinggal di sana
kenangan girang di susul duka.
Walau malam pasti datang dan jam luput berdetak
Hari-hari cepat silam, aku tidak.
Tangan menjabat tangan dan berhadapan kami berdiri
Sementara di bawah
Jembatan tangan kami, buru memburu:
Ombak-ombak pandangan abadi yang gitu jemu.
Walau malam pasti datang dan jam luput berdetak
Hari-hari cepat silam, aku tidak.
Kasih bagai gegas air mengalir ini.
Kasih juga mengalir.
Hidup betapa juga tenangnya,
Harapan menyiksa betapa juga hebatnya,
Walau malam pasti datang dan jam luput berdetak.
Hari-hari cepat silam, aku tidak.
Liwat hari-hari dan lampu minggu-minggu
Dan waktu yang luput
Tiada kasih dulu kembali lagi.
Di bawah jembatan merabeau mengalir seine.
By: GUILLAUME APOLLINAIRE
Terompot peburu
Sejarah kita mulya-mengharukan
Bagai kedok seorang tiram,
Drama manapun, gaib atau nasib-nasiban,
Tanjaknya remeh sekalipun
Tak sanggup menjulangkan kasih kita!
Dan Thomas de quincey memadat,
Menghisab racun lembut dan murni
Pada Annanya malam mimpi bertandang,
Mari, mari pergi kerna semua berlalu,
Aku kan kerap berpaling.
Tanda mata bagai terompet peburu,
Buminya luput di puput angin.
By: GUILLAUME APOLLINAIRE
Marie
Engkau menari gadis kecil
Tarian nenek kau tarikkan
Lompat-m’lompat terompah kecil
Dan semua lonceng klenengan
Pabila kembali kau marie?
Kedok dan topong pada bisu
Dan musik demikian jauh
Seakan sumbernya diluhur
Ya, ‘kumau mencintaasal dendamnya rindu
Sehingga nikmat perihku
Domba-domba mengharung salju
Gumpalan bulu dan perak
Serdadu liwat, dan milikku
Apa hanya itu hati tak
Tetap, lantas apa ‘ku tahu
Ku tahu rambutmu kemana
Yang kerutnya laut membuih
‘ku tahu rambutmu kemana
Dan tanganmu daunan lesi
Yang pun menutup jamji kita
Minggir-minggir seine jalanku
Sebuah buku tua di tangan
‘ni suungai lukisan sedihku
Mengalir . . . . . . terus-terusan
Kapankah berakhir ‘ni minggu
By: GUILLAUME APOLLINAIRE
Sanjak penghabisan
Tahulah memaafkan bila kami kau banding
Dengan mereka yang jadi tauladan peraturan.
sKami yang dimana-mana menerjuni main nasib-nasiban,
Kami bukan musuh kamu.
Kami bukan beri kamu kerajaan luas dan ajaib,
Di mana kegaiban bemerkahan, menawarkan diri untuk dipetik.
Di sana gemerlap nyala-nyala baru: warna-warna yang haram pernah di sapu mata.
Jutaan khayal tidak bersosok,
Yang harus di ikat jadi kenyataan.
Kami mau sidik keindahan, daerah luas penuh sunyi-senyap
Adapula musimnya orang berburu dan kembali dari berburu.
Kasihani kami yang selalu berjuang di garis depan
Tak terbatas dan nanti yang tiada batasnya.
Belasi langkah kami yang salah, ampuni dosa kami.
By: GUILLAUME APOLLINAIRE
1. Puisi Perang
2. Puisi Cinta
3. Puisi Perdamaian
4. Puisi Alam Dan Lingkungan
5. Puisi Hiburan
Tiba saatnya kita membahas puisi hiburan yang ada di bawah ini :
Pesta lapar
Laparkun, Anne, Anne
Lari di atas keledaimu.
jika aku lapar, hanyalah
lapar bumi dan lapar batu.
Ding! ding! ding! ding! Santapan kita angin
Batu dan arang besi.
Hai lapar, balik kau. Lapar, makanlah
rumput padang suara!
Hiruplah racun pesta gila
Dari daun semk;
Makanlah batu leburan tangan si miskin
Pintu gerbang gereja tua.
Puntung hari kiamat,
Roti lembab kelabu!
laparku, sobekkan angin malam,
Udara bergema;
itulah perutku, guruh itu,
O, Malam.
Tanam-tanaman di bumi lahir kembali;
Mentari buah magang
Kupetik dari lobang jejak Sayur dan bunga viola.
Laparku, Anne, Anne
Lari di atas keledaimu.
By: ARTHUR RIMBAU
Bulan kuning
Siang panjang itu berakhir dengan satu bulan kuning
Yang pelahan bangkit di antara pepohonan,
Sementara di udara menyerbak dan berkembang:
Bau air yang antara pimping basah bertiduran,
Insaflah kita, bila, dua-dua, di bawah Surya memanggang
kita siksa tanah merah dan tunggul jerami yang memberkah,
Tahukah kita, bila kaki menginjak pasir gersang
Ia tinggalkan bekas langkah bagai langkahnya darah,
Tahukah kita, bila kasih menjulangkan nyalanya
Di hati kita yang recai dengan siksa putus asa,
Tahukah kita, bila padam api yang membakar kita,
Bahwa nanti baranya mesra berada di senja kita,
Dan bahwa hari getir dekat silamnya, diserbak rangsang,
Bau air yang termenung d’antara pimping basah,
Nanti pelahan berakhir dengan itu bulan kunig
Yang diantaara pohonan meningkat jadi purnama?
By: HENRI DE REGNIER
Nukilan dari: pertemuan
Sambutlah, kesilauan mesra
Kebangunanku ini
Walaupun aku jauh
Dari pada hidup kebatinan
Tapi o, udara terang,
Aku cinta kesucianmu tiada ternoda
Tiada pernah aku mencari dengan tiada mengeluh
Suatu tempatpun untuk tertinggal
Sebab tiada tempat di mana kesenangan
Lebih tegas adanya ku tahu
Mendengar engkau adalah menerima
Ambillah dan minumlah, keinginanku,
Regulah langit di atas dunia.
Kalau engkau tidak bertahan di dalamnya, janganlah engkau mencoba mencapai tingkat kegirangan ini
Pagi ini aku seperti orang yang dengan pena terlalu banyak
Tintanya takut menodai kertas, lalu mengerang bunga dari pada perkataan
By: HENRI DE REGNIER
Langkah-langkah
Langkahmu, kanak-kanak sepiku,
Kudus dan pelan di injaknya,
Menuju ranjang waspadaku,
Bisu dan Kelu dimajukan.
Makhluk murni, bayangan luhur,
Lembut nian langkahmu-teguh!
Tuhan. . . semua berkah kutaksir,
T'lanjang kaki datang padaku.
Jika dari bibirmu m'lunjung,
kausiapkan, sebagai pengaman,
Bagi penghuni serba pikirku.
Sari hidup suatu ciuman,
Jangan gegaskan 'tu tindak mesra,
Gairah jumpaan diri-takdiri
Kerna hidupku: tunggu-kau cuma.
Dan itu langkahmu: hatiku ini.
By: PAUL VALERY
Hutan yang akrab
Kami berdampingan memikirkan
Ikhwal serba murni, sepanjang jalan.
Kami berpegang-pegangan tangan,
Bisu . . .antara bungaan hutan.
Kami berjalan: suatu pasangan,
Terpencil di malam hijau padang-padang.
Kami bagi buahan alam dongeng,
bulanpun mengakrab kegila-gilaan.
Lalu kami bergeletak di mulut,
Jauh, Kendiri, dibayang lembut
Itu hutan yang komat-kamit dan akrab.
Dan nun di luhur, dalam bendrang cahaya,
Nampaklah diri berurai airmata,
Wahai teman sepiku yang akrab.
Sanjak
Suatu jerit menembus sebukit tumpukan perih
Langkah pertama kepada Tuhan
Tahunan daku peperangan bangsa-bangsa
Rebut tahunanku gaduh mesin terbang
Tahunan kenanganku gemerincing ragam senjata
Dan setiap orang putera pegunungan
Tahunanku menyimpan bekas-bekas larsmu
Kenangan hitam pekat yang melintasi guhaku
, . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Semoga babel mengangkat daku jadi murid
Asmara itu semua berantakan
Mereka dari sini mencapai puncak
Di mana ssekian pohonan berumbaikan pecuk
Kukatakan pada hewan kau boleh mampus
By: MAX JACOB
Jembatan mereabeau
di bawah jembatan merebeau mengalir seine
dan kasih kita
selamanya harus tinggal di sana
kenangan girang di susul duka.
Walau malam pasti datang dan jam luput berdetak
Hari-hari cepat silam, aku tidak.
Tangan menjabat tangan dan berhadapan kami berdiri
Sementara di bawah
Jembatan tangan kami, buru memburu:
Ombak-ombak pandangan abadi yang gitu jemu.
Walau malam pasti datang dan jam luput berdetak
Hari-hari cepat silam, aku tidak.
Kasih bagai gegas air mengalir ini.
Kasih juga mengalir.
Hidup betapa juga tenangnya,
Harapan menyiksa betapa juga hebatnya,
Walau malam pasti datang dan jam luput berdetak.
Hari-hari cepat silam, aku tidak.
Liwat hari-hari dan lampu minggu-minggu
Dan waktu yang luput
Tiada kasih dulu kembali lagi.
Di bawah jembatan merabeau mengalir seine.
By: GUILLAUME APOLLINAIRE
Terompot peburu
Sejarah kita mulya-mengharukan
Bagai kedok seorang tiram,
Drama manapun, gaib atau nasib-nasiban,
Tanjaknya remeh sekalipun
Tak sanggup menjulangkan kasih kita!
Dan Thomas de quincey memadat,
Menghisab racun lembut dan murni
Pada Annanya malam mimpi bertandang,
Mari, mari pergi kerna semua berlalu,
Aku kan kerap berpaling.
Tanda mata bagai terompet peburu,
Buminya luput di puput angin.
By: GUILLAUME APOLLINAIRE
Marie
Engkau menari gadis kecil
Tarian nenek kau tarikkan
Lompat-m’lompat terompah kecil
Dan semua lonceng klenengan
Pabila kembali kau marie?
Kedok dan topong pada bisu
Dan musik demikian jauh
Seakan sumbernya diluhur
Ya, ‘kumau mencintaasal dendamnya rindu
Sehingga nikmat perihku
Domba-domba mengharung salju
Gumpalan bulu dan perak
Serdadu liwat, dan milikku
Apa hanya itu hati tak
Tetap, lantas apa ‘ku tahu
Ku tahu rambutmu kemana
Yang kerutnya laut membuih
‘ku tahu rambutmu kemana
Dan tanganmu daunan lesi
Yang pun menutup jamji kita
Minggir-minggir seine jalanku
Sebuah buku tua di tangan
‘ni suungai lukisan sedihku
Mengalir . . . . . . terus-terusan
Kapankah berakhir ‘ni minggu
By: GUILLAUME APOLLINAIRE
Sanjak penghabisan
Tahulah memaafkan bila kami kau banding
Dengan mereka yang jadi tauladan peraturan.
sKami yang dimana-mana menerjuni main nasib-nasiban,
Kami bukan musuh kamu.
Kami bukan beri kamu kerajaan luas dan ajaib,
Di mana kegaiban bemerkahan, menawarkan diri untuk dipetik.
Di sana gemerlap nyala-nyala baru: warna-warna yang haram pernah di sapu mata.
Jutaan khayal tidak bersosok,
Yang harus di ikat jadi kenyataan.
Kami mau sidik keindahan, daerah luas penuh sunyi-senyap
Adapula musimnya orang berburu dan kembali dari berburu.
Kasihani kami yang selalu berjuang di garis depan
Tak terbatas dan nanti yang tiada batasnya.
Belasi langkah kami yang salah, ampuni dosa kami.
By: GUILLAUME APOLLINAIRE
Advertisement