10 Puisi Chairil Anwar Bag 3

10 Puisi Chairil Anwar Bag 3

 10 Puisi Chairil Anwar Bag 3 Adalah kelanjutan dari 10 Puisi Chairil Anwar dan 10 Puisi Chairil Anwar Bag 2
Sang cucu, remaja pewaris mata merah,
jadi berlari lagi ke dapur belakang dan dapat
menyaksikan:

Di sana, depan dapur di pekarangan belakang,
dekat sumur tua dan di bawah pohon mangga
yang sekarang sudah menjadi besar tinggi dan
rimbun,
sang ibu tersedu sendiri
teramat sedih
dan sunyi!

Maka tak tersisa lagi bekas-bekas kemenangan
yang barusan diraihnya,
juga tidak tersisa kegembiraan bekas mengecup
putri paling cantik tadi.
Anak yang sedang remaja itu terkulai di tiang
pintu dapur yang lebar-lebar terbuka.
Di wajahnya bermukim kegelisahan dan dendam
yang sangat terhadap ayahnya!

Ombak Laut Cina Selatan
menghantam butiran sebuah kapal pasasi
dengan bengisnya.
Di atas geladak mana, berdiri sang remaja kita.
Dia tidak peduli pada hempasan ombak yang
sampai menampar muka dan badannya.
Tidak peduli juga pada badai angin yang
mengais-ngais rambutnya.
Wajah remaja itu dengan serta-merta menjadi
dewasa menghadapi ombak dan badai lautan,
ombak dan badai dirinya sendiri.
Dia bahkan menolak ajakan sang Ibu
yang mengikutinya, ketika yang terakhir ini
mengajaknya masuk dalam kabin:


"Biarkan aku sendiri, Ibu," katanya
kepada Ibunya. "Yang ini bukan apa-apa,
karena aku tahu, aku masih akan
menghadapi gelombang dan badai yang
seribu kali lebih besar. Dan mungkin...
sejuta kali juga lebih sunyi!"

Dan gelombang merah-putih di Lapangan Ikada
semakin membusa diiringi oleh sejuta suara
orang yang mulai menyanyikan lagu:
“Dari Barat sampai ke Timur, berjajar pulau-
Pulau!”
Sementara kaki-kaki tanpa alas,
kaki-kaki bersepatu,
atau mereka yang mengenakan dasi,
terus juga mengalir memasuki-lapangan.
Dan bayonet-bayonet telanjang pasukan Jepang
makin juga merapatkan barisan.

 Wajah gelisah
dari lelaki bermata merah
masih juga berjalan di atas rel kereta.
Beberapa kali kakinya terantuk
bantalan-bantalan rel kereta,
tak dihiraukan.
Matanya tetap memandang ke depan
seolah sedang memperhatikan
perjalanan nasibnya sendiri
yang tidak karuan...

Di teras sebuah lobi hotel di Jakarta,
sebuah ensamble musik kamar
memainkan lagu-lagu romantis zaman sebelum perang
Semua orang berpakaian lengkap melulu
berdansa di sana.
Banyak tuan dan nona bangsa Belanda,
ada juga kadet-kadet calon perwira.
Tidak dinyana,
anak telengas yang sudah sama sekali dewasa,
atau Chairil namanya,
ada juga di sana!
Dan berdansa!
Lerigkap dengan celana flanel hitam, jas putih,
dan dasi kupu-kupu di lehernya!
Gagah sekali dia jadinya,
dan sang partner berdansa adalah seorang
gadis berdarah Belanda yang tidak kalah
cantiknya!

Namun betapapun santai dan syahdunya suasar
satu hal yang kentara tak dapat dihapus
pada mata dan wajah anak yang sudah dewasa ini
adalah bahwa itu mata atau wajah anak yang
terus gelisah.

Musik belum berhenti
ketika anak yang sudah dewasa itu menarik Corrie,
sang partner, ke luar.

Di pinggir pohon palem yang rindang,
dikecupnya Corrie berulang kali
sambil tetap tak dapat menyembunyikan
gelisah hatinya.
Hal mana membuat Corrie jadi bertanya :
"Ada apa? Bukan dansa belum lagi
usai?"
Dan Chairil menjawab sekenanya:
"Ibu sendirian di rumah!"

Dengan itu ditinggalkannya sang gadis, membuat
yang terakhir ini jadi bertanya-tanya sendiri.

26. Jam dinding berdentang satu kali.
Ibu yang sendiri terbangun dari tidurnya,
dan menemukan tempat tidur anaknya
masih kosong.

Ibu jadi mengambil selendang hangat
dan menutupi punggungnya.
Dengan itu dia lantas jalan ke luar rumah,
duduk termangu di depan
menanti anaknya.

 Ibu sudah terlena di luar,
ketika pulanglah dia si anak hilang.
Chairil membangunkan ibunya
dan membimbingnya masuk.

Chairil memasuki kamar,
sesudah menidurkan kembali ibunya.
Sebuah kamar sempit yang dipenuhi buku
di atas meja, di lemari, di atas kasur,
di mana-mana!
Dibukanya segera jas dan dasinya,
sesudah itu anak ini tenggelam dalam membaca,
sampai fajar tiba!

Ketika kemudian suara adzan terdengar
dan Ibu selesai mengambil "subuh",
ibu ini bahkan masih mendengar
anaknya membacakan sebuah sajak kepunyaan
Marsmann dalam bahasa Jerman yang sangat asing.
Namun menyentuh juga bunyi yang asing itu
di telinganya.
Semacam sajak yang penuh derita,
yang bercerita tentang maut dan kematian yang
sunyi.

Sang anak terkejut melihat Ibu
berdiri depan pintu kamarnya.
Ibu yang terus maju menggapai kepalanya
dan mengkais-kais rambutnya.
Ibu yang lantas juga bicara:
"Ayahmu sudah enam bulan tidak
mengirim belanja untuk kita...!"

Betapa tiba-tiba wajah sang anak menjadi berubah.
Mata yang memang selalu merah itu,
betapa menjadi bertambah merah.
Bibir itu juga gemetar seperti mengucapkan sesuatu
yang tidak jelas, tapi penuh kegeraman.

Diraihnya tangan Ibu yang berada di kepalanya,
dikecup, dipeluknya tangan itu,
tapi dia lantas berkata dengan ringannya:

"Ibu masih membekal perhiasan-perhiasan.
Ibu tidak memerlukan itu semua kini.
Jual!"

Maka Ibu nampak jadi menahan sesuatu yang
sangat pedih, dan berkata lag i:
"Sudah terjual semuanya, Nak....
Untuk sewa rumah,
untuk makan,
untuk bayar sekolahmu,
buku-bukumu,
juga dansa-dansa dan kesenangan-
kesenanganmu...
selama ini!"

Sang anak jadi termangu sekarang,
sambil membantingkan buku di tangannya
ke atas meja...

Yang meledak di pantai adalah sebuah bom!
Sesudah itu disusul pendaratan balatentara
Dai Nippon ke Indonesia.
Maka mulailah periode masa pendudukan Jepang
di tanah air



Maka dia sekarang sudah bukan anak lagi,
bukan remaja, juga bukan dewasa.
Dia adalah l e l a k I !

"Bukan main ! Kau pasti senang
mendengarkan yang ini.
Omong kitanya kira-kira begini,
dengarkan Siti :
'Kawan, jika usia kelak meloncer kita sampai habis-habisan,
jika tubuh seluruh, pehong lagi bengkok,
hanya encok tinggal memntu kemudi,
menyerah: Sampai sini sajalah...!'"
"Idih, joroknya!" Marsiti tertawa.
"Terus, kok pake ada pehong segala,
encok, dibawa-bawa sih? Memangnya
boleh syair ngomong yang begituan?"

Lelaki jadi tersenyum simpul memandang Marsiti.
Tapi dia terus mengambi! buku lain dan mulai
membaca lagi
sambil katanya:
"Baik, baik! Aku pilihkan yang ini,
barangkali kau akan jadi senang.
Yang ini tidak pake 'encok' atau 'yang
jorok-jorok' itu.
Nah, dengar:
'Dara, dara yang sendiri
berani mengembara
mencari di pantai senja.
Dara, ayo pulang saja, Dara!'"

Marsiti toh masih menyela, katanya bertanya:
"Lho, pulang ke mana?"

Lelaki tidak peduli.

Dengan isyarat tangan dia meminta Marsiti
berdiam diri,
dan dia terus membaca:

"'Tidak, aku tidak mau!
Biar angin malam menderu
Menyapu pasir, menyapu gelombang
Dan sejenakpula harus menyisir rambutku
Aku mengembara sampai menemu.

Dara, rambutkii lepas terurai
Apa yang kau cari,
Di laut dingin di asing pantai,
Dara, pulang! Pulang!'"


Leiaki menutup buku memandang Marsiti,
seolah mau mengetahui persepsi
perempuan jelata ini.
Marsiti tersipu, seperti anak perawan yang
mendapat puji. Marsiti merasa, sajak itu seolah ditujukan
kepadanya.
Maka dia menjadi genit dan memanja.
Sang lelaki lantas kembali tanya:

"Bagaimana, syair yang bagus bukan?"

Marsiti masih memanja:
"Yang ini bagus sekali. Kedengarannya
enak. Tapi Siti bukan dara lagi, 'kan, Bang.
Abang tau, Siti diketawain anak-anak di
sini, waktu bilang, Abang seorang tukang
sa'ir! Mereka tanya: 'Apaan itu tukang sa'ir?
Namanya siapa dia? Bapaknya siapa? Siapa
sih nama Abang? Boleh tau, 'kan?"

Dan lelaki itu seenaknya menjawab:

"Boleh! Namaku... AKU!"
"Aku? Kok 'Aku', sih? Terus nama
bapaknya siapa?"
"Atang!"
"Lho, si Atang yang tinggal di Kalipasir itu?"
"Ah, bukan, dia tinggal di Medan!"
"Jadi lengkapnya nama itu,
'Aku... bin... Atang'!"

Marsiti jadi pelan-pelan mengulanginya:

"Aku bin Atang"?

Marsiti tertawa. Terlalu sekali tertawa ini, sambil
dia memegangi
perutnya yang terbuka dan mulai berkilat karena
gendutnya.
Lelaki mengusap perut itu dan terlena di atasnya.
Read More