TAK ADA APA – APA DI SINI

TAK ADA APA – APA DI SINI

TAK ADA APA – APA DI SINI

Tak da apa-apa di sini
Berdiri di simpang empat
Sambil mendengarkan tembang – tembang jawa
Akau merasakan darahku sendiri
Berpendar – pendar dalam musik elektronik

Dan urat – urat syarafku
Meneriakkan kesunyian
Dengan gemur yang seru.
Dunia mengeluh
Aku mendengarkan keluhannya
Namun yang aku tak habis ngerti
Kenapa keluh itu memenuhi mulutku.

( wah.
Tiada ku sanggup membenci dunia
Dengan alasan yang sama
Kenapa aku mencintai dia)

Dan sekarang kutunggu matahari
Seperti nenek moyangku
Menjongkok kedinginan sekitar api
Menggelepar

Nyoba ngarang tembang_
Bagai robot
Aku pun menunggu
Lebih lesu
Tahu siang tak lebih manis dari malam yang mesum

MAHARI YANG TERTEGUN

Matahari yang tertegun
Meili tua yang tertatih-tatiih
Serta bunga- bunga kuning yang bertaburan
Angin mengusik rambutnya yang putih
Seraya ramah senyumnya
Selamat sore kerabat
Seorang anak-anak
Melompat semak – semak
Sambil berteriak:
Jiiiiiiat

Si tua tersenyum

Tertatih – tatih

Dan tersenyum

Bunga- bunga kuning-

Kupu-kupu dalam angin-

Matahari senja-

Talam emas dari langit-

Semua tertegun dan

Tertatih- tatih

Dan wah

Demontrasi besar itu disana!

GENERASI DEMI GENERASI

Orang – orang itu berjalan dari timur

Menempuh angin yang menderu dalam debu

Dan di pundak mereka:

Kayu,besi serta batu

Mereka adalah umat

Yang berjalan ke barat

Ketika matahari

Mengambang di belakang.

Orang-orang itu berjalan dari timur

Angin pun menderu dalam debu

Dan dalam batin mereka:

Beribu – ribu sistem yang meruwet

Dan meruwet

Sampai akhirnya matahari

Menggantukan ke barat

Mereka tetap bergerak

Tidak ke timur

Tidak ke barat
Read More
SEPASANG DAUN – DAUNAN

SEPASANG DAUN – DAUNAN

SEPASANG DAUN – DAUNAN

Sepaang daun- daunan

Jatuh dari tangkainya

Merekalah kupu- kupu

Dalam jiwaku

Angin pagi beku

Udara bahkan ruang

Serta rasa – rasaya

Tak perlu lagi mendongeng:

Tentang tiang- tiang baja

Yang tegak di mataku,

Suara – suara mesin

Yang gemuruh ditelingaku

Wai. Ai.

Udara pagi beku

Biru bahkan menyusup ke jiwa

Sepasang daun – daunan

Jatuh dari tangkainya.

Merekalah kupu – kupu

Dalam hidupku.

MIMPI JOSZEF DI GURUN

Genderang kaum liliput akan dipukul

Hai para Gulliver. Bangunlah!

Timpani itu adalah kelloneng lonceng – lonceng sorgawi

Nyrnyakkan tidur kau malam ini?

Semua memang mengharukan

Seruling para liliput

Seruling daun- daunan pimping

Angin pengunungan yang sepoi

Dan memabukkan

Seraya katanya selalu

Sudah nyenyakan tidur kau malam ini?

Kemerasak hujan pada dedaunan

Derap kuda para liliput

Serta pekik perang mereka,

- alangkah dunginnya pagi

Betulkah selimut kau kini.

Begitupun dalam nyala revolusi

Jangan terlalu tidak peduli

Menanggapi genderang liliput

Yang meninabobokan kita

- Sekal nanti ia akan meledak

Dan mimpi-mimpi akan menyatu

Dalam kejutan

Nasib


Read More
AKU ORANG TROPIK SEKARANG

AKU ORANG TROPIK SEKARANG

AKU ORANG TROPIK SEKARANG

Kita harus mencintai matahari sekarang

Tomat – tomat yang merah

Kelinc – kelinci

Serta mata Aini yang manis

Setelah turun – temurun kulit kita coklat

Kita jadi bersikap negatif terhadap matahari

Ia telah terlalu memanjakan kita, kata Andrea

Membuatkan kita tanah – tanah yang subur dengan hujan

Dan membikin kita jadi suka nganggur :

Padi – padi alam

Sapi –sapi di padang

Sekarang kita harus mencintai matahari

Dengan cara kita sendiri tapi

Kita telah terlalu lekat dengan malam

Serta memabukkan diri dalam sejuknya

Padahal terhadap orang – orang kulit putih dari Eropa

Kita toh melirikkan mata

Kita harus berhasil membuat alat- alt dapur, mesin tenun

Yang digerakkan denan matahari

Untuk memenuhi kebutuhan – kebutuhan kita,

Di samping unit- init nuclear

Untuk memenuhi hasrat berpengetahuan kita

Tetapi toh jangan berkata:

Kita ganti saja matahari

Dengan satelit – sateli dan sinar- sinar ultra-

Supaya siang tiada terik,

Dan kulit kita jadi putih,

Da kita jadi makin ekatan bekerja

Sejarah generasi sekarang

Tidak sudi lagi mimpi- mimpi beginian

Karena itulah justru asalah terbesar negeri ini

Kita harus mencintai matahari sekarang

Dengan keharusan sejarah, dalam kodrat

Karena generasi demi generasi toh bangun olehnya

TLAH MENYELINAP KECEMASAN

Tlah menyelinap kecemasan

Diantara gerbong- gerbong tua

Dan pohonan kenari yang perkasa

- Sebuah malam dengan gerimis

Serta lampu yang temaram

Batang – batan lindap

- Kecemasan bagai bayang – bayang menyelinap

- Hei, siapa yang bersembunyi disitu?

Gerimis dalam malam biru

Riwis di jiwaku

Kecemasan macam apa pula

Yang merebak dalam batinku?

Kesangsian akan akhlak

Dalam ekonmi yang runyam ini

Lenyap, ke mana?

Tapi enapa benar

Kecemasan itu

Mesti menyelinap pula dalam diriku

Wahai, tanganku melambai, menggapai

Tak berdaya kepa – Mu

ABSRAKSI MAINAN LAKI- LAKI

Batang – batang baja yang kukuh meninggi

Dalam wujud menara – menara televisi

Para serdadu itu menderap dalam mars kemenangan

- Revolusi ini berubah jadi medan peperangan

Tetapi pun daunnya yang jatuh

Atau kucing yang kedinginan

Maka begitulah sesungguhnya kami ini

Dalam deru semangat

Dalam pikiran – pikiran cemerlang

Dalam perasaan – perasaan tulus

Seia dalam semua persoaln

- Bernyanyi waktu perang menjelang.

Tiada lagi kami biarkan

Tangan – tangan jahat yang perkasa

Menulikan kami akan lonceng – lonceng surgawi

Sebab memang begitlah sesungguhnya kami ini.
Read More
MAKAN MALAM 20 TAHUN YANG LALU

MAKAN MALAM 20 TAHUN YANG LALU

MAKAN MALAM 20 TAHUN YANG LALU
Daun - daun anggur
Keremangan malam
Serta bulan
Begitu mantap mereka
Menggelarkan jari – jari yang semampai
bermain – bermain dengan sendok dan garpu
terjatuhlah kenangan
pada keinginan
dan kenyataan.
Bersama angin
Dan lapar
Menderas tanda tanya.
Wai. Jari-jari yang semampei
Wai, mulut-mulut laper yang bernafsu
Tubuh yang kurus
Dan kerja paksa
Bermain-main dalam istirahat
Sejenak
Mati dan hidup
Bergerak menjadi satu.

NOSTALGIA DUA ORANG TUA
Tanah kami yang ramah dan santun, daun- daun asam serta batang – batang kenari
2 orang suami istri yang berjalan – jalan itu berbincang – bincang
-Bukankah memang begini akhirnya Albert;
Kau tua, dan saua pun
Aini mensirig- sirigkan kakinya
( serasa terdengar dalam abstaksi yang menjauh para pemain kuda kepang berteriak sekuat kuatnya: jreg jreg nong nog, jreg – jreg gung)
Kaihanilah aku karena kau baik, dan kasih baik
Seraya aku pun takkan berhenti berusaha
Untuk berhak mendapatkan kasihmu
2 orang suam istri yang berjalan – jalan itu berbincang- bincang
- Bukankah begini akhirnya Aini,
Nasib kkita tersangkut pada jaringan kawat baja
Albelt mengetuk – ngetuk tongkatnya
( seraya terdengar dalam abstraksi yang menjauh para kanak – kanak
Mempermainkan orang – orang tua:
Mur mek mur ma, mur mek mur ma )
- Masih juga kita berbincang – bincang tentang cinta
disamping filsafat yang menarik perhatian kita tahukah kau , kenapa?
Maka nyanyian pimping- pimping ilalang,
Maka nyanyian puing – puing bangunan:
Ada apa dengan republik kita, sayang
Aduh yang tentram biarlah tenteram
Saat memang tak baik dan terharu
Tetapi toh baiknya memang tak terharu sekarang
Sayang, sayang
Puputan pimpinan ilalang
Anak – anak saja
Anak – anak selalu
Yang bermain
Dengan angan – angan

Jam berdentang 12 kali
Albert mengeluh panjang :
- Telah larut malam.
Serta ditelannya suap terakhir makam malamnya

Jam berdentang 12 kali
- Telah larut malam
Tapi toh tak tak berlalu larut benar
Aneh
Tuhan
Apa saja yang terjadi di tanah air sekarang?

Read More
Puisi Perahu Layar

Puisi Perahu Layar

PERAHU LAYAR

Kembang layar,kembang
Sibak air, ukir wajah laut
Kembag layar, kembang
Tabur angin,renangi langit
Pada nelayan aku beteriak lantang;
Ai abang abang
Pasang layarabang,pasang layar
Lalau hati meronta berdoa pada Tuhan;
O Tuhan ,bawalah manusia ini ke padang juang
Bawalah manusia ini ke taburan ikan
Biar hati beriak menyusuri kehidupan

Lalu dengan alum aku pun menembang
Kembang layar, kembang
Laju ke ujung bumi ,batas langit dan laut.

KISAH DI PERBUKITAN
Musim hujan sudah datang
Tandanya pohon panili mulai berbunga
-hei, gadis pemetik panili
Sedeng apa kau gerimis-gerimis begini?
: kami sedang mengawinkan kembang panili abang
Ciumlah (duilah) betapa wanginya
-aahh, begitu ngaya kau anak tani
Biar serangga kerjakan ini
: kita harus kerja abang
Lihatlah betapa bapa menanam
Dan emak memelihara pohonnya
Aku yang mula-mula cekeke-cekeke
Jadi kecut dan nelangsa;
Wahe betapa berat kerja dalam angin sedigin ini.
-berteduh sajahlah nak. Biar terindar dari sakit !
Jadilah aku menggigl beku di dangu
Di antara gerimis riwis dan perenjak yang mengiggau
Panjang-panjang
-o, anak kota yang malang
Hidupmu bagai mimpi sayang
Berkerja buat diri kok mengeluh takut mati
Hi hi hi
Read More