10 Puisi Kenangan Abadi
10 Puisi Kenangan Abadi - puisi ini menjelaskan tentang kenangan kenangan manis pahit indah dan mengharukan sedih dan menyenangkan, kenangan perang, kenangan cinta, kenangan damai, kenangan alam dan lain sebagainya , jika di telusuri hidup itu sepertinya memang harus perang untuk mendapatkan cinta kemudian menemukan perdamaian, selanjutnya menikmati alam dan berakhir tinggal kenangan setelah kita tua tak berdaya kemudian mati meninggalkan dunia.
Memegang
Memegang, memegang senja, buah appel dan tugu,
Memegang bayangan, dinding dan ujung jalan itu,
Memegang kaki, kuduk putih perempuan yang lena,
Lalu membuka tangan. Beberapa ekor burung merdeka,
Beberapa ekor burung penyap menjadi dinding,
Tugu, senja, buah appel dan bayang-bayang.
Tangan kau bakal aus
Dalam permainan sungguh ini.
Kami ‘kan kudung kamu,
Kudung kamu suatu hari
Memegang bila segala meluputku
Dan dengan tangan bagaimana
Memegang pikiran ini
Dan dengan tangan bagaimana
Memegang hari pada bulu tengkuknya
Memegangnya gemetarran
Bagai seekor kelinci hidup?
Mari, tidur, tolong daku,
Kau akan pegangkan daku
Yang tak dapat ku ambil,
Kantuk tangan lebih berkuasa.
By: JULES SUPER VIELLE
Perjalanan sukar
Di jalan: kereta kecil sebuah,
Dalamnya: bocah mungil seorang,
Yang tak mau mengelaikan kepala,
Kerna kereta terguncang-guncang.
Paksaan keras ini jalan
Mencambut pasangan di kejauhan,
Di mana bumi sekedar gumpalan,
Di laangit besar yang kabur nian.
Jangan bilang: inilah tempat,
Di mana mentari di pancung nyalanya.
Dua belas tukang potong berderet,
Dua belas pisau potong tertawa.
Di sini orang memancung bulan
Agar kuningnya terkejut pasi.
Lantai tonilnya ialah landasan.
Tempat menempa petir dan ngeri.
,,ayuh buyung, tutup mukamu,
Kau menempuh jalan bahaya”
,,tidakkah Nampak olehmu, tamu,
Pasangan daku berpantang kalah?”
Bocah-bocah diplanit lainnya
Jangan kau lupa anak ini,
Yang telah sekian lamanya
Tak terdengar kabarnya lagi.
By: JULES SUPER VIELLE
Munafik
Bagai badai kesak ku kitari usia mudamu.
Nafsuku memancarkan kemilau di langitmu.
Pandangku, walau hinggap-hinggap melintas,
Tak luput dari wajah kebenaran yang menusuk.
Dengan langkah ati-ati, pandang tukang tunjuk,
Ajaran zaman agar berkhianat dengan mata,
Mahir dalam ikhwal yang teradat oleh waktu,
Aku melirik sekitar mangsa yang alpa.
By: FRANCOIS MAURIAC
Sanjak kabur
Ke man hujan disambar bayu,
Berdesau lalu di atas atap?
Akupun lalu padamu mendekap,
Agar senyap rintih sedihku.
Taman gelita berpohon t’lanjang,
Lampu kecilmu padam dan nyala,
Bisikmu gairah dewi asmara,
Bagaimana jadinya sekarang?
Masih ku dengar rintikan hujan.
Bunyinya lain kedengaran…..
By: FRANCIS CARGO
Kami tak mau sedih-sedih
Kami tak mau sedih-sedih
Itu terlalu mudah
Terlalu bodoh
Gampang saja.
Untuk itu terlalu banyak kesempatan
Salah tak ada
Setiap orang sedih
Kami tak mau sedih lagi
By: BLAISE CENDRARS
Tariku
Plato tak memberi penyair hak warga-kota
Yahudi kelana
Don juan metafisik
Teman-teman,orang-orang setangga
Kamu tidak lagi beradat dan belum punya istiadat
Perlu menghindari tindasan reveu-reveu
Kesusasteraan
Hidup miskin
Kesombongan yang pincang
Kedok
Perempuan, dansa yang diajarkan oleh Niezsche kepada kita untuk ditarikan
By: BLAISE CENDRARS
Perempuan
Tapi sendirian?
Datang dan pergi tak berhenti
Pembangsatan istimewa
Semua lelaki, semua negri
Demikian maka kau tak lagi memberatkan
Kau telah membunuh perasanmu
Aku seorang tuan yang dalam ekspres yang mengagumkan melintasi keinian
Eropah sendiri dan dengan hati kecut mengamati lintas jendela
Tamasya yang tak lagi menarik perhatianku
Tapi tarian tamasya
Tamasya tari
Paritatitata
Aku putar habis
By: BLAISE CENDRARS
Lagu berirama bebas
Diambang akan terjun kebawah gelombang tidur,
Amat bimbang nampaknya kamu;
Mungkin karma takut aku akan menyusul,
Mendekap dikau dalam mimpimu.
Usah takut, karena takut bedalah peluknya
Sekitar kepala aku berat,
Dan tidur ngingau menggundah dikau, di pojok remaja,
Bersama teman yang telah tiada.
Selagi kamu tamasya di hutan-hutan, padang, lembah temak,
Dijalan-jalanyang kucintai,
Dilingkungi tidur yang nyenyak, di mana kau sembunyi,
Aku tak’] ‘kan kunjung bergerak.
Wahai, semoga sanggup aku masuk mimpimu
Dan bermungkin dalamnya.
Tapi, menyingsing fajar – dalam mencari, kamu
Harus dicurahi nyala.
By: JEAN COCTEU
Nukilan dari: potomak
Potomak! potomakku! Sebentar kujumpai kau lagi.
Lihatlah! Satu sama lain kita pisah, bagai air ringan dan air berat
Maafkan daku menamakan kau potomak.
,,pergilah, burung” firman tuhan pada hari keempat dan dalam basa ibrani ditambahnya;frrrrr !
Tahu-tahu kuperoleh nama yang kadar cocok bagimu.
Dikit demi dikit kusimpulkan suatu dunia dari padamu.
Wajiblah aku nanti melewat, bekerja, tidur.
Potomak, kusesalkan aquarium di lapangan Madeleine
Tapi kau kukunjungi nanti.
By: JEAN COCTEU
Dimana aku bakal menetap
Punya padang mesra
Dimana panasmu istirah
Mata-air dimana dadaku
Mencerminkan hari
Jalan-jalan dimana bibirmu
Tersenyum kebibir lain
Hutan dimana unggas-unggas
Pelan mengangkat pelupuk matamu
Di bawah suatu langit, yang dibayangkan
Oleh dahimu cuaca
Satu-satunya alamku semesta
Kurnia yang mudah dilaraskan
Kepada irama alam –
Kau akan tetap telanjang saja.
By: PAUL ELUARD
Kekasih . . . . . . . . . . .
Agar dapat melukiskan assratku, kekasihku,
Taruh bibirmu seprti bintang di langit kata-katamu
Ciuman dalam malam yang hidup,
Dan deras lenganmu memluk daku,
Seperti suatu nyala bertanda kemenangan
Mimpikupun berada dalam
Benderang dan abadi,
Dan bila kau tiada disana,
Aku bermimpi tertidur, dan mimpi aku bermimpi.
By: PAUL ELUARD
Memegang
Memegang, memegang senja, buah appel dan tugu,
Memegang bayangan, dinding dan ujung jalan itu,
Memegang kaki, kuduk putih perempuan yang lena,
Lalu membuka tangan. Beberapa ekor burung merdeka,
Beberapa ekor burung penyap menjadi dinding,
Tugu, senja, buah appel dan bayang-bayang.
Tangan kau bakal aus
Dalam permainan sungguh ini.
Kami ‘kan kudung kamu,
Kudung kamu suatu hari
Memegang bila segala meluputku
Dan dengan tangan bagaimana
Memegang pikiran ini
Dan dengan tangan bagaimana
Memegang hari pada bulu tengkuknya
Memegangnya gemetarran
Bagai seekor kelinci hidup?
Mari, tidur, tolong daku,
Kau akan pegangkan daku
Yang tak dapat ku ambil,
Kantuk tangan lebih berkuasa.
By: JULES SUPER VIELLE
Perjalanan sukar
Di jalan: kereta kecil sebuah,
Dalamnya: bocah mungil seorang,
Yang tak mau mengelaikan kepala,
Kerna kereta terguncang-guncang.
Paksaan keras ini jalan
Mencambut pasangan di kejauhan,
Di mana bumi sekedar gumpalan,
Di laangit besar yang kabur nian.
Jangan bilang: inilah tempat,
Di mana mentari di pancung nyalanya.
Dua belas tukang potong berderet,
Dua belas pisau potong tertawa.
Di sini orang memancung bulan
Agar kuningnya terkejut pasi.
Lantai tonilnya ialah landasan.
Tempat menempa petir dan ngeri.
,,ayuh buyung, tutup mukamu,
Kau menempuh jalan bahaya”
,,tidakkah Nampak olehmu, tamu,
Pasangan daku berpantang kalah?”
Bocah-bocah diplanit lainnya
Jangan kau lupa anak ini,
Yang telah sekian lamanya
Tak terdengar kabarnya lagi.
By: JULES SUPER VIELLE
Munafik
Bagai badai kesak ku kitari usia mudamu.
Nafsuku memancarkan kemilau di langitmu.
Pandangku, walau hinggap-hinggap melintas,
Tak luput dari wajah kebenaran yang menusuk.
Dengan langkah ati-ati, pandang tukang tunjuk,
Ajaran zaman agar berkhianat dengan mata,
Mahir dalam ikhwal yang teradat oleh waktu,
Aku melirik sekitar mangsa yang alpa.
By: FRANCOIS MAURIAC
Sanjak kabur
Ke man hujan disambar bayu,
Berdesau lalu di atas atap?
Akupun lalu padamu mendekap,
Agar senyap rintih sedihku.
Taman gelita berpohon t’lanjang,
Lampu kecilmu padam dan nyala,
Bisikmu gairah dewi asmara,
Bagaimana jadinya sekarang?
Masih ku dengar rintikan hujan.
Bunyinya lain kedengaran…..
By: FRANCIS CARGO
Kami tak mau sedih-sedih
Kami tak mau sedih-sedih
Itu terlalu mudah
Terlalu bodoh
Gampang saja.
Untuk itu terlalu banyak kesempatan
Salah tak ada
Setiap orang sedih
Kami tak mau sedih lagi
By: BLAISE CENDRARS
Tariku
Plato tak memberi penyair hak warga-kota
Yahudi kelana
Don juan metafisik
Teman-teman,orang-orang setangga
Kamu tidak lagi beradat dan belum punya istiadat
Perlu menghindari tindasan reveu-reveu
Kesusasteraan
Hidup miskin
Kesombongan yang pincang
Kedok
Perempuan, dansa yang diajarkan oleh Niezsche kepada kita untuk ditarikan
By: BLAISE CENDRARS
Perempuan
Tapi sendirian?
Datang dan pergi tak berhenti
Pembangsatan istimewa
Semua lelaki, semua negri
Demikian maka kau tak lagi memberatkan
Kau telah membunuh perasanmu
Aku seorang tuan yang dalam ekspres yang mengagumkan melintasi keinian
Eropah sendiri dan dengan hati kecut mengamati lintas jendela
Tamasya yang tak lagi menarik perhatianku
Tapi tarian tamasya
Tamasya tari
Paritatitata
Aku putar habis
By: BLAISE CENDRARS
Lagu berirama bebas
Diambang akan terjun kebawah gelombang tidur,
Amat bimbang nampaknya kamu;
Mungkin karma takut aku akan menyusul,
Mendekap dikau dalam mimpimu.
Usah takut, karena takut bedalah peluknya
Sekitar kepala aku berat,
Dan tidur ngingau menggundah dikau, di pojok remaja,
Bersama teman yang telah tiada.
Selagi kamu tamasya di hutan-hutan, padang, lembah temak,
Dijalan-jalanyang kucintai,
Dilingkungi tidur yang nyenyak, di mana kau sembunyi,
Aku tak’] ‘kan kunjung bergerak.
Wahai, semoga sanggup aku masuk mimpimu
Dan bermungkin dalamnya.
Tapi, menyingsing fajar – dalam mencari, kamu
Harus dicurahi nyala.
By: JEAN COCTEU
Nukilan dari: potomak
Potomak! potomakku! Sebentar kujumpai kau lagi.
Lihatlah! Satu sama lain kita pisah, bagai air ringan dan air berat
Maafkan daku menamakan kau potomak.
,,pergilah, burung” firman tuhan pada hari keempat dan dalam basa ibrani ditambahnya;frrrrr !
Tahu-tahu kuperoleh nama yang kadar cocok bagimu.
Dikit demi dikit kusimpulkan suatu dunia dari padamu.
Wajiblah aku nanti melewat, bekerja, tidur.
Potomak, kusesalkan aquarium di lapangan Madeleine
Tapi kau kukunjungi nanti.
By: JEAN COCTEU
Dimana aku bakal menetap
Punya padang mesra
Dimana panasmu istirah
Mata-air dimana dadaku
Mencerminkan hari
Jalan-jalan dimana bibirmu
Tersenyum kebibir lain
Hutan dimana unggas-unggas
Pelan mengangkat pelupuk matamu
Di bawah suatu langit, yang dibayangkan
Oleh dahimu cuaca
Satu-satunya alamku semesta
Kurnia yang mudah dilaraskan
Kepada irama alam –
Kau akan tetap telanjang saja.
By: PAUL ELUARD
Kekasih . . . . . . . . . . .
Agar dapat melukiskan assratku, kekasihku,
Taruh bibirmu seprti bintang di langit kata-katamu
Ciuman dalam malam yang hidup,
Dan deras lenganmu memluk daku,
Seperti suatu nyala bertanda kemenangan
Mimpikupun berada dalam
Benderang dan abadi,
Dan bila kau tiada disana,
Aku bermimpi tertidur, dan mimpi aku bermimpi.
By: PAUL ELUARD
Advertisement