10 Puisi Renungan

 10 Puisi Renungan - buat apa berperang jika akhirnya kita cinta damai menjaga lingkungan yang indah untuk di kenang toh hidup ini tanpa perang akhirnya mati juga , puisi renungan ini melengkapi daftar 10 puisi terbaik puisi kampus kali ini, perlu di ingat bahwa 10 puisi renungan ini hanya berisi tujuh puisi saja dan masih kurang tiga judul .
Potret sendiri
Aku sejak dulu seorang tualang,
Paling tak cakap antara pengarang,
Penyair spanyol yang paling dangkal,
Dan pandai sanjak sewenang wenang.
Tapi kendati ‘ku mungkin penyair paling subur,
Mungkin seluruh buah penaku: hanya dengung
Tak bermakna dan hampa,
Kembang tiada wangi, flacon kosong.
By: JOSE ZORILLA Y MORAL

Angan-angan
Apalah artinya suka, hidup, bahagia,
Bila asing harapan dan kemashuran,
Suatu jalan tak berujung, sunyi tak rata;
Jalan ziarahmu, demi lanjut, melesukan

Berilah daku lagu-akh, biar cuma satu;
Buaikan, bila menjerit, hati di alam mimpi
Dan pualam yang kekal bakal tampil di matamu.
Bangkit dari debu suatu jaman yang lama mati.

Harapan! Kemashuran! Apa lagi di risaukan.
Suatu manikin yang gemilang di depanku.
Apa peduli hidup seperti orang minta-minta
Bila seperti Pindar dan Homores kita berlalu.
By: JOSE ZORILLA Y MORAL

Nukilan dari: OP. cit.
Hai tenteram,
Udara panas-panas-dingin,
Dan hujan turun
Pelan dan bisu;
Dan selagi aku bias
Meneguk tangis dan mengeluh,
Anakku, mawar mungil itu,
Matanya di tutup maut.
Damai dan sepi terekam di keningnya, kala
Pamitan dengan ini dunia.

Sungai-sungai pada kelabu; kelabu
Pohonan dan gemunung, abu-abu;
Kabut yang meliputiinya, kelabu,
Dan abu-abu gemawang yang berarak di langit.
Seluruh bumi berliput sedih kelabu,
Itu warna usia tua.

Kadang kali redup-redup bangkit desau
Hujan dan angin
Yang bertiup di pohonan, melulung dan mengeluh,
Demikian aneh, hampa dan perih bunyi
Ratapnya, seakan orang menyeru si mati.
By: ROSALIA DE CASTRO

Apa hidupmu itu, jiwaku?
Apa hidupmu itu, jiwaku, apa biasamu?
Hujan di telaga!
Apa hidupmu itu, jiwaku, apa biasamu?
Angin di angkasa!
Betapa ‘kan suci lagi, jiwaku, hidupmu?
Gelita diguha!
Hujan di telaga!
Angin di angkasa!
Gelita di guha!
Menangis hujan dari langit dan awan . . .
Angin adalah kesah yang tak kenal pamitan.
Derita: gelagak hitam tak terhiburkan,
Dan hidup: hujan dan gelap dan angin.
By: MIGUEL DE UNAMUMON Y YUGO

Mati, tidur . . . .
Buyung, untuk istirah
Kauperlukan tidur,
Membung resah,
Membunuh angin,
Berhenti ngembara
Dengan pikiran . . .
-ibu, satu-satunya istirah:
Mati.
By: MANUEL MACHADO Y RUYZ

Sanjak
Jalan di lindung bayang. Gedung-gedung tua dan tinggi menyembunyikan
mentari silam; di beranda gema-gema cahaya bermain.

Tidaklah kau lihat, dalam pesona beranda berhias kembangnya,
Luncur merah muda dari wajah kau kenal?

Raut badan di balik kaca, dengan lantunan bimbangnya,
Berkilau dan menghilang, seperti muka lama kehitaman.

Dijalan hanya bunyi langkahmu kedengaran.
Pelahan gemanya lewat itu pun penyap

O, siksa!hati makin berat dan perih ,,lakah itu?’’
Tak mungkin . . . teruskan perjalanan . . . bintang dilangit.
By: ANTONIO MACHADO Y RUYZ

Sanjak
Rumah tercinta,
Kediamannya,
Menunjukkan,
Di atas tumpuk runtuhan yang rapuh
Dan hancur luluh,
Kerangka kayu tak tentu bentuk,
Hitam, berserpihan.

Bulan mencurahkan benderangnya
Masuk mimpi, yang berkilatkan perak
Di jendela. Berbaju buruk dan sedih di hati,
Aku tempuhlah jalan tua itu.
By: ANTONIO MACHADO Y RUYZ

Advertisement