10 Puisi Chairil Anwar Bag 2
Bisnis Investasi
Sabtu, 01 April 2000
Puisi Agama,
Puisi Chairil Anwar,
Puisi Gaul,
Puisi Humor,
Puisi Keluarga,
Puisi Lingkungan,
Puisi Pendidikan,
Puisi Politik,
Puisi Terbaru,
Top 10,
Top Puisi
Edit
Masih dengan karya chairil anwar , sastrawan indonesia terbaik pada jamanya , 10 puisi chairil anwar bag 2 ini , kelanjutan dari postingan 10 Puisi Chairil Anwar
Sampainya...
ke dapur rumah Nenek tercinta.
Dilahapnya seekor anak ayam seutuh-utuhnya,
sambil sang nenek mempesiangi kulit mangga
ranum,
yang juga untuknya!
Mangga ini pun lenyap ke dalam perutnya
tanpa tersisa.
Lelaki kecil bermata merah itu kenyang,
puas dan tertawa,
seraya dilemparkannya biji mangga yang tersisa
itu keluar.
Jatuhnya di halaman belakang Nenekda yang
terbuka,
di balik semak rindang,
dekat sumur bertimba gantung yang juga
sudah tua.
Di pusat kota,
Lapangan Ikada namanya,
sejuta Sang Saka Merah Putih melambai.
Semacam lautan warna merah bercampur putih,
semacam ombak samudra merah dengan buih-
buih putih
bergulung-gemulung menjadi satu,
sedang main kejaran dengan angin.
Sementara ribuan lagi laki-Iaki,
perempuan, dan bendera terus mengalir
memasuki Ikada,
seolah tidak ada putus-putusnya.
Tapi di sebelah lain
melingkar pada jajaran rel kereta dan tanah
lapang,
ribuan juga prajurit-prajurit jaga Jepang
berbanjar
dengan bayonet-bayonet terbuka.
Lelaki pewaris mata merah
dengan dada terbuka dan sudah dewasa,
masih berjalan menyusuri jalan kereta,
sambil mengepit buku di ketiaknya.
Baju yang disandangnya semula sudah
dipakairya,
dan dada itu tidak lagi terbuka.
Namun sang mata masih tetap nanap ke depan,
dan...
Biji mangga tumbuh menjadi umbi
di bawah semak
di dekat sumur tua.
Lelaki kumis melintang di kamar tidur
dengan istrinya.
Kembali tirai-tirai kelambu, lemari kaca,
bantal, guling, kain sarung, jas, porak poranda.
Dan di balik pintu kamar yang sedikit terbuka,
sepasang mata sang anak yang merah
menjadi saksinya!
Umbi biji mangga yang tumbuh,
telah menjadi pohon kecil dekat sumur tua.
Sang nenek memeluk bocah bermata merah
depan pintu dapur rumahnya.
Sebuah smash yang teramat sangat sengit
menghantam bola badminton di lapangan
terbuka,
dipukul seorang anak yang sudah jadi remaja,
remajanya si anak bermata merah saga!
Gadis-gadis gadis remaja di pingggir lapangan
sama berteriak gembira mengelu-elukannya,
tapi lawan yang jauh lebih tua dapat
mengembalikannya.
Remaja mata merah kembalikan lebih sengit bola itu,
namun sang lawan kembali dengan manis
berhasil menahannya.
Remaja menjadi seolah menyala matanya,
gemetar mata serta sekujur tubuhnya.
Remaja yang pantang menyerah dan pantang
putus asa.
Maka sekali lagi bola yang melambung tinggi
sekali ini dengan bengis dihantamnya.
Semacam petit yang cuma sekilas
bola itu jatuh di sisi lavvan tanpa berhasil
ditahannya.
Sang remaja melompat gembira,
sementara remaja-remaja putri bersorak-sorai
menyambut kemenangannya.
Remaja mata merah segera lari ke luar lapangan
langsung mendapatkan putri tercantik yang berada
di sana, bernama Ida.
Putri ini langsung dikecup pada pipinya, mernbuat
orang-orang tua menjadi terkejut meliharnya.
Putri ini bahkan lantas dilarikannya pulang,
meninggalkan semuanya yang jadi cuma
sanggup menggeleng-gelengkan kepala.
Masih dalam sorak-sorak bergembira
Remaja sampat di rumah.
Tidak ditemuinya baik Ibu maupun Ayah.
Remaja jadi kelihatan curiga,
dengan serta merta melesat keluar.
Di sebuah rumah yang lain,
akad nikah baru saja berlangsung.
Dan astaga... sang remaja menyaksikan
sang ayah berkumis melintang
memeluk perempuan lain yang masih muda
ke dalam kamar.
Langit seolah runtuh
di atas kepala remaja bermata merah.
Dia lari
dan lari lagi
seolah mau berpacu dengan angin,
sampai tersungkur kejang dia
di atas pasir, di tepi pantai.
Nenek dan Kakek duduk termangu berdua
di halaman depan tanpa bunyi
ketika cucu kesayangan datang.
Sama halnya dengan sang cucu,
kedua orang tua ini seolah sedang menunjang
beban seberat langit di atasnya.
Keduanya bahkan tidak kuasa membuka suara
ketika sang cucu menanyakan ibunya.
Sampainya...
ke dapur rumah Nenek tercinta.
Dilahapnya seekor anak ayam seutuh-utuhnya,
sambil sang nenek mempesiangi kulit mangga
ranum,
yang juga untuknya!
Mangga ini pun lenyap ke dalam perutnya
tanpa tersisa.
Lelaki kecil bermata merah itu kenyang,
puas dan tertawa,
seraya dilemparkannya biji mangga yang tersisa
itu keluar.
Jatuhnya di halaman belakang Nenekda yang
terbuka,
di balik semak rindang,
dekat sumur bertimba gantung yang juga
sudah tua.
Di pusat kota,
Lapangan Ikada namanya,
sejuta Sang Saka Merah Putih melambai.
Semacam lautan warna merah bercampur putih,
semacam ombak samudra merah dengan buih-
buih putih
bergulung-gemulung menjadi satu,
sedang main kejaran dengan angin.
Sementara ribuan lagi laki-Iaki,
perempuan, dan bendera terus mengalir
memasuki Ikada,
seolah tidak ada putus-putusnya.
Tapi di sebelah lain
melingkar pada jajaran rel kereta dan tanah
lapang,
ribuan juga prajurit-prajurit jaga Jepang
berbanjar
dengan bayonet-bayonet terbuka.
Lelaki pewaris mata merah
dengan dada terbuka dan sudah dewasa,
masih berjalan menyusuri jalan kereta,
sambil mengepit buku di ketiaknya.
Baju yang disandangnya semula sudah
dipakairya,
dan dada itu tidak lagi terbuka.
Namun sang mata masih tetap nanap ke depan,
dan...
Biji mangga tumbuh menjadi umbi
di bawah semak
di dekat sumur tua.
Lelaki kumis melintang di kamar tidur
dengan istrinya.
Kembali tirai-tirai kelambu, lemari kaca,
bantal, guling, kain sarung, jas, porak poranda.
Dan di balik pintu kamar yang sedikit terbuka,
sepasang mata sang anak yang merah
menjadi saksinya!
Umbi biji mangga yang tumbuh,
telah menjadi pohon kecil dekat sumur tua.
Sang nenek memeluk bocah bermata merah
depan pintu dapur rumahnya.
Sebuah smash yang teramat sangat sengit
menghantam bola badminton di lapangan
terbuka,
dipukul seorang anak yang sudah jadi remaja,
remajanya si anak bermata merah saga!
Gadis-gadis gadis remaja di pingggir lapangan
sama berteriak gembira mengelu-elukannya,
tapi lawan yang jauh lebih tua dapat
mengembalikannya.
Remaja mata merah kembalikan lebih sengit bola itu,
namun sang lawan kembali dengan manis
berhasil menahannya.
Remaja menjadi seolah menyala matanya,
gemetar mata serta sekujur tubuhnya.
Remaja yang pantang menyerah dan pantang
putus asa.
Maka sekali lagi bola yang melambung tinggi
sekali ini dengan bengis dihantamnya.
Semacam petit yang cuma sekilas
bola itu jatuh di sisi lavvan tanpa berhasil
ditahannya.
Sang remaja melompat gembira,
sementara remaja-remaja putri bersorak-sorai
menyambut kemenangannya.
Remaja mata merah segera lari ke luar lapangan
langsung mendapatkan putri tercantik yang berada
di sana, bernama Ida.
Putri ini langsung dikecup pada pipinya, mernbuat
orang-orang tua menjadi terkejut meliharnya.
Putri ini bahkan lantas dilarikannya pulang,
meninggalkan semuanya yang jadi cuma
sanggup menggeleng-gelengkan kepala.
Masih dalam sorak-sorak bergembira
Remaja sampat di rumah.
Tidak ditemuinya baik Ibu maupun Ayah.
Remaja jadi kelihatan curiga,
dengan serta merta melesat keluar.
Di sebuah rumah yang lain,
akad nikah baru saja berlangsung.
Dan astaga... sang remaja menyaksikan
sang ayah berkumis melintang
memeluk perempuan lain yang masih muda
ke dalam kamar.
Langit seolah runtuh
di atas kepala remaja bermata merah.
Dia lari
dan lari lagi
seolah mau berpacu dengan angin,
sampai tersungkur kejang dia
di atas pasir, di tepi pantai.
Nenek dan Kakek duduk termangu berdua
di halaman depan tanpa bunyi
ketika cucu kesayangan datang.
Sama halnya dengan sang cucu,
kedua orang tua ini seolah sedang menunjang
beban seberat langit di atasnya.
Keduanya bahkan tidak kuasa membuka suara
ketika sang cucu menanyakan ibunya.
Advertisement