TAK ADA APA – APA DI SINI
Jumat, 15 Februari 2013
Puisi Kenangan,
Puisi Pendidikan,
Puisi Perang,
Puisi Perdamaian,
Puisi Politik,
Puisi Renungan
Edit
TAK ADA APA – APA DI SINI
Tak da apa-apa di sini
Berdiri di simpang empat
Sambil mendengarkan tembang – tembang jawa
Akau merasakan darahku sendiri
Berpendar – pendar dalam musik elektronik
Dan urat – urat syarafku
Meneriakkan kesunyian
Dengan gemur yang seru.
Dunia mengeluh
Aku mendengarkan keluhannya
Namun yang aku tak habis ngerti
Kenapa keluh itu memenuhi mulutku.
( wah.
Tiada ku sanggup membenci dunia
Dengan alasan yang sama
Kenapa aku mencintai dia)
Dan sekarang kutunggu matahari
Seperti nenek moyangku
Menjongkok kedinginan sekitar api
Menggelepar
Nyoba ngarang tembang_
Bagai robot
Aku pun menunggu
Lebih lesu
Tahu siang tak lebih manis dari malam yang mesum
MAHARI YANG TERTEGUN
Matahari yang tertegun
Meili tua yang tertatih-tatiih
Serta bunga- bunga kuning yang bertaburan
Angin mengusik rambutnya yang putih
Seraya ramah senyumnya
Selamat sore kerabat
Seorang anak-anak
Melompat semak – semak
Sambil berteriak:
Jiiiiiiat
Si tua tersenyum
Tertatih – tatih
Dan tersenyum
Bunga- bunga kuning-
Kupu-kupu dalam angin-
Matahari senja-
Talam emas dari langit-
Semua tertegun dan
Tertatih- tatih
Dan wah
Demontrasi besar itu disana!
GENERASI DEMI GENERASI
Orang – orang itu berjalan dari timur
Menempuh angin yang menderu dalam debu
Dan di pundak mereka:
Kayu,besi serta batu
Mereka adalah umat
Yang berjalan ke barat
Ketika matahari
Mengambang di belakang.
Orang-orang itu berjalan dari timur
Angin pun menderu dalam debu
Dan dalam batin mereka:
Beribu – ribu sistem yang meruwet
Dan meruwet
Sampai akhirnya matahari
Menggantukan ke barat
Mereka tetap bergerak
Tidak ke timur
Tidak ke barat
Read More
Tak da apa-apa di sini
Berdiri di simpang empat
Sambil mendengarkan tembang – tembang jawa
Akau merasakan darahku sendiri
Berpendar – pendar dalam musik elektronik
Dan urat – urat syarafku
Meneriakkan kesunyian
Dengan gemur yang seru.
Dunia mengeluh
Aku mendengarkan keluhannya
Namun yang aku tak habis ngerti
Kenapa keluh itu memenuhi mulutku.
( wah.
Tiada ku sanggup membenci dunia
Dengan alasan yang sama
Kenapa aku mencintai dia)
Dan sekarang kutunggu matahari
Seperti nenek moyangku
Menjongkok kedinginan sekitar api
Menggelepar
Nyoba ngarang tembang_
Bagai robot
Aku pun menunggu
Lebih lesu
Tahu siang tak lebih manis dari malam yang mesum
MAHARI YANG TERTEGUN
Matahari yang tertegun
Meili tua yang tertatih-tatiih
Serta bunga- bunga kuning yang bertaburan
Angin mengusik rambutnya yang putih
Seraya ramah senyumnya
Selamat sore kerabat
Seorang anak-anak
Melompat semak – semak
Sambil berteriak:
Jiiiiiiat
Si tua tersenyum
Tertatih – tatih
Dan tersenyum
Bunga- bunga kuning-
Kupu-kupu dalam angin-
Matahari senja-
Talam emas dari langit-
Semua tertegun dan
Tertatih- tatih
Dan wah
Demontrasi besar itu disana!
GENERASI DEMI GENERASI
Orang – orang itu berjalan dari timur
Menempuh angin yang menderu dalam debu
Dan di pundak mereka:
Kayu,besi serta batu
Mereka adalah umat
Yang berjalan ke barat
Ketika matahari
Mengambang di belakang.
Orang-orang itu berjalan dari timur
Angin pun menderu dalam debu
Dan dalam batin mereka:
Beribu – ribu sistem yang meruwet
Dan meruwet
Sampai akhirnya matahari
Menggantukan ke barat
Mereka tetap bergerak
Tidak ke timur
Tidak ke barat