10 Puisi Chairil Anwar
Bisnis Investasi
Sabtu, 28 April 1984
Puisi Agama,
Puisi Chairil Anwar,
Puisi Gaul,
Puisi Humor,
Puisi Keluarga,
Puisi Lingkungan,
Puisi Pendidikan,
Puisi Politik,
Puisi Terbaru,
Top 10,
Top Puisi
Edit
Berikut ini adalah Daftar 10 puisi karya chairil anwar , sastrawan indonesia angkatan
26 juli 1922 sampai 28 april 1949 , banyak sekali karya puisi dari chairil anwar , berikut ini 10 Puisi Chairil Anwar :
“Bom atom pertama meledak di kota Hiroshima
Langit berselaput awan cendawan berbisa.
Ketika memburai awan ini, bumi laksana
ditimpa hujan salju yang ganas.
Gedung-gedung beton runtuh.
Aspal-aspal jalan terbakar menyala.
Bumi retak-retak berdebu, di segala penjuru.
Dan beribu tubuh manusia meleleh, tewas atau
terluka.
Seekor kuda paling binal,
berbulu putih dan berambut kuduk tergerai,
berlari di pusat kota,
Jakarta!
Tidak peduli pada yang ada,
sekelilingnya,
juga tidak pada manusia.
Dia meringkik alangkah dahsyatnya,
menapak dan menyepak alangkah merdekanya.
Dunia ini,
seolah cuma menjadi miliknya!
Dan sekaligus seolah dia bicara:
kalau sampai waktuku
kumau tak seorang kan merayu
tidak juga kau
tak perlu sedu sedan itu
aku ini binatang jalang
dari kumpulannya terbuang
Gaung suara ini
seolah membelah langit,
membelah bumi. “
Membelah juga rel kereta api
Di pinggi kota
Akornya juga membelah
Peron station yang
Berpagar kawat duri
Tapi sang kuda binal
Melompat tidak peduli
Sepotong ujung kawat duri
Menggores perut
Menggores juga paha
Darah segar menyebut keluar
Membuat noktah-noktah merah
Dibulunya yang putih
Tapi dia Cuma menengadah ke udara
Dan meringkik lagi :
biar peluru menembus kulitku
aku akan meradang menerjang
luka dan bisa kubawa berlari,
berlari
hingga hilang pedih peri…
dan aku akan lebih tidak peduli
aku mau hidup
seribu tahun lagi!
Sampai juga sang kuda melayang
Diatas gerbong kereta dan gubuk – gubuk liar,
Gerbong dan gubuk busuk,
Milik perempuan – perempuan berdaki
Meneteslah darah segar,
ketika kuda melayang di atas sana.
Dan jatuh menimpa
sebuah wajah dari:
Lelaki kurus berambut panjang,
bermata cekung tapi tajam,
berdada telanjang dan kurus bertulang-tulang.
Tapi dialah lelaki resah,
berwajah gelisah dan mata merah.
Lelaki yang baru saja keluar dari pintu reot
sebuah gubuk yang basah.
Lelaki itu terkejut seketika,
memandang langit sambil mengusap mukanya.
Dia cuma menemukan langit kosong
di ujung-ujung atap gubuk yang menyesak.
Langit yang kerut-merut tanpa cahaya.
Sedang di kejauhan,
masih tinggal tersisa
sepotong ringkikan sang kuda:
dan aku akan lebih tidak peduli
aku mau hidup seribu tahun lagi!
Lelaki ini masih tegak di sana
di antara gubuk-gubuk rombeng
dan gerbong-gerbong kereta yang alangkah
mesumnya.
Di atas tanah becek dan bersampah.
Lelaki ini masih menatap langit
seperti semula,
dengan hati masih resah
dan mata merah.
Wajah dan mata yang ini,
tiba-tiba tampil berlipat ganda.
Mula-mula satu,
kemudian dua,
tiga,
sampai menjadi enam memenuhi ruang.
Sesudah itu diam tiba-tiba,
seolah mati,
beku.
Maka pada saat yang ini
timbul di permukaan ruang
sebuah judul:
A K U
Langit pun lantas pelan-pelan
menghitam
gelap di mana-mana.
***
Ketika ruang kembali terang,
ituiah terangnya matahari yang menembus
celah dedaunan.
Embun pagi seolah menguap
di atas jalan-jalan berlumpur, di atas tegalan.
Dan puluhan kaki kasar petani
bergerak sigap ke hilir.
Puluhan kaki petani ini kemudian
berubah menjadi seratus,
seribu,
puluhan, bahkan ratusan ribu.
Di atas rumput,
di aspal tengah kota.
Atau di dalam dan di atas kereta,
sepanjang rel
atau juga di peron-peron stasiun.
Lelaki dan perempuan bergerak
ke arah yang sama.
Berdempal-dempal mereka berdesakan
menjadi satu,
membawa bendera merah dan putih
serta teriak
m e r d e k a !
Di tempat lain,
di atas rel yang lengang terpisah dengan
lainnya,
lelaki telanjang dada dan mata merah basah,
berjalan sendiri dan tetap gelisah.
Matanya nanap gemetar memandang
Jauh ke depan.
Seperti melihat dua jaiur kereta yang
Menyatu ujung-ujungnya di kejauhan,
ujung-ujungnya yang terbias embun
dan seolah gemetar.
Pada saat ini...
Meja makan,
sangat bangsawan!
Porak poranda!
Sepasang suami-istri
duduk makan bersama,
berhadap-hadapan,
porak poranda!
Yang lelaki tinggi lagi besar,
berkumis melintang dan lebat,
bermata bundar, merah menyala,
seperti terwaris pada lelaki kurus
yang telanjang dada.
Alangkah garang dan pemberangnya dia,
walau sangat bangsawan.
Yang perempuan pendek,
walau tidak kalah tambunnya.
Berwajah bundar. seolah lembut,
tapi alangkah kerasnya dia.
Yang lelaki membanting serbet putih di atas meja,
sambil matanya terbuka menyala
dan seluruh kumisnya ikut bergetar
seolah berkata:
"Bi-na-tang kau adanya!"
Yang perempuan diam tidak bicara,
cuma ditariknya taplak meja yang panjang,
juga berwarna putih,
dan binasalah seluruh yang teratur rapi di
atasnya.
Alangkah indahnya...
Porak poranda!
Dan bukan salah anak kecil itu,
anak yang mewarisi mata merah,
kalau telah disaksikannya seluruh peristiwa,
dari balik daun pintu rumahnya
yang setengah terbuka.
Lelaki kecil bermata merah batal pulang
dan lari ke luar.
Seraya diamfailnya sebongkah batu dan
dilemparkannya
ke atas atap rumahnya, anak itu pun jalan
meninggalkannya.
26 juli 1922 sampai 28 april 1949 , banyak sekali karya puisi dari chairil anwar , berikut ini 10 Puisi Chairil Anwar :
“Bom atom pertama meledak di kota Hiroshima
Langit berselaput awan cendawan berbisa.
Ketika memburai awan ini, bumi laksana
ditimpa hujan salju yang ganas.
Gedung-gedung beton runtuh.
Aspal-aspal jalan terbakar menyala.
Bumi retak-retak berdebu, di segala penjuru.
Dan beribu tubuh manusia meleleh, tewas atau
terluka.
Seekor kuda paling binal,
berbulu putih dan berambut kuduk tergerai,
berlari di pusat kota,
Jakarta!
Tidak peduli pada yang ada,
sekelilingnya,
juga tidak pada manusia.
Dia meringkik alangkah dahsyatnya,
menapak dan menyepak alangkah merdekanya.
Dunia ini,
seolah cuma menjadi miliknya!
Dan sekaligus seolah dia bicara:
kalau sampai waktuku
kumau tak seorang kan merayu
tidak juga kau
tak perlu sedu sedan itu
aku ini binatang jalang
dari kumpulannya terbuang
Gaung suara ini
seolah membelah langit,
membelah bumi. “
Membelah juga rel kereta api
Di pinggi kota
Akornya juga membelah
Peron station yang
Berpagar kawat duri
Tapi sang kuda binal
Melompat tidak peduli
Sepotong ujung kawat duri
Menggores perut
Menggores juga paha
Darah segar menyebut keluar
Membuat noktah-noktah merah
Dibulunya yang putih
Tapi dia Cuma menengadah ke udara
Dan meringkik lagi :
biar peluru menembus kulitku
aku akan meradang menerjang
luka dan bisa kubawa berlari,
berlari
hingga hilang pedih peri…
dan aku akan lebih tidak peduli
aku mau hidup
seribu tahun lagi!
Sampai juga sang kuda melayang
Diatas gerbong kereta dan gubuk – gubuk liar,
Gerbong dan gubuk busuk,
Milik perempuan – perempuan berdaki
Meneteslah darah segar,
ketika kuda melayang di atas sana.
Dan jatuh menimpa
sebuah wajah dari:
Lelaki kurus berambut panjang,
bermata cekung tapi tajam,
berdada telanjang dan kurus bertulang-tulang.
Tapi dialah lelaki resah,
berwajah gelisah dan mata merah.
Lelaki yang baru saja keluar dari pintu reot
sebuah gubuk yang basah.
Lelaki itu terkejut seketika,
memandang langit sambil mengusap mukanya.
Dia cuma menemukan langit kosong
di ujung-ujung atap gubuk yang menyesak.
Langit yang kerut-merut tanpa cahaya.
Sedang di kejauhan,
masih tinggal tersisa
sepotong ringkikan sang kuda:
dan aku akan lebih tidak peduli
aku mau hidup seribu tahun lagi!
Lelaki ini masih tegak di sana
di antara gubuk-gubuk rombeng
dan gerbong-gerbong kereta yang alangkah
mesumnya.
Di atas tanah becek dan bersampah.
Lelaki ini masih menatap langit
seperti semula,
dengan hati masih resah
dan mata merah.
Wajah dan mata yang ini,
tiba-tiba tampil berlipat ganda.
Mula-mula satu,
kemudian dua,
tiga,
sampai menjadi enam memenuhi ruang.
Sesudah itu diam tiba-tiba,
seolah mati,
beku.
Maka pada saat yang ini
timbul di permukaan ruang
sebuah judul:
A K U
Langit pun lantas pelan-pelan
menghitam
gelap di mana-mana.
***
Ketika ruang kembali terang,
ituiah terangnya matahari yang menembus
celah dedaunan.
Embun pagi seolah menguap
di atas jalan-jalan berlumpur, di atas tegalan.
Dan puluhan kaki kasar petani
bergerak sigap ke hilir.
Puluhan kaki petani ini kemudian
berubah menjadi seratus,
seribu,
puluhan, bahkan ratusan ribu.
Di atas rumput,
di aspal tengah kota.
Atau di dalam dan di atas kereta,
sepanjang rel
atau juga di peron-peron stasiun.
Lelaki dan perempuan bergerak
ke arah yang sama.
Berdempal-dempal mereka berdesakan
menjadi satu,
membawa bendera merah dan putih
serta teriak
m e r d e k a !
Di tempat lain,
di atas rel yang lengang terpisah dengan
lainnya,
lelaki telanjang dada dan mata merah basah,
berjalan sendiri dan tetap gelisah.
Matanya nanap gemetar memandang
Jauh ke depan.
Seperti melihat dua jaiur kereta yang
Menyatu ujung-ujungnya di kejauhan,
ujung-ujungnya yang terbias embun
dan seolah gemetar.
Pada saat ini...
Meja makan,
sangat bangsawan!
Porak poranda!
Sepasang suami-istri
duduk makan bersama,
berhadap-hadapan,
porak poranda!
Yang lelaki tinggi lagi besar,
berkumis melintang dan lebat,
bermata bundar, merah menyala,
seperti terwaris pada lelaki kurus
yang telanjang dada.
Alangkah garang dan pemberangnya dia,
walau sangat bangsawan.
Yang perempuan pendek,
walau tidak kalah tambunnya.
Berwajah bundar. seolah lembut,
tapi alangkah kerasnya dia.
Yang lelaki membanting serbet putih di atas meja,
sambil matanya terbuka menyala
dan seluruh kumisnya ikut bergetar
seolah berkata:
"Bi-na-tang kau adanya!"
Yang perempuan diam tidak bicara,
cuma ditariknya taplak meja yang panjang,
juga berwarna putih,
dan binasalah seluruh yang teratur rapi di
atasnya.
Alangkah indahnya...
Porak poranda!
Dan bukan salah anak kecil itu,
anak yang mewarisi mata merah,
kalau telah disaksikannya seluruh peristiwa,
dari balik daun pintu rumahnya
yang setengah terbuka.
Lelaki kecil bermata merah batal pulang
dan lari ke luar.
Seraya diamfailnya sebongkah batu dan
dilemparkannya
ke atas atap rumahnya, anak itu pun jalan
meninggalkannya.
Advertisement