10 Puisi Perang Rusia Bagian Ke Tiga
Bisnis Investasi
Selasa, 08 Januari 2013
Puisi Agama,
Puisi Alam,
Puisi Cinta,
Puisi Gaul,
Puisi Humor,
Puisi Keluarga,
Puisi Kenangan,
Puisi Lingkungan,
Puisi Pendidikan,
Puisi Perang,
Puisi Perdamaian,
Puisi Politik,
Puisi Renungan,
Puisi Rindu,
Puisi Rusia,
Puisi Terbaru,
Top 10,
Top Puisi
Edit
10 Puisi Perang Rusia Bagian Ke Tiga - Perang selalu menyisakan kepedihan dan sepertinya perang selamanya tidak akan menambah apapun kecuali hanya menciptakan kerusakan, jika kita hidup di atas bumi yang satu dan berteduh di bawah langit yang satu lantas mengapa kita hidup tidak bisa bersatu. 10 Puisi Perang Rusia Bagian Ke Tiga ini kelanjutan dari 10 Puisi Perang Rusia Bagian Pertama dan 10 Puisi Perang Rusia Bagian Ke Dua
Samar senja
Surya meredup bagai sekuntum mawar layu,
Kepala terkulai, lesu, seakan dalam mimpi,
Dan kelopak emasnya mengoraklah pelahan:
Daunan kemilau bersama merah warna tepi.
Alangkah tentram dunia dan damai bernafas lega
Hanya lonceng-malam berklenengan dari jauh,
Melembut melodis, seperti suara dari surge,
Dari sekuntum bintang, ajaib dan tinggi.
By: SANDOR PETOPI
Padang-padang liar Hongaria
Dalam gemulut rumputan merancah kakiku,
Padang-padang meliar, jerit gagak membiar-
Sambutan suram ini tidak asing bagiku:
Begitu gelagatnya gurun negeri meniar.
Tanah pupuk yang kudus dengan kening kucecah,
Dibawahnya cacing-cacing pasti mengerat_
Duri-duri terkutuk! Semak-semak keparat!
Apa enggan sekuntum kembang tampil ke-caya?
Lintas jarring yang jahat melata itu,
Aku mau danger semangat bumi yang lena.
Lalu mewangi kembali dan mempesona daku;
Kembang kemaren, dari luruhan k’lopaknya.
Diam di sekitar. Siuran sayur yang melitar,
Membelit daku, menutup, lalu menidirkan. . . .
Sedesau angin lewat dengan tawa bergegar
Lintas gurun yang mendesak batas pandangan.
By: ENDRE ADY
Darah dan emas
Bagi telingaku tiada bedanya,
Apa sedih membelalak, atau berahi mengerang’
Darah mengalir atau emas gemerincing.
Aku tahu dan tetap memegang: hanya segitu
Dan percuma harta benda selebihnya
Emas dan darah, emas dan darah
Semuanya fana dan semua berlalu
Pangkat, ganjaran, keharuman nama
Yang tetap hidup: emaas dan darah
Bangsa-babgsa penyap dan bangun lagi
Tapi, seperti aku: kudus, adalah perwira
Yang tetap menganut: emas dan darah.
By: ENDRE ADY
Dengan hati suci
Aku tak lagi punya papa atau ibu,
Tuhan ataupun tanah air,
Buayan ataupun kain kafan,
Ciuman ataupun kekasih.
Telah hari ketiga aku tak makan
Tidak banyak dan juga tidak sedikit.
Usia duapuluh, itulah megahku,
Duapuluh tahun ku tawarkan dikau.
Andai tak ada yang mau nerima,
Setan pasti dating memborong.
Dengan hati suci akupun merompak,
Dak kalau perlu, orang kubunuh.
Orang ‘kan tangkap dan gantung aku,
Mengubur daku di tanah suci,
Tapi rumput beracun segera tumbuh
Dari hatiku yang tetap suci.
By: ATILLA JOZSEF
Musim gugur
Malam perak bangun di tengah dingin yang sedap;
Swara gadis-gadis dilemparkannya kepada angin.
Sabit dari bulan membungkuk untuk mengusap
Rambut yang ditaburi gelap dengan sedikit embun,
Ombak yang kecimpung, swara-swara dalam gelita,
Suatu baying tercurah di balik tabir cahaya,
Suatu cermin, pada mukanya musim gugur seakan
Menafaskan abu-abu perak dari mimpi-mimpiku.
By: JOSEF HORA
Stare zeny (fragmen-fragmen)
Sore-sore minggu yang sendu
Disayukan perempuan tua
Melenggok ke jendela
Lewat kelusuhan
Atas kelusuhan ambal
Antara meja dan ranjang
Cermin dan foto
Kursi dan palma titeron
Bersandar kerangka di jendela
Mereka nanapi jalan raya
Dari itulah kesia-siaan
Sore-sore minggu
Mata dari perempuan-perempuan tua
Tiada berlinang dan segan-segan
Cemas dan lembut
Mata terpaku pada ujung
Buah sonder biji
Talam sonder atalan
Ruang ruang kelemahan
Fragmen-fragmen music tua
Sumur-sumur berisi lumpur
Genangan air sonder pembayangan
Perempuan-perempuan tua tersandung ke dalam kematian
Dan perhentian yang telah begitu sedikit
Sepanjang jalan-jalan yang dikenal
Hanya debu-debu atas sulaman
Ujung ambal yang melekuk
Rimah yang jatuh
Segala itu perhentian-perhentian
Tangan-tangan erempuan-perempuan tua
Lupa sekarang mengelus tengkuk laki-laki
Rambut kanak-kanak
Hanya cukup kuat
Untuk pengikat selampai
Penghapus air mata
Rambut-rambut perempuan-perempuan tua
Tiada ia beroleh belaian angin
Tiada yang sembunyikan wajahnya
Tiada yang membasahi bibirnya
Dalam embun bereka
Tiada kain buat ketelanjangan siapapun juga
Hanya satu lengkuk kecil
Dapat dibuat dari itu
Sore-sore minggu yang mati
Sedih karena wajah perempuan-perempuan tua
Di mana hanya terbayang
Kebosanan dan penyakit
Tiada kenangan, tiada renungan
Tiad kerinduan, tiada harapan
Hanya cacing ketiduran
Oh sore-sore minggu yang sedih
Atas kuburan perempuan-perempuan tua
By: FRANTISEK HALAS
Telah saatnya
Katubkan bibirmu keduanya, diam dan tegas.
Nyaris kikis percaya kami dan dari dunia
Kami dipisah oleh impian lembut-bercampur-manis-
Tiap kata kami mesti berakhir dalam madu membius.
Dalam xaman kabur ini, penuh bimbang dan ragu,
Kerap nian dengan kata-kata hidup kami ditembus.
hanya jika bergumuruh jatuh menimpa:
kesal khalayak yang numpuk meninggi gemintang
dan seluruh bangsaku malang berkubur di awahnya
By: FRANTISEK HALLAS
Kenyataan-kenyataan
Kalian lihat surga bergumul dengan kabut
Rumput merah
Jaring lawa digantung embun
Ulat dan kutu jauh dari bumi
Gerbong-gerbong bermuat umbi
Jika kereta di gerakkan ke sana
Dan orang banyak gemetar dikesunyian kampung
Intip kalianlah udara musim rontok keanak-anakan
Prempuan yang dating
Menempuh hujan mengguntur
Kalian lihat angkutan tentara melewati
Burung gagak dipemandangan sedih
Segala ini
Tetapi juga kita lihat ikan-ikan di kolam renang
Labah-labah dalam hati kanak-kanak
Tabung-waktu berisi semut
kita lihat ketumbuhan gunung
dan kehancurannya jadi debu kabut
dari mana Kristal-kristal burung
dan abat pertengahan dengan gerobak dan khadam
dengan uap darah kuda dan api kasar
dan akhirnya kita sampai nun di bumi Moravia
rule de la paix
di mana kaca-toko menyala
dengan keharuman-damai minyak-wangi Gemey
By: LUDOVIC KUNDERA
Kantilena dari dendam
Hari baru senja, telah mersik jari-jari berambut pada tangan hitam
Dan dibawah bulan-kuda merah-pucat kedengaran keluhan,
Kaena segala di sini dusta – juga lilin-lilin yang kedip-kedip makin lama makin suram
Dan patung-patung suci, yang pucat, termangu kering dan tiada nafsu.
Juga dusta di sini setangkai kembsng cantik, yang mengenjang segala dengan kewangian,
Bulan, yang lesu mengira menyalakan mimpi,
Jari-jari berambut, berpeluh karena tiada di gerak-gerakkan pada tangan hitam
Dan di atas segalanya berdusta di sini bulan yang mengeluh dan menangis.
Maka matilah karena lesu bulan, yang begitu lama dan iseng mengintip dan meratap
Beragam ngeri: maka menyala api dalam tangan dan jari-jari kurus berambut- yang lebih dusta dari yang lain-
Sekarang menjangkau yang lembut sepanjang dinding kelam makin tinggi
Menjangkau dan merayap pita-pita dari regin dan meraba-raba dan
Mencari sampai ketekanan-tekanan
Lalu memainkan lagu mual, sebuah senandung, yang akhirnya karam dalam sedih-sendu
By: KAREL HLAVACEK
Samar senja
Surya meredup bagai sekuntum mawar layu,
Kepala terkulai, lesu, seakan dalam mimpi,
Dan kelopak emasnya mengoraklah pelahan:
Daunan kemilau bersama merah warna tepi.
Alangkah tentram dunia dan damai bernafas lega
Hanya lonceng-malam berklenengan dari jauh,
Melembut melodis, seperti suara dari surge,
Dari sekuntum bintang, ajaib dan tinggi.
By: SANDOR PETOPI
Padang-padang liar Hongaria
Dalam gemulut rumputan merancah kakiku,
Padang-padang meliar, jerit gagak membiar-
Sambutan suram ini tidak asing bagiku:
Begitu gelagatnya gurun negeri meniar.
Tanah pupuk yang kudus dengan kening kucecah,
Dibawahnya cacing-cacing pasti mengerat_
Duri-duri terkutuk! Semak-semak keparat!
Apa enggan sekuntum kembang tampil ke-caya?
Lintas jarring yang jahat melata itu,
Aku mau danger semangat bumi yang lena.
Lalu mewangi kembali dan mempesona daku;
Kembang kemaren, dari luruhan k’lopaknya.
Diam di sekitar. Siuran sayur yang melitar,
Membelit daku, menutup, lalu menidirkan. . . .
Sedesau angin lewat dengan tawa bergegar
Lintas gurun yang mendesak batas pandangan.
By: ENDRE ADY
Darah dan emas
Bagi telingaku tiada bedanya,
Apa sedih membelalak, atau berahi mengerang’
Darah mengalir atau emas gemerincing.
Aku tahu dan tetap memegang: hanya segitu
Dan percuma harta benda selebihnya
Emas dan darah, emas dan darah
Semuanya fana dan semua berlalu
Pangkat, ganjaran, keharuman nama
Yang tetap hidup: emaas dan darah
Bangsa-babgsa penyap dan bangun lagi
Tapi, seperti aku: kudus, adalah perwira
Yang tetap menganut: emas dan darah.
By: ENDRE ADY
Dengan hati suci
Aku tak lagi punya papa atau ibu,
Tuhan ataupun tanah air,
Buayan ataupun kain kafan,
Ciuman ataupun kekasih.
Telah hari ketiga aku tak makan
Tidak banyak dan juga tidak sedikit.
Usia duapuluh, itulah megahku,
Duapuluh tahun ku tawarkan dikau.
Andai tak ada yang mau nerima,
Setan pasti dating memborong.
Dengan hati suci akupun merompak,
Dak kalau perlu, orang kubunuh.
Orang ‘kan tangkap dan gantung aku,
Mengubur daku di tanah suci,
Tapi rumput beracun segera tumbuh
Dari hatiku yang tetap suci.
By: ATILLA JOZSEF
Musim gugur
Malam perak bangun di tengah dingin yang sedap;
Swara gadis-gadis dilemparkannya kepada angin.
Sabit dari bulan membungkuk untuk mengusap
Rambut yang ditaburi gelap dengan sedikit embun,
Ombak yang kecimpung, swara-swara dalam gelita,
Suatu baying tercurah di balik tabir cahaya,
Suatu cermin, pada mukanya musim gugur seakan
Menafaskan abu-abu perak dari mimpi-mimpiku.
By: JOSEF HORA
Stare zeny (fragmen-fragmen)
Sore-sore minggu yang sendu
Disayukan perempuan tua
Melenggok ke jendela
Lewat kelusuhan
Atas kelusuhan ambal
Antara meja dan ranjang
Cermin dan foto
Kursi dan palma titeron
Bersandar kerangka di jendela
Mereka nanapi jalan raya
Dari itulah kesia-siaan
Sore-sore minggu
Mata dari perempuan-perempuan tua
Tiada berlinang dan segan-segan
Cemas dan lembut
Mata terpaku pada ujung
Buah sonder biji
Talam sonder atalan
Ruang ruang kelemahan
Fragmen-fragmen music tua
Sumur-sumur berisi lumpur
Genangan air sonder pembayangan
Perempuan-perempuan tua tersandung ke dalam kematian
Dan perhentian yang telah begitu sedikit
Sepanjang jalan-jalan yang dikenal
Hanya debu-debu atas sulaman
Ujung ambal yang melekuk
Rimah yang jatuh
Segala itu perhentian-perhentian
Tangan-tangan erempuan-perempuan tua
Lupa sekarang mengelus tengkuk laki-laki
Rambut kanak-kanak
Hanya cukup kuat
Untuk pengikat selampai
Penghapus air mata
Rambut-rambut perempuan-perempuan tua
Tiada ia beroleh belaian angin
Tiada yang sembunyikan wajahnya
Tiada yang membasahi bibirnya
Dalam embun bereka
Tiada kain buat ketelanjangan siapapun juga
Hanya satu lengkuk kecil
Dapat dibuat dari itu
Sore-sore minggu yang mati
Sedih karena wajah perempuan-perempuan tua
Di mana hanya terbayang
Kebosanan dan penyakit
Tiada kenangan, tiada renungan
Tiad kerinduan, tiada harapan
Hanya cacing ketiduran
Oh sore-sore minggu yang sedih
Atas kuburan perempuan-perempuan tua
By: FRANTISEK HALAS
Telah saatnya
Katubkan bibirmu keduanya, diam dan tegas.
Nyaris kikis percaya kami dan dari dunia
Kami dipisah oleh impian lembut-bercampur-manis-
Tiap kata kami mesti berakhir dalam madu membius.
Dalam xaman kabur ini, penuh bimbang dan ragu,
Kerap nian dengan kata-kata hidup kami ditembus.
hanya jika bergumuruh jatuh menimpa:
kesal khalayak yang numpuk meninggi gemintang
dan seluruh bangsaku malang berkubur di awahnya
By: FRANTISEK HALLAS
Kenyataan-kenyataan
Kalian lihat surga bergumul dengan kabut
Rumput merah
Jaring lawa digantung embun
Ulat dan kutu jauh dari bumi
Gerbong-gerbong bermuat umbi
Jika kereta di gerakkan ke sana
Dan orang banyak gemetar dikesunyian kampung
Intip kalianlah udara musim rontok keanak-anakan
Prempuan yang dating
Menempuh hujan mengguntur
Kalian lihat angkutan tentara melewati
Burung gagak dipemandangan sedih
Segala ini
Tetapi juga kita lihat ikan-ikan di kolam renang
Labah-labah dalam hati kanak-kanak
Tabung-waktu berisi semut
kita lihat ketumbuhan gunung
dan kehancurannya jadi debu kabut
dari mana Kristal-kristal burung
dan abat pertengahan dengan gerobak dan khadam
dengan uap darah kuda dan api kasar
dan akhirnya kita sampai nun di bumi Moravia
rule de la paix
di mana kaca-toko menyala
dengan keharuman-damai minyak-wangi Gemey
By: LUDOVIC KUNDERA
Kantilena dari dendam
Hari baru senja, telah mersik jari-jari berambut pada tangan hitam
Dan dibawah bulan-kuda merah-pucat kedengaran keluhan,
Kaena segala di sini dusta – juga lilin-lilin yang kedip-kedip makin lama makin suram
Dan patung-patung suci, yang pucat, termangu kering dan tiada nafsu.
Juga dusta di sini setangkai kembsng cantik, yang mengenjang segala dengan kewangian,
Bulan, yang lesu mengira menyalakan mimpi,
Jari-jari berambut, berpeluh karena tiada di gerak-gerakkan pada tangan hitam
Dan di atas segalanya berdusta di sini bulan yang mengeluh dan menangis.
Maka matilah karena lesu bulan, yang begitu lama dan iseng mengintip dan meratap
Beragam ngeri: maka menyala api dalam tangan dan jari-jari kurus berambut- yang lebih dusta dari yang lain-
Sekarang menjangkau yang lembut sepanjang dinding kelam makin tinggi
Menjangkau dan merayap pita-pita dari regin dan meraba-raba dan
Mencari sampai ketekanan-tekanan
Lalu memainkan lagu mual, sebuah senandung, yang akhirnya karam dalam sedih-sendu
By: KAREL HLAVACEK
Advertisement